DENGAN apakah bangsa lahir? Otto von Bismarck berwajah angker,
bertubuh berat, berpakaian tebal dan menjawab, "Dengan darah dan
besi." Gaung suaranya dalam.
Jerman memang mungkin lahir durch Blut und Eisen, setelah
prajurit Prusia maju menginjak bumi di bawah lars mereka,
menembak, membunuh. Perang memang mungkin bapa dari segalanya
jika orang cuma percaya pada kata-kata bagus Heracleitus. Benar,
perang telah terbukti menyebabkan lahirnya perbatasan baru,
mengipas kebanggaan bersama, memasang kekuasaan atau
meruntuhkannya. Perang melahirkan Hitler yang kalah, Hiroshima
yang dibom dan Asia yang merdeka.
Tapi jika kita percaya hanya itu, kita akan percaya bahwa
sejarah atalah hasil pistol dan sersan-sersan -- dan di luar
peperangan, semua yang dibuahkan adalah anak haram jadah.
Padahal sebuah bangsa memang bisa lahir lewat ujian darah dan
besi, tapi juga penting bertahannya mitos, mungkin juga impian.
Biarpun impian yang aak konyol, atau sesuatu yang disebut
"imajinasi".
Garibaldi mungkin satu contoh: ia tak akan berhasil menjadikan
Italia satu bangsa seandainya tak ada "imajinasi". Ia memang
bertempur. Tapi seakan segala gerak besar hidupnya dldlkte oleh
angan-angan seorang penulis roman agung di langit ketujuh.
Bahkan tampangnya pun bagaikan sengaja dipresentasikan untuk
memenangkan sebuah idam-idaman: rambut dan misainya panjang
bergelombang bagaikan tanda seorang nabi. Tak heran, ketika ia
misalnya berkunjun ke London (sebuah negeri asing) mengenakan
baju merah dan poncho Amerika Latinnya, setengah juta orang
datang mengelu-elukannya, terpesona.
Pahlawan romantik ini -- yang anehnya menang -- tidak mulai
riwayatnya dengan sebuah pertempuran. Ia mulai dengan sebuah
risalah dari Giuseppe Mazzini, rasul nasionalisme, seorang
Italia yang sebenarnya agak omong besar ketika merumuskan
negara-kebangsaan dengan kata-kata ini: "Suatu totalitas warga
yang berbahasa sama bergabung bersama dengan hak-hak sipil dan
politik yang sama dalam tujuan bersama ...."
Dalam prakteknya kemudian, sebuah negara-kebangsaan tentu tidak
seindah itu: orang-orang yang berbahasa sama memang bergabung,
tapi kemudian bisa saja sebagian menindas sebagian Yang lain,
dan hak sipil dan politik dipermak, dan "tujuan bersama" itu
jadi tak jelas. Tapi Giuseppe Mazzini bagaimanapun telah
menyulut tubuh Giuseppe Garibaldi dengan "imajinasi". Italia
tengah terpecah-pecah, dan wilayah yang disatukan oleh bahasa
penyair Dante itu sebagian dikuasai Austria, atau Wangsa Bourbon
atau Habsburg. Pada 5 Mei 1860 Garibaldi pun menyimpulkan tekad:
ia bertolak malam-malam dengan sejumlah sukarelawan yang
menyebut diri "Orang Berseribu". Ke Sisilia.
Tiba di Sisilia, para calon pembangun bangsa ini sebetulnya agak
gugup ketika tahu bahwa orang di pulau ini tak begitu peduli
akan nasionalisme Italia, persatuan Itaria dan cakap besar yang
lain. Yang dirisaukan hanyalah sebuah pajak garam yang mereka
anggap tinggi dan harga roti. Keadaan ekonomi lagi payah,
nampaknya, dan pemerintah Bourbon memang gampang dianggap korup.
Tapi impian romantik membentuk bangsa baru?
Toh akhirnya impian bertahan. "Orang Berseribu" dan pemimpinnya
yang berapi-api serta tampan itu dapat memikat -- lalu para
petani pun datang bergabung, dengan segala perabot untuk memukul
atau menyobek. Anak-anak dan kaum wanita membantu membangun
barikade.
Pertempuran pertama terjadi di Desa Calarafimi "Orang Berseribu"
yang mengenakan baju merah gagah tapi belum berpengalaman tempur
itu beberapa kali menyerang. Tentu saja beberapa kali mereka
dipukul mundur.
Tapi semangat romantik bertahan, impian (biarpun sedikit ngawur)
tetap hangat, dan akhirnya imajinasi memang menang: alkisah,
suatu saat dalam pertempuran Garibaldi kena lontar batu. Ia pun
berseru bahwa pasukan musuh kehabisan amunisi. Laskar baju
merah, mendengar ini, jadi berani menyerbu lagi, dan pertempuran
jarak dekat berkecamuk. Musuh akhirnya tak tahan, kalah.
Sisilia jatuh. Beberapa bulan kemudian seluruh Italia bersatu:
Garibaldi mempersembahkannya kepada Raja Victor Emmanuel, konon
di dekat Kota Teano, seraya berseru, "Saluto il primo Re
d'Itala !". Gemanya terdengar di seluruh Eropa.
Gema itu pun kemudian terdengar ke Indonesia: Bung Karno membaca
Mazzini, dan tentu saja riwayat Garibaldi. Setelah sekian 17
Agustus kita tahu bahwa memang ada darah dan besi untuk
membentuk dan mempertahankan Republik ini, dan kita telah diuji
oleh sejumlah perang saudara, percekcokan dan bunuh-membunuh.
Kenyataan bahwa di hari ini alhamdulillah Republik masih belum
belah mungkin menunjukkan bahwa mitos persatuan itu, imajinasi
itu, impian yang sulit itu, tetap punya harga rupanya. Tidak,
bukan durch Blut und Esen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini