Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Koalisi dengan Seribu Agenda

Teror Paris meningkatkan kekuatan koalisi anti-ISIS di Suriah. Namun perseteruan Turki-Rusia menambah beban koalisi yang sarat agenda pribadi.

7 Desember 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Semburan api biru dan jingga dari mesin jet dua pesawat tempur Tornado tampak mencolok di gelap langit pangkalan militer Inggris di Akrotiri, Siprus. Masing-masing dibekali tiga rudal Paveway seberat 226 kilogram. Tiga jam kemudian, seorang wartawan BBC di pangkalan itu melihat keduanya kembali ke tempat yang sama, tanpa rudal.

Menteri Pertahanan Inggris Michael Fallon lantas melaporkan bahwa pada Kamis dinihari jet-jet tempur Inggris telah menyerang kilang minyak di Jafra, Tanak, dan Al-Omar, yang berada di bawah kekuasaan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Provinsi Deir al-Zor. "Tujuan serangan ini adalah menghancurkan pendapatan Daesh (nama ISIS versi Arab) dari penjualan minyak," kata Fallon kepada BBC.

Inggris melancarkan serangan udara perdana ke Suriah hanya satu jam setelah parlemen menyetujui permintaan Perdana Menteri David Cameron untuk menyerang markas ISIS di Suriah. Lebih dari sepuluh jam berdebat, menjelang Rabu tengah malam, parlemen akhirnya menyetujui serangan udara itu: 397 suara mendukung dan 223 menentang. Suara 66 anggota partai oposisi, Buruh, yang mendukung serangan ke Suriah, menjadi penentu keputusan itu.

Rangkaian serangan di Paris pada 13 November yang menewaskan 132 orang menjadi titik balik bagi kerja sama internasional melawan ISIS di bawah pimpinan Amerika Serikat. Sejumlah negara Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang semula menolak terlibat langsung dalam serangan udara di Suriah, seperti Inggris, akhirnya melunak. Kunjungan Presiden Prancis Francois Hollande ke sejumlah negara sekutunya selama dua pekan terbukti berhasil menggandeng sejumlah negara untuk memperkuat koalisi anti-ISIS di Suriah.

Selama setahun terakhir, sebenarnya Inggris telah bergabung dengan koalisi anti-ISIS yang dipimpin oleh Amerika Serikat itu. Namun operasi militer mereka hanya terbatas di Irak. Pada 2013, parlemen Inggris menolak keinginan Cameron untuk menyerang pasukan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Namun perkembangan terakhir mendorong Inggris secara resmi bergabung dengan sembilan negara lain, seperti Belgia dan Yordania, yang telah menyerang markas dan pos-pos vital ISIS di Suriah.

Karin von Hippel, yang pernah menjabat kepala staf Jenderal John Allen saat memimpin utusan anti-ISIS untuk Amerika Serikat, menegaskan, keterlibatan Inggris akan meningkatkan legitimasi dan dukungan moral terhadap perjuangan koalisi melawan ISIS. "Inggris memiliki kompetensi dan kapabilitas militer yang diakui dunia," tutur Von Hippel kepada CBS News.

Selain Inggris, negara Eropa lain yang menunjukkan dukungan terhadap Prancis adalah Jerman. Menyusul serangan Paris, Kanselir Angela Merkel menyatakan menghormati permintaan Hollande untuk memberi dukungan operasi melawan ISIS di Suriah. Jerman berencana mengirim sejumlah pesawat pengintai, pesawat tanker, kapal perang, dan sekitar 1.200 tentara ke wilayah tersebut.

Namun Jerman menegaskan tak akan terlibat secara aktif dalam pertempuran. Keputusan melakukan kampanye militer di Suriah memang langkah besar bagi Merkel. Sejak kalah dalam Perang Dunia II, Jerman mengukuhkan konstitusi yang melarang negara tersebut berperang di negara asing.

Tawaran Jerman tetap menuai apresiasi dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry. Dalam pertemuan NATO di Brussel pekan lalu, ia menyebut koalisi anti-ISIS membutuhkan banyak bantuan yang tidak melibatkan pertempuran. "Kami juga membutuhkan bantuan fasilitas medis, pengumpulan data intelijen, dukungan struktur militer, operasional bahan bakar, pertahanan udara, dan lainnya," kata Kerry.

Namun sinergi baru kekuatan internasional melawan ISIS dinodai oleh perseteruan antara Turki—salah satu negara anggota NATO dan sekutu Washington—dan Rusia, yang mendukung rezim Assad. Hubungan kedua negara memburuk setelah jet tempur F-16 Turki menembak jatuh jet tempur Sukhoi Rusia di perbatasan Suriah dan Turki, dua pekan lalu.

Perang kata dan ancaman embargo ekonomi dari Rusia menimbulkan ketegangan di antara kedua negara pekan lalu. Bahkan Wakil Menteri Pertahanan Rusia, Anatoly Antonov, menuding Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan keluarganya memperoleh keuntungan jutaan dolar dari perdagangan minyak gelap dengan milisi ISIS.

Washington sejatinya berharap banyak pada Rusia untuk bergabung memerangi ISIS, setelah pesawat komersial mereka di Mesir dibom oleh kelompok terafiliasi ISIS pada 31 Oktober lalu. Amerika berharap tewasnya 224 penumpang dan kru pesawat akan membuat Rusia berfokus memerangi ISIS. Walau telah melakukan serangan udara di Suriah sejak September lalu, Amerika dan kelompok pengamat Syrian Observatory for Human Rights melaporkan serangan udara Rusia terhadap ISIS hanya 10 persen. "Sisanya ditujukan kepada kelompok pemberontak yang memerangi ISIS," ujar Philip Breedlove, Komandan Angkatan Udara Amerika untuk NATO di Eropa.

Optimisme Amerika terhadap Rusia dan Iran dipicu oleh kesediaan keduanya untuk menerima opsi transisi politik di Suriah. Wakil Menteri Luar Negeri Tony Blinken pada Selasa pekan lalu mengatakan kehadiran Rusia dan Iran, untuk pertama kali, dalam perundingan di Wina beberapa pekan lalu, menjadi catatan bersejarah. "Itu adalah pernyataan pertama dan mungkin dapat membuka jalan untuk menghentikan krisis di Suriah."

Terbukanya kemungkinan kerja sama antara Rusia dan Iran sebagai pendukung Assad, dengan negara-negara Teluk yang bersekutu dengan Amerika untuk menjungkalkan Assad, justru terbuka lebar berkat kemunculan ISIS. Dalam pertempuran melawan ISIS, kedua kubu yang berseteru itu nyaris berkawan.

Sebagai kelompok ekstremis Sunni, ISIS membidik kelompok minoritas, seperti Syiah, Nasrani, Yazidi, hingga Kurdi di Irak dan Suriah. Mereka juga menculik dan membunuh sandera-sandera warga negara Barat secara brutal. Akibatnya, negara-negara yang sebelumnya berseteru justru kerap bekerja sama atau berkoordinasi sebelum melakukan serangan terhadap ISIS di Irak dan Suriah.

Sebelumnya, Iran secara tidak langsung bekerja sama dengan Amerika untuk melawan ISIS di Irak. Pasukan Iran mendukung milisi Syiah Irak di darat, sementara serangan udara Amerika menghancurkan posisi-posisi vital ISIS. Washington dan Moskow melakukan koordinasi rutin agar tidak saling serang saat menghancurkan ISIS di Suriah.

Hanya, diplomat veteran Jerman mengingatkan agar negara-negara Barat tak terlalu berharap pada Moskow. Menurut Duta Besar Jerman untuk Amerika Serikat periode 2001-2016, Wolfgang Ischinger, Putin memang memberikan simpati atas tragedi Paris dan memuji serangan perdana Inggris ke Suriah. Tapi Ischinger yakin Putin tidak akan mengubah kebijakannya secara drastis tahun depan.

"Saya khawatir Putin akan menunda membuat keputusan besar, seperti konflik Suriah, hingga pemilu Presiden Amerika Serikat berlangsung. Dari perspektifnya, janji Presiden Amerika yang hanya akan menjabat selama setahun lagi tidak cukup kuat," ucap Ischinger, yang kini menjabat Ketua Munich Security Conference, kepada Reuters.

Sita Planasari Aquadini (The Guardian, CNN, BBC, Reuters, AP, CBS News)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus