Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kehidupan di Rakhine, Myanmar, yang dihuni oleh sekitar 180 ribu warga Rohignya telah berhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Komite Palang Merah Internasional (ICRC), mereka adalah sisa dari 650 ribu warga Rohingya yang melarikan diri ke Bangladesh akibat kekerasan pada Agustus 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan lansia pengungsi Rohingya dibantu seorang wanita saat berjalan dilumpur setelah melintasi sungai Naf River ketika berada di perbatasan Bangladesh-Myanmar di Palong Khali, Cox’s Bazar, Bangladesh, 1 November 2017. REUTERS/Adnan Abidi
Dominik Stillhart, Direktur Operasi ICRC, mengatakan, ketegangan masih berlanjut di daerah muslim setelah kaum Buddha di sana melarang para pedagang muslim membuka kembali toko dan pasarnya.
Stillhart yang pernah keluar masuk daerah terpencil di Myanmar selama tiga tahaun itu menjelaskan, ICRC hanyalah salah satu lembaga yang beroperasi di utara Rakhine setelah militer Myanmar melakukan kampanye yang disebut oleh PBB sebagai operasi pembersihan etnis menyusul serangan 25 Agustus 2017 oleh militan Rohingya.
"Situasi di utara Rakhine benar-benar stabil. Namun masih ada aksi sporadis di beberapa tempat dan ketegangan antarkelompok masyarakat," kata Stillhart kepada wartawan seperti dilaporkan Channel News Asia.
Pengungsi Rohingya mengambil air dari pompa air manual, di dekat toilet umum yang terbuat dari bambu dan tertutup terpal, di sebuah kamp pengungsi Kutupalong di Cox's Bazar, Bangladesh, 21 November 2017. REUTERS
Stillhart pernah berkunjung ke Maungdaw, Buthidaung dan Rathedaung di utara Rakhine, tempat ICRC membuka markas guna menyediakan makanan, air dan bantuan lain bagi 150 ribu orang. Pada akhir tahun ini, ICRC berharap dapat menyediakan bantuan untuk 180 ribu warga Rohingya di Myanmar.