KERUSUHAN berdarah 10 hari yang melanda Sri Lanka, padam sudah.
Namun, hingga akhir pekan lalu, para penembak mahir dan pasukan
bersenjata masih berkeliaran di Kota Colombo. Menurut sumber
pemerintah 267 orang terbunuh dalam huru-hara ini, sebagian
besar orang Tamil. Tapi perkiraan tak resmi menyebutkan angka
tiga kali lebih tinggi. Ny. Eli Skarstein, pelancong Norwegia
yang kebetulan berada di Colombo pada hari kerusuhan, mengaku
menyaksikan sebuah bis yang penuh penumpang Tamil dihentikan dan
dibakar oleh orang-orang Sinhala. Tak seorang pun lolos dari
bis maut itu.
Akibat huru-hara sekitar 100 ribb Tamil kehilangan rumah, dan 17
pabrik tekstil hangus. Kerugian total ditaksir Rp 300 milyar.
Wartawati Mary. Anne Weaver dari The Christian Science Monitor
mewawancarai Presiden Sri Lanka Junius R. Jayewerdene mengenai
kerusuhan itu. Petikannya:
Betulkah kerusuhan terakhir ini yang paling buruk sejak
kemerdekaan Sri Lanka?
Tidak. Kerusuhan 1971 lebih buruk. Ketika itu mereka (para
separatis -- red.) sudah menyerang tangsi polisi, bahkan
perkubuan militer. Kini mereka belum sempat terlalu jauh.
Beberapa menteri Anda menyebutkan keterlibatan kekuatan asing.
Uni Soviet?
Saya belum yakin betul. Banyak yang terlibat. Saya tidak bisa
hanya menuding Uni Soviet. Jayewerdene juga membantah spekulasi
bahwa pemerintahnya akan mengusir diplomat Soviet. "Itu langkah
yang sangat serius," katanya).
Anda bilang banyak yang terlibat. India juga?
Tidak! Saya menaruh kepercayaan besar terhadap Ny. Indira
Gandhi.
Jadi, siapa yang beruntung dari kerusuhan ini? Apakah tujuannya
menggulingkan Anda?
Well, memang banyak yang berusaha menyingkirkan saya, secara
demokratis ataupun tidak. Secara demokratis, kami sudah
menyeleggarakan enam pemilihan umum sejak 1977. Tapi di dalam
sistem demokrasi kami terdapat partai-partai yang tidak
demokratis. Mereka berorientasi Marxis, misalnya Partai Komunis
Sri Lanka. Demikian pula Front Pembebasan Rakyat (JVP).
Merekalah yang berusaha mendongkel Ny. Bandaranaike, 1971.
Ketika itu para anggota JVP dijatuhi hukuman seumur hidup. Saya
mengampuni dan membebaskan mereka. Mereka kemudian mencoba
tampil melalui pemilihan umum, tetapi kalah. Kini mereka beralih
ke cara nondemokratis.
Dengan membubarkan partai, termasuk Front Persatuan Pembebasan
Tamil (TULF), bukankah Anda sendiri bertindak tidak demokratis?
Kami telah mengumumkan keadaan darurat. Saya mengambil langkah
ini beberapa kali, sejak 1977. Mungkin Anda menyebutnya tindakan
diktator. Tapi harap dicatat, parlemen dan pengadilan kami
masih berfungsi.
Dengan membubarkan TULF, Anda menyingkirkan juru bicara suku
Tamil.
Saya tidak menyingkirkan orang Tamil. Dalam kabinet saya ada
tiga orang Tamil. Ini bukan persoalan ras. Saya menyingkirkan
setiap partai yang membela separatisme. TULF boleh memperbaiki
diri mereka dan tampil sebagai partai baru. Tapi bukan untuk
meniup separatisme.
Mengapa Anda tidak menyetujui saja pembagian Sri Lanka? Berikan
75% kepada orang Sinhala, dan 25% kepada Tamil.
Orang Sinhala tidak menginginkan hal itu. Orang Islam tidak
menginginkan hal itu. Bahkan orang Tamil India tidak
menginginkan hal itu. Dan para separatis itu tidak hanya
menuntut Jaffna. Mereka juga memina provinsi timur, padahal
mereka tak punya pendukung di sana.
Menurut Jayewardene, kerusuhan yang bertujuan menggulingkan
pemerintah itu terbagi dalam lima tahap. Pertama ialah usaha
membangkitkan revolusi dengan mengipas api permusuhan antara
orang Sinhala dan Tamil. Tahap kedua menghasut orang Sinhala dan
Islam. Tahap ketiga melaga orang Budha dan Kristen. Tahap
keempat membuat kekacauan dalam bidang distribusi makanan, dan
terakhir mengambil alih kekuasaan dengan mengadu domba tentara
dan polisi. Kerusuhan terakhir hanya berhasil sampai tahap
pertama.
Kerusuhan itu sendiri bermula dari pembunuhan terhadap 13
serdadu pemerintah di Jaffna, 24 Juli lalu. Pemerintah berusaha
mendiamkan kejadian ini. Tetapi, konon, ketika ke-13 jenazah
itu dimakamkan di Colombo, 31 Juli, para serdadu yang berhaluan
kiri mulai menghasut hadirin. Beberapa tentara Sinhala segera
mengganti pakaian seragam mereka dengan baju preman, lalu
menyerbu rumah orang Tamil. Sebaliknya, sejumlah anggota Harimau
Tamil menyamar dengan seragam Angkatan Laut, kemudian menembaki
tentara. Rakyat akhirnya tak bisa membedakan tentara pemerintah
dengan perusuh biasa.
Kerusuhan terakhir ini berakibat parah, sebab dendam tampaknya
sulit dipadamkan. Seorang pejabat pemerintah di Jaffna mengaku,
orang Tamil yang mengungsi ke daerah itu sarat dengan dendam
kesumat. "Mereka sudah dilukai, dan mereka ingin membalas,"
katanya. "Saya melihat masa depan pulau ini dalam bayangan
kegelapan dan genangan darah."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini