Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Goyang lidah, encik

Dua pedagang sate asal pariaman, sumatera barat, terjaring razia oleh polisi selangor, malaysia. dicurigai berdagang sate anjing karena ada tulisan "sate goyang lidah". akibat persaingan tukang sate. (ln)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI cerita tentang sate, bukan politik. Tersebutlah Rusman Tinek, pedagang sate keliling asal Pariaman, Sumatera Barat. Pertengahan bulan lalu, ia, bersama seorang kolega sekerjanya, sempat menginap prodeo semalam di kantor polisi Shah Alam -- pusat pemerintahan Negara Bagian Selangor, sepenggalan galah dari Kuala Lumpur. Mereka tercatat sebagai hasil jarahan razia tukang sate ketika beroperasi. Dua malam kemudian, nasib sial menimpa Suwardi. Ia ditangkap petugas Pemda Shah Alam. Alasannya: dicurigai menjual sate anjing -- alasan serupa yang dipakai polisi untuk menangkap Rusman dan kawan-kawan. Bedanya, Suwardi tidak usah "menginap". Sebelum persoalan makin berlarut, Sabtu dua pekan lalu, Jawatan Agama Islam Selangor (badan setingkat kantor urusan agama) mengeluarkan fatwa: berdasarkan hasil analisa laboratorium, daging-daging sate yang diperjualbelikan di kawasan Negara Bagian Selangor halal. Menurut H. Ishak H. Baharum, mufti Selangor, kuat dugaan tuduhan tersebut muncul sebagai akibat persaingan bisnis antara penjual sate pendatang (Indonesia) dan setempat (Malaysia). Terutama karena tulisan Sate Goyang Lidah pada kotak penyimpan sate: hanya anjinglah yang selalu bergoyang lidahnya. Aliludin Kasim, salah satu bos sate dari Pariaman, kemudian memerintahkan agar semua tulisan Sate Goyang Lidah dihapus "atas nasihat polisi". Membuktikan tuduhan tersebut ternyata cukup repot. Pemeriksaan laboratoris asal-usul daging sate konon pada mulanya mengalami kesulitan. Karena dagingnya berbentuk irisan-irisan kecil, telah mengering tanpa darah, dan bercampur rempah-rempah. Yang pasti, tuduhan tersebut sempat menyebabkan orang ramai segan membeli sate. Bahkan, menurut penuturan Ali Munar, bos merangkap penjaja, pernah anak buahnya merasa tersinggung karena calon pembeli kadang bertanya, Encik dari Indonesia? Jika diiyakan, mereka lantas melengos, "Tak payahlah (Tak jadi)." Akibatnya, perolehan para tukang sate menurun. Dengan keuntungan tujuh sen untuk tiap tusuk sate seharga M$ 0,25, biasanya mereka bisa menjual tiga ratus tusuk. Sekarang untuk mendapatkan M$ 25 semalam saja sulit tak kepalang. J.R.L., Laporan Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus