SEBUAH pemandangan tak seperti biasanya terlihat di jalan-jalan raya Yerikho, belakangan ini. Pasukan Israel, yang biasanya beringas, tak lagi berani melepaskan gas air mata dan tembakan. Mereka hanya menggenggam senjata di tangannya, dan menonton bocah-bocah Palestina yang melemparinya dengan batu dari kejauhan. Serdadu Yahudi itu bukannya takut pada aksi intifadah tersebut. Memang ada larangan pihak penguasa Israel yang dikeluarkan awal pekan lalu, sebagai awal persiapan penarikan mundur pasukan Israel dari Yerikho dan Jalur Gaza. Sejumlah pasukannya sudah mulai ditarik mundur dari kedua wilayah itu. Truk-truk militer Israel sarat bermuatan lemari dan dokumen bergerak meninggalkan Kota Yerikho, diiringi lemparan batu dan tepuk tangan warga Palestina. Bekas markas militernya dibersihkan dan dicat putih. "Kami tak mau dianggap meninggalkan sampah bagi mereka," ujar Ilan, seorang perwira yang bertugas 17 tahun di Yerikho. Kesibukan di Jalur Gaza pun tak kalah ramainya. Sekitar 600 tahanan dievakuasi dari penjara Anzar II Kota Gaza, ke tempat penampungan baru di Lembah Nevert, Israel. Rumah tahanan yang sudah dicat putih itu tak lagi menyeramkan seperti dulu. Bahkan beberapa warga Palestina menanami pohon di beranda penjara. Di penjara Anzar itulah, tempat latihan dan markas bagi 500 polisi Palestina yang akan bertugas menjaga keamanan di Jalur Gaza dan Yerikho. Sementara itu, sekitar 50 warga Palestina, yang diusir ke Mesir dan Yordania sejak 1970-an, diizinkan kembali ke Yerikho dan Jalur Gaza, Rabu pekan lalu. Langkah persiapan yang dilakukan pemerintahan Perdana Menteri Yitzhak Rabin itu memang tak dipengaruhi perundingan di Kairo, yang berjalan alot, pekan lalu. Ada dugaan, alotnya perundingan karena perbedaan tentang persenjataan yang akan disandang polisi Palestina dan polisi internasional, yang akan bertugas di Jalur Gaza dan Yerikho. Pihak PLO dikabarkan menuntut agar polisi Palestina itu berseragam lengkap dan dipersenjatai. Tapi Israel menolaknya dan minta agar mereka baru dipersenjatai setelah masuk ke wilayahnya. Tapi itu dibantah oleh pihak Israel. "Mereka boleh membawa perlengkapan dan kendaraan militer. Sampai seperti parade sekalipun, kami tak keberatan," ujar seorang juru runding Israel yang tak mau disebut namanya kepada Reuters, Rabu pekan lalu. Ketua juru runding PLO, Nabil Shaath, juga membantah adanya perbedaan itu. Menurut dia, satuan polisi Palestina yang bertugas itu memang tak berperan sebagai satuan militer. "Mereka hanya dilengkapi persenjataan sesuai dengan tugasnya sebagai polisi," kata Nabil Shaath. Kalau begitu, mengapa perundingan Kairo bertele-tele? Itu semua tak terlepas dari sikap Israel, yang menargetkan penarikan mundur pasukannya, baru bisa berlangsung paling cepat awal Mei mendatang. Bukan 13 April seperti tertera dalam Deklarasi Prinsip. "Batas waktu itu bukan sasaran utama," kata PM Yitzhak Rabin dalam setiap kesempatan. Karena itulah, para perunding Israel tampak ogah-ogahan. Mereka meninggalkan Kairo dan kembali ke Tel Aviv hanya untuk memperingati Hari Pembantaian Kaum Yahudi, Kamis pekan lalu. Mereka bilang akan kembali ke meja perundingan Ahad pekan ini. Negosiasi bisa dilanjutkan lewat telepon dan faksimile. Pemimpin PLO Yasser Arafat, yang tiba di Kairo hari itu -- untuk memantau langsung jalannya perundingan -- pun kesal. "Sayang, kami tak melihat tanda-tanda Israel akan memenuhi janjinya," ujarnya. Menteri Luar Negeri Mesir Amr Moussa mengkritik sikap juru runding Israel itu. Dan Arafat pun menemui Presiden Mesir Husni Mubarak, untuk mendesak Israel agar memenuhi batas waktu 13 April. Bagi Israel, perhitungan batas waktu Mei itu memang berdasar. Sebab, ini sesuai dengan rencana tim yang dibentuk Kementerian Luar Negeri Israel, beberapa bulan setelah Deklarasi Prinsip diteken September tahun lalu. Menurut harian Jerusalem Post, tim ini dibentuk karena pemerintah Partai Buruh, yang kini berkuasa, menyadari bahwa Israel tak bisa mengelakkan diri dari sejarah yang mengisyaratkan akan berdirinya Negara Palestina. Entah kapan. Dalam rencana tim yang diketuai Wakil Menteri Luar Negeri Yossi Beilin, antara lain bahwa Israel siap mengembalikan seluruh wilayah Tepi Barat dan Gaza, dengan sedikit perubahan tapal batas. Para pemukim Yahudi bisa memilih tetap tinggal di wilayah Palestina atau pindah dengan ganti rugi. Malah, Tim Beilin ini punya rencana melibatkan tentara Amerika, sebagai pasukan perdamaian. Yang tak kalah penting, Yossi Beilin dan Shimon Peres mendesak PM Yitzhak Rabin agar melakukan pembicaraan tentang berdirinya Negara Palestina bulan Juli ini. Bukan tiga tahun lagi, seperti rencana Rabin semula. Sebab, bila masalah PLO ini bisa muncul ke forum internasional secepatnya, maka partai oposisi (Likud) tak punya waktu untuk memperdebatkannya. "Semacam fait accompli," kata Yossi Beilin (TEMPO, 12 Februari 1994). Diam-diam rencana ini dijalankan PM Yitzhak Rabin. Perundingan demi perundingan berjalan seru dan alot, sampai akhirnya meletuslah peristiwa Hebron, akhir Februari lalu. Dunia pun mengutuk peristiwa berdarah di Masjid Al-Ibrahim yang menewaskan sekitar 30 warga Palestina itu. Di bawah tekanan resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengutuk peristiwa berdarah itu, Rabin mengambil langkah-langkah drastis. Aksi pembersihan dilakukan di wilayah permukiman Yahudi di Hebron. Dua pentolan ekstremis Yahudi ditahan. Menyusul kemudian ditangkapnya Baruch Marzel, pemimpin gerakan Kach, kelompok radikal Yahudi yang diduga berdiri di belakang pembantaian Hebron, Selasa pekan lalu. Sebuah komisi penyelidik Israel juga dibentuk untuk meneliti kasus ini. Hasil pemeriksaan Komisi Penyelidik -- antara lain meneliti keterlibatan pihak militer Israel -- belum diumumkan. Demikian pula hasil pemeriksaan komisi atas diri PM Yitzhak Rabin, yang berlangsung secara tertutup, Rabu pekan lalu. Yang pasti, hampir seluruh rencana Beilin terwujud. Kelompok oposisi tak lagi terdengar vokal suaranya, dan gerak-gerik kaum ekstremis Yahudi pun dibatasi oleh pemerintah. Keterlibatan pasukan penjaga perdamaian -- semula direncanakan dari Amerika -- pun terwujud dengan kesediaan Norwegia, Denmark, dan Italia mengirim 160 pasukannya ke wilayah pendudukan, atas biaya sendiri. Adapun soal permukiman Yahudi di wilayah Palestina, pemerintah Israel memang punya rencana jangka panjang. Para pemukim Yahudi yang bersikeras tak mau pindah itu sengaja dibiarkan sampai jenuh. "Lama-lama mereka tak tahan, dan menerima tawaran ganti rugi untuk pindah," kata Yossi Beilin dalam wawancaranya dengan Jerusalem Post. Kalau desakan Shimon Peres dan Yossi Beilin -- agar negosiasi berlangsung paling lambat Juli nanti -- didengar Rabin, besar kemungkinan perundingan di Kairo baru final akhir April ini. Dalam sisa waktu yang singkat itu, Israel dan PLO diharapkan bisa menyelesaikan masalah teknis yang tak begitu prinsip. Antara lain menyangkut kehadiran polisi Palestina: PLO menginginkan agar 300 polisi Palestina segera masuk, sementara Israel lain lagi. Sehari setelah kesepakatan diteken, delapan perwira polisi Palestina bersenjata dibolehkan masuk Yerikho. Baru tiga atau lima hari kemudian, 300 polisi tiba, disusul dengan kedatangan 35 ribu orang Palestina -- terdiri dari para keluarga polisi dan calon pegawai negeri yang mengurus pemerintahan Palestina. Maklum, PLO kabarnya kesulitan dana untuk mengirim satuan polisinya dari tempat latihan mereka di Yordania, Mesir, dan Yaman. Sedangkan markas besar Pemimpin PLO Yasser Arafat di Hotel Hisham Palace sudah beres. Hotel kecil di Yerikho ini, yang disewa US$ 500 ribu -- dari bantuan Spanyol -- kini sudah direnovasi. Menurut rencana, 160 tentara pengamat internasional akan tiba di Hebron pekan ini. Karena itu, PLO mungkin harus bersabar, menunggu sampai awal Mei mendatang. Itu kalau rencana Israel tadi bisa dipercaya.Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini