Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tentang Kerusuhan Di Sri Lanka

Presiden Sri Lanka, mengenai kerusuhan di sri lanka antara suku tamil dan sinhala. (ln)

20 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUSUHAN berdarah 10 hari yang melanda Sri Lanka, padam sudah. Namun, hingga akhir pekan lalu, para penembak mahir dan pasukan bersenjata masih berkeliaran di Kota Colombo. Menurut sumber pemerintah 267 orang terbunuh dalam huru-hara ini, sebagian besar orang Tamil. Tapi perkiraan tak resmi menyebutkan angka tiga kali lebih tinggi. Ny. Eli Skarstein, pelancong Norwegia yang kebetulan berada di Colombo pada hari kerusuhan, mengaku menyaksikan sebuah bis yang penuh penumpang Tamil dihentikan dan dibakar oleh orang-orang Sinhala. Tak seorang pun lolos dari bis maut itu. Akibat huru-hara sekitar 100 ribb Tamil kehilangan rumah, dan 17 pabrik tekstil hangus. Kerugian total ditaksir Rp 300 milyar. Wartawati Mary. Anne Weaver dari The Christian Science Monitor mewawancarai Presiden Sri Lanka Junius R. Jayewerdene mengenai kerusuhan itu. Petikannya: Betulkah kerusuhan terakhir ini yang paling buruk sejak kemerdekaan Sri Lanka? Tidak. Kerusuhan 1971 lebih buruk. Ketika itu mereka (para separatis -- red.) sudah menyerang tangsi polisi, bahkan perkubuan militer. Kini mereka belum sempat terlalu jauh. Beberapa menteri Anda menyebutkan keterlibatan kekuatan asing. Uni Soviet? Saya belum yakin betul. Banyak yang terlibat. Saya tidak bisa hanya menuding Uni Soviet. Jayewerdene juga membantah spekulasi bahwa pemerintahnya akan mengusir diplomat Soviet. "Itu langkah yang sangat serius," katanya). Anda bilang banyak yang terlibat. India juga? Tidak! Saya menaruh kepercayaan besar terhadap Ny. Indira Gandhi. Jadi, siapa yang beruntung dari kerusuhan ini? Apakah tujuannya menggulingkan Anda? Well, memang banyak yang berusaha menyingkirkan saya, secara demokratis ataupun tidak. Secara demokratis, kami sudah menyeleggarakan enam pemilihan umum sejak 1977. Tapi di dalam sistem demokrasi kami terdapat partai-partai yang tidak demokratis. Mereka berorientasi Marxis, misalnya Partai Komunis Sri Lanka. Demikian pula Front Pembebasan Rakyat (JVP). Merekalah yang berusaha mendongkel Ny. Bandaranaike, 1971. Ketika itu para anggota JVP dijatuhi hukuman seumur hidup. Saya mengampuni dan membebaskan mereka. Mereka kemudian mencoba tampil melalui pemilihan umum, tetapi kalah. Kini mereka beralih ke cara nondemokratis. Dengan membubarkan partai, termasuk Front Persatuan Pembebasan Tamil (TULF), bukankah Anda sendiri bertindak tidak demokratis? Kami telah mengumumkan keadaan darurat. Saya mengambil langkah ini beberapa kali, sejak 1977. Mungkin Anda menyebutnya tindakan diktator. Tapi harap dicatat, parlemen dan pengadilan kami masih berfungsi. Dengan membubarkan TULF, Anda menyingkirkan juru bicara suku Tamil. Saya tidak menyingkirkan orang Tamil. Dalam kabinet saya ada tiga orang Tamil. Ini bukan persoalan ras. Saya menyingkirkan setiap partai yang membela separatisme. TULF boleh memperbaiki diri mereka dan tampil sebagai partai baru. Tapi bukan untuk meniup separatisme. Mengapa Anda tidak menyetujui saja pembagian Sri Lanka? Berikan 75% kepada orang Sinhala, dan 25% kepada Tamil. Orang Sinhala tidak menginginkan hal itu. Orang Islam tidak menginginkan hal itu. Bahkan orang Tamil India tidak menginginkan hal itu. Dan para separatis itu tidak hanya menuntut Jaffna. Mereka juga memina provinsi timur, padahal mereka tak punya pendukung di sana. Menurut Jayewardene, kerusuhan yang bertujuan menggulingkan pemerintah itu terbagi dalam lima tahap. Pertama ialah usaha membangkitkan revolusi dengan mengipas api permusuhan antara orang Sinhala dan Tamil. Tahap kedua menghasut orang Sinhala dan Islam. Tahap ketiga melaga orang Budha dan Kristen. Tahap keempat membuat kekacauan dalam bidang distribusi makanan, dan terakhir mengambil alih kekuasaan dengan mengadu domba tentara dan polisi. Kerusuhan terakhir hanya berhasil sampai tahap pertama. Kerusuhan itu sendiri bermula dari pembunuhan terhadap 13 serdadu pemerintah di Jaffna, 24 Juli lalu. Pemerintah berusaha mendiamkan kejadian ini. Tetapi, konon, ketika ke-13 jenazah itu dimakamkan di Colombo, 31 Juli, para serdadu yang berhaluan kiri mulai menghasut hadirin. Beberapa tentara Sinhala segera mengganti pakaian seragam mereka dengan baju preman, lalu menyerbu rumah orang Tamil. Sebaliknya, sejumlah anggota Harimau Tamil menyamar dengan seragam Angkatan Laut, kemudian menembaki tentara. Rakyat akhirnya tak bisa membedakan tentara pemerintah dengan perusuh biasa. Kerusuhan terakhir ini berakibat parah, sebab dendam tampaknya sulit dipadamkan. Seorang pejabat pemerintah di Jaffna mengaku, orang Tamil yang mengungsi ke daerah itu sarat dengan dendam kesumat. "Mereka sudah dilukai, dan mereka ingin membalas," katanya. "Saya melihat masa depan pulau ini dalam bayangan kegelapan dan genangan darah."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus