Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUA pekan terakhir, Martin Setiawan menjalani pemeriksaan intensif di Kepolisian Daerah Metro Jaya. Polisi menggali terus informasi seputar jaringan penyelundupan hewan langka dari dokter hewan yang pernah bekerja di kantor Balai Besar Karantina Hewan Bandar Udara Soekarno-Hatta ini. "Kami mengejar pelimpahan perkara ke kejaksaan," kata Kepala Subdirektorat Sumber Daya Lingkungan Ajun Komisaris Besar Adi Vivit, Rabu pekan lalu.
Martin, 28 tahun, berstatus tersangka kasus perdagangan ilegal satwa langka. Dia ditangkap awal November lalu di kawaÂsan Palmerah, Jakarta Barat, ketika hendak menjual seekor macan dahan. Satwa langka asal Sumatera itu akan dijual Rp 65 juta. Polisi juga menahan calon pembeli hewan bernama Yahya, warga negara Libya. Tiga perantara yang turut diringkus adalah Jailudin, Donny, dan Andika. "Mereka jaringan yang kerap bekerja sama," ujar Adi.
Komplotan ini membeli hewan langka dari berbagai daerah di Indonesia. Mereka lalu menawarkan hewan tersebut kepada calon pembeli di luar negeri melalui akun samaran di media sosial. Polisi juga membekuk mereka setelah menyamar sebagai calon pembeli melalui jejaring Facebook.
Menurut polisi, kerja jaringan ini terbilang rapi karena melibatkan orang yang punya akses keluar-masuk bandara. Sejauh ini Martin paling tidak sudah empat kali menyelundupkan satwa langka ke luar Indonesia. "Dia meloloskan hewan lewat pintu kedatangan, bukan pintu keberangkatan," kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Komisaris Besar Mujiyono.
Di Balai Karantina, Martin tercatat sebagai dokter hewan lulusan Universitas GaÂdjah Mada tahun 2011. Lelaki yang telah menikah dan menetap di Cibubur, Bogor, ini bekerja di Balai Karantina sejak 2011.
Adapun Yahya semula mengaku sebagai pengungsi yang masuk Indonesia sekitar enam bulan lalu. Setelah didesak polisi, ia baru mengakui telah meloloskan tiga satwa langka ke luar Indonesia, yakni dua ekor orang utan dan seekor beruang madu. "Setiap kali transaksi, Martin yang menentukan apakah hewan termasuk langka atau tidak," ujar penyidik itu.
Martin juga yang membantu Yahya meloloskan hewan langka dari pintu pemeriksaan di bandara. Ia membawa hewan yang telah dibius melewati pintu sinar-X, lalu menyerahkannya kepada kurir di area bandara. Kurir itulah yang membawa hewan langka ke luar negeri, antara lain ke Kuwait. Setiap membantu meloloskan hewan langka, Martin mendapat imbalan Rp 5 juta.
Ketika dihadirkan dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Rabu dua pekan lalu, tak ada tersangka yang bersedia menjawab pertanyaan wartawan.
Kepala Bidang Karantina Hewan Bandara Soekarno-Hatta, Tri Wahyuni, menerangkan bahwa Martin telah dimutasi dari kantor karantina bandara sejak awal Agustus 2015. "Perbuatan dia sama sekali tak melibatkan instansi kami," kata Tri, Kamis dua pekan lalu.
Kuasa hukum Yahya, Rezki, membantah tuduhan polisi bahwa kliennya anggota jaringan penyelundup hewan. Ketika ditangkap, menurut Rezki, Yahya sedang membeli seekor kucing besar. Sedangkan Martin datang membantu mengecek kesehatan kucing yang hendak dipelihara Yahya.
Toh, polisi telah mengantongi informasi bahwa Yahya sering berhubungan dengan jaringan lama yang dikendalikan Andika. Sebelumnya, polisi memburu Andika di Jawa Tengah. Dia akhirnya tertangkap pada 16 November lalu di Batam.
Menurut Ketua Jakarta Animal Aid Network, Benvika, Andika menggunakan berbagai akun samaran dalam memasarkan satwa, antara lain akun Facebook bernama Mighty Pets. "Beraneka ragam satwa yang dia jual," ujar Benvika.
Akhir tahun lalu, Andika ditangkap petuÂgas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah. Terbukti menyelundupkan dua kancil, dua kukang, dan seekor trenggiling, dia dihukum empat bulan penjara. Setelah bebas, Andika kembali menghidupkan jaringan penjualan hewan Âlangka.
Kepala BKSDA DKI Jakarta Awen Supranata mengatakan hukuman ringan tidak menimbulkan efek jera. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, ancaman hukuman bagi penjual hewan langka bisa sampai lima tahun penjara. "Faktanya, hakim lebih sering memvonis dalam kisaran bulan," kata Awen.
Yuliawati, Joniansyah (Tangerang),Egi Adyatama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo