Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bukan imajinasi

Persatuan bangsa dan terbentuknya negara memang kadang-kadang dicapai dengan darah dan kekerasan. dan persatuan memang bukan ilusi. indonesia dan italia nyatanya telah teruji, bertahan sampai kini.

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN apakah bangsa lahir? Otto von Bismarck berwajah angker, bertubuh berat, berpakaian tebal dan menjawab, "Dengan darah dan besi." Gaung suaranya dalam. Jerman memang mungkin lahir durch Blut und Eisen, setelah prajurit Prusia maju menginjak bumi di bawah lars mereka, menembak, membunuh. Perang memang mungkin bapa dari segalanya jika orang cuma percaya pada kata-kata bagus Heracleitus. Benar, perang telah terbukti menyebabkan lahirnya perbatasan baru, mengipas kebanggaan bersama, memasang kekuasaan atau meruntuhkannya. Perang melahirkan Hitler yang kalah, Hiroshima yang dibom dan Asia yang merdeka. Tapi jika kita percaya hanya itu, kita akan percaya bahwa sejarah atalah hasil pistol dan sersan-sersan -- dan di luar peperangan, semua yang dibuahkan adalah anak haram jadah. Padahal sebuah bangsa memang bisa lahir lewat ujian darah dan besi, tapi juga penting bertahannya mitos, mungkin juga impian. Biarpun impian yang aak konyol, atau sesuatu yang disebut "imajinasi". Garibaldi mungkin satu contoh: ia tak akan berhasil menjadikan Italia satu bangsa seandainya tak ada "imajinasi". Ia memang bertempur. Tapi seakan segala gerak besar hidupnya dldlkte oleh angan-angan seorang penulis roman agung di langit ketujuh. Bahkan tampangnya pun bagaikan sengaja dipresentasikan untuk memenangkan sebuah idam-idaman: rambut dan misainya panjang bergelombang bagaikan tanda seorang nabi. Tak heran, ketika ia misalnya berkunjun ke London (sebuah negeri asing) mengenakan baju merah dan poncho Amerika Latinnya, setengah juta orang datang mengelu-elukannya, terpesona. Pahlawan romantik ini -- yang anehnya menang -- tidak mulai riwayatnya dengan sebuah pertempuran. Ia mulai dengan sebuah risalah dari Giuseppe Mazzini, rasul nasionalisme, seorang Italia yang sebenarnya agak omong besar ketika merumuskan negara-kebangsaan dengan kata-kata ini: "Suatu totalitas warga yang berbahasa sama bergabung bersama dengan hak-hak sipil dan politik yang sama dalam tujuan bersama ...." Dalam prakteknya kemudian, sebuah negara-kebangsaan tentu tidak seindah itu: orang-orang yang berbahasa sama memang bergabung, tapi kemudian bisa saja sebagian menindas sebagian Yang lain, dan hak sipil dan politik dipermak, dan "tujuan bersama" itu jadi tak jelas. Tapi Giuseppe Mazzini bagaimanapun telah menyulut tubuh Giuseppe Garibaldi dengan "imajinasi". Italia tengah terpecah-pecah, dan wilayah yang disatukan oleh bahasa penyair Dante itu sebagian dikuasai Austria, atau Wangsa Bourbon atau Habsburg. Pada 5 Mei 1860 Garibaldi pun menyimpulkan tekad: ia bertolak malam-malam dengan sejumlah sukarelawan yang menyebut diri "Orang Berseribu". Ke Sisilia. Tiba di Sisilia, para calon pembangun bangsa ini sebetulnya agak gugup ketika tahu bahwa orang di pulau ini tak begitu peduli akan nasionalisme Italia, persatuan Itaria dan cakap besar yang lain. Yang dirisaukan hanyalah sebuah pajak garam yang mereka anggap tinggi dan harga roti. Keadaan ekonomi lagi payah, nampaknya, dan pemerintah Bourbon memang gampang dianggap korup. Tapi impian romantik membentuk bangsa baru? Toh akhirnya impian bertahan. "Orang Berseribu" dan pemimpinnya yang berapi-api serta tampan itu dapat memikat -- lalu para petani pun datang bergabung, dengan segala perabot untuk memukul atau menyobek. Anak-anak dan kaum wanita membantu membangun barikade. Pertempuran pertama terjadi di Desa Calarafimi "Orang Berseribu" yang mengenakan baju merah gagah tapi belum berpengalaman tempur itu beberapa kali menyerang. Tentu saja beberapa kali mereka dipukul mundur. Tapi semangat romantik bertahan, impian (biarpun sedikit ngawur) tetap hangat, dan akhirnya imajinasi memang menang: alkisah, suatu saat dalam pertempuran Garibaldi kena lontar batu. Ia pun berseru bahwa pasukan musuh kehabisan amunisi. Laskar baju merah, mendengar ini, jadi berani menyerbu lagi, dan pertempuran jarak dekat berkecamuk. Musuh akhirnya tak tahan, kalah. Sisilia jatuh. Beberapa bulan kemudian seluruh Italia bersatu: Garibaldi mempersembahkannya kepada Raja Victor Emmanuel, konon di dekat Kota Teano, seraya berseru, "Saluto il primo Re d'Itala !". Gemanya terdengar di seluruh Eropa. Gema itu pun kemudian terdengar ke Indonesia: Bung Karno membaca Mazzini, dan tentu saja riwayat Garibaldi. Setelah sekian 17 Agustus kita tahu bahwa memang ada darah dan besi untuk membentuk dan mempertahankan Republik ini, dan kita telah diuji oleh sejumlah perang saudara, percekcokan dan bunuh-membunuh. Kenyataan bahwa di hari ini alhamdulillah Republik masih belum belah mungkin menunjukkan bahwa mitos persatuan itu, imajinasi itu, impian yang sulit itu, tetap punya harga rupanya. Tidak, bukan durch Blut und Esen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus