BEKAS jajahan Prancis di jantun Afrika, Chad, kini jadi pentas
adu kekuatan bagi Amerika Serikat dan Libya. Washington menilai
situasi di kawasan ini "serius" karena Libya mengirimkan
2.000-2.500 tentaranya ke sana. Lengkap dengan artileri berat,
tank T-62, dan pesawat tempur buatan Soviet MiG-23 dan Tupolev
yang gencar menjatuhkan bom napalm. Di hadapan sidang Dewan
Keamanan PBB, pekan silam, Duta AS Charles Lichenstein menuduh
pemimpin Libya Qaddafi ekspansionis, bermusuhan,
mengkombinasikan bantuan ekonomi dan militer untuk menumbangkan
pemerintah yang sah di Chad.
Tuduhan itu dibantah Libya. Terpaksa Presiden Ronald Reagan
mengirimkan dua pengintai AWAC, pesawat tempur F-15, juga
bazoka udara Redeye. Sementara itu di Teluk Sidra perairan Laut
Tengah yang diklaim Qaddafi sebagai wilayahnya, AS telah
memerintahkan kapal induk Eisenhoer dan Coral Sea untuk
berjaga-jaga. Bantuan AS itu ternyata tak menolong pasukan
Presiden Hissene Habre gagal menggunakan Redeye. Maka jatuhlah
Kota Faya Largeu, terletak 800 km dari ibu kota Njamena, ke
tangan pemberontak yang dipimpin Goukouni Ouddei.
Sebelum Rabu pekan silam Faya tercatat sudah beberapa kali
pindah tangan. Pasukan Ouddei, yang berkekuatan 5.000 orang itu,
merebutnya dari pasukan Habre, 24 Juni. Sebulan kemudian jatuh
lagi ke tangan Pemerintah Chad yang sah.
Perang saudara yang kini mencabik-cabik Chad sebenarnya tidak
mewakili ideologi, ataupun suku. Memang benar, Habre lebih
berorientasi ke Barat, dan Ouddei sekutu Qaddafi sejak dulu,
tapi seperti yang disimpulkan seorang pengamat, konflik Chad
tidak berakar pada itu. Sebab negeri itu sendiri begitu
miskinnya, begitu tidak bermutu dan tidak berdaya, hingga tidak
menimbulkan minat ataupun selera, bagi negara besar yang mana
pun juga. Lalu, apa? Banyak yang menyebut karena kepentingan
pribadi Habre dan Ouddei -- keduanya memang sudah lama tak
cocok.
Chad adalah contoh khas negeri terbelakang di Afrika yang
menjadi negara, karena penjajahnya, Prancis, telah menentukan
demikian. Batas-batas wilayahnya ditentukan juga oleh Prancis,
jadi bukan merupakan batas etnis, ataupun batas yang menjelma
karena semangat nasionalisme.
Prancis memerdekakan Chad, yang berpenduduk 4,5 juta jiwa, di
tahun 1960. Tapi tentaranya mangkal di sana sampai tahun 1976.
Negeri itu kemudian dipimpin Francois Tombalbaye, seorang
diktator, yang digulingkan pihak militer tahun 1975. Sejak itu
konon, perang saudara berkecamuk hampir tak ada hentinya.
Dipertahankan oleh tentara yang kurang bisa diandalkan,
khususnya di bidang persenjataan, dan dengan pemimpin yang cuma
tahu memperjuangkan kepentingan pribadi, Chad boleh dikata
berkembang tanpa arah. Tahun 1980, Goukouni Ouddei yang kini
pemimpin pemberontak, tampil sebagai presiden. Ia menandatangani
persetujuan dengan Libya. Isinya, antara lain membenarkan
campur-tangan Qaddafi di Chad, bila saja keamanannya terancam.
Kerja sama itu tahun 1981 diperkuat dengan perjanjian yang
mencantumkan peluang untuk penggabungan kedua negara.
Melihat "bahaya ekspansi" Libya. Prancis dan banyak negara
Afrika keberatan terhadap perjanjian itu. Ouddei mengalah,
Libyapun menarik mundur tentaranya. Melihat kesempatan baik ini
Habre dengan tentaranya bergerak dar arah timur, menaklukkan
kota-kota di Chad satu demi satu. Tahun 1982, setelah Ndjamena
direbut Habre Ouddei melarikan diri ke hutan. Ia lalu menggalang
pemberontak yang dana dan persenjataannya dibantu Libya.
Aksi-aksi pengacauannya dimulai sejak Januari selalu mulai dari
utara yang berbatasan dengan Libya.
Laporan terakhir menyebutkan, pasukan gabungan Ouddel dan
anak-anak Qaddafi, merebut kota Oum Chalouba, untuk kemudian
rencananya menggempur Abeche dan Ndjamena. Mereka optimistis
berhasil terutama sesudah Faya Largeu jatuh.
Tapi Habre juga yakin bisa bertahan. Ia kini dapat bantuan 500
tentara Prancis, yang berstatus "pelatih" plus 800 tentara
Zaire, serta uang sebesar US$ 25 juta dari Presiden Reagan.
Bahwa hampir 500 tentaranya ditawan Ouddei, ia tidak
berkomentar. Sebab pasukannya juga melumpuhkan tentara
pemberontak. Bahkan di antaranya ada seorang penerbang Libya,
Mayor Abdel Salam Sharadine. Mayor itu, yang diperagakan di
hadapan 50 wartawan dan 5.000 penduduk di Ndjamena, mengakui
Libya menjatuhkan bom-bom napalm di Faya Largeu.
Sementara utusan Chad mengamuk di Dewan Keamanan karena bom
kimia itu, Presiden Reagan tiba-tiba menegaskan AS tidak akan
terlibat di Chad. "Negeri itu termasuk dalam kawasan penaruh
Prancis," beitu alasan yang dikemukakannya Jumat pekan silam.
Secara politis, sikap ini memang tepat dan perlu untuk menjaga
prestise Prancis. Tapi tidak demikian halnya dengan Qaddafi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini