Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Drama di lapangan terbang militer Ciampino, Roma, terdiri dari Simona dan Simona. Seluruh mata dunia memandang kepada kedua perempuan Italia yang baru saja muncul dari pintu pesawat Falcon 20 itu. "Simona, Simona," seruan pecah bersama terpaan lampu kamera yang menghujani senyum lebar di bibir kedua perempuan itu: Simona Toretta dan Simona Pari. Di luar pesawat, Perdana Menteri Silvio Berlusconi mengulur jabat tangan sebelum kedua perempuan yang bernama depan Simona itu luruh dalam peluk cium sanak kerabat mereka. Dua puluh satu hari yang menegangkan, kedua perempuan Italia itu disekap di Irak dan bebas dengan selamat.
Tayangan langsung Selasa malam pekan lalu itu diselipi rekaman peristiwa beberapa jam sebelumnya di suatu tempat di Bagdad. Dalam bahasa Arab, Simona Toretta berucap terima kasih dan selamat berpisah kepada kawanan pria yang menyerahkan mereka ke Palang Merah Italia di jalan berdebu. Menyibak kerudung hitam yang menutup seluruh muka kecuali matanya, Toretta tersenyum lebar. Setengah ragu, Simona Pari ikut membuka kerudung. Keduanya lalu diantar ke kuasa usaha Italia, yang kemudian mengirim mereka pulang ke tanah air.
"Tibalah saatnya bersuka cita," kata Berlusconi, memaklumkan selamatnya duo Simona (sama-sama berusia 29 tahun) setelah 21 hari disandera di Irak. Sempat tersiar kabar kedua pekerja organisasi nonpemerintah Un Ponte Per Baghdad (Jembatan untuk Bagdad) itu sudah dibunuh. Pemerintahan Berlusconi dengan hati-hati menepis kabar itu. Teka-teki akhirnya terkuak dari drama pukul 11 malam itu. Dan, Italia pun berpesta ria. Lampu-lampu Colosseum, stadion raksasa di Roma yang dibangun sekitar tahun 75 Masehi, menyala sampai pagi.
Halaman muka hampir semua koran pagi Italia memasang wajah ceria kedua Simona bersama judul seperti "Pulang" atau "Bebas" dengan huruf ekstrabesar. Namun, sebagian surat kabar lain tetap mempertanyakan misteri di balik pembebasan mereka, misalnya ada yang menyebut keterlibatan uang tebusan dalam memuluskan pembebasan. Suka cita yang membuncah pun seakan terbebani.
Ketua komite urusan luar negeri parlemen, Gustavo Selva, yakin pemerintah Italia membayar uang tebusan sekitar US$ 1 juta. "Prinsipnya, kita memang tidak boleh menyerah pada pemerasan. Tapi saat ini kita harus, meski ini jalan berbahaya karena bisa mendorong penyanderaan lagi," kata Selva, seraya menegaskan bahwa nyawa kedua perempuan itu adalah hal yang paling penting.
Koran konservatif Il Folio mengecam pembayaran uang tebusan, jika memang ada. "Jangan merayakan. Ini akan memacu perdagangan senjata dan rekrutmen un-tuk perang melawan perdamaian dan demokrasi di belahan bumi itu," demikian tulis Il Folio dalam editorialnya. Api itu terpantik di koran Kuwait Al-Rai al-Aam, yang melaporkan pemerintah Italia membayar uang tebusan US$ 1 juta. Setengahnya dibayarkan Senin dan sisanya pada hari pembebasan.
Perdana Menteri Berlusconi toh tetap tak menanggapi isu panas ini. Dia hanya mengatakan ada pilihan sulit saat sesi-sesi perundingan di Kuwait dan beberapa negara tetangga Irak lainnya. Dia memuji peran badan intelijen Italia dan negara-negara tetangga Irak. Negosiasi juga melibatkan jaringan ulama Irak dan tokoh muslim Italia, Mohamed Nour Dachan. Karena itu, Menteri Luar Negeri Italia Franco Frattini berterima kasih kepada dunia Islam dan Arab.
Menteri Frattini sekaligus membantah isu uang tebusan itu. "Kami tidak membayar uang tebusan. Uang tebusannya adalah pekerjaan yang telah kami lakukan, dan pekerjaan kedua perempuan itu, para sukarelawan dan rumah sakit Italia di Bagdad yang membantu banyak warga Irak," kata Frattini dalam wawancara dengan televisi Al-Jazeera.
Adapun Simona Toretta sudah setahun berada di Irak, sementara Pari tiba beberapa bulan lalu. Keduanya bekerja untuk sebuah proyek pembangunan sekolah yang diselenggarakan oleh UniceF. Kepada jaksa penyelidik Italia kedua perempuan itu mengaku diperlakukan baik selama disandera. "Kami diperlakukan dengan baik, hangat, dan dengan solidaritas," tutur Simona Pari, seperti dikutip kantor berita Ansa. Hanya, selama penyanderaan mata mereka dibekap, sehingga tak bisa melihat wajah penyandera.
"Menjelang pembebasan, orang-orang religius yang mengajari kami prinsip-prinsip Islam akhirnya datang meminta maaf. Mereka memberikan sekotak permen untuk perjalanan kami. Kami sudah tahu solidaritas hebat ini dari orang Irak, yang tampak sebagai suara terima kasih atas semua pekerjaan yang telah kami lakukan," kata Toretta.
Ihwal kelompok penculik masih gelap. Kedua perempuan itu diciduk di siang bolong di kantor mereka yang sangat dekat dengan Zona Hijau, kawasan bekas istana Saddam Hussein yang kini menjadi markas otoritas pendudukan Amerika Serikat dan dijaga sangat ketat. Menurut saksi mata, 20 pria bersenjata yang melakukan aksi penculikan itu mengenakan seragam Garda Nasional Irak dan mengaku bekerja untuk pemerintahan interim Perdana Menteri Iyad Allawi.
Pelaku tentu bisa mengaku identitas apa saja. Tapi simaklah penuturan Syekh Abdul Salam al-Kubaisi, ulama Sunni yang sangat berpengaruh yang sebelumnya sukses menjadi mediator pembebasan sejumlah sandera asing. Duo Simona itu pernah datang ke tempat tinggalnya dan mengadu sedang diancam. "Mereka ketakutan karena ada seseorang mengancam mereka." Al-Kubaisi mencurigai kalangan intelijen asing di balik ancaman teror terhadap kedua pekerja sukarela itu.
Bagaimanapun, kini kedua Simona itu sudah kembali ke Roma, menghirup udara kebebasan. Tapi panggung drama sandera di Irak belum tentu dibiarkan kosong selamanya.
Yanto Musthofa (Reuters, AP, BBC, Al-Jazeera)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo