ADA tantangan baru buat Presiden Amin Gemayel. Setelah dilantik
(23 September) ia mesti "mempertanggungjawabkan" kasus
pembantaian di kaunp pengungsi Sabra dan Shatila. Menurut
beberapa sumber di Beirut, peristiwa yang menewaskan ratusan
penduduk sipil itu didalangi oleh perwira top Phalangis dan
melibatkan korps milisi pilihan Libanon.
Menurut sumber intelijen Barat, Menhankam Israel Ariel Sharon
bahkan seminggu sebelum pembunuhan Bashir Gemayel mengadakan
serangkaian pertemuan dengan presiden terpilih itu. Sharon
mengadakan pembicaraan dengan Bashir di ruang belakang Restoran
"Retro" di Beirut Timur. Hasil pembicaraan mereka belum
terungkap. Tapi dengan berbagai petunjuk itu, partai Phalangis
diduga tidak bisa "cuci tangan".
Presiden Amin Gemayel, yang tampil setelah adiknya tewas,
mengaku ia tidak tahu-menahu soal keterlibatan pemimpin teras
Phalangis. Walau menjadi salah seorang pemimpin partai--bahkan
kini menjadi ketuanya--Amin Gemayel semula tidak terlalu banyak
mencampuri urusan militer partai.
Siapa sebenarnya yang "bertanggung jawab" atas kasus pembantaian
itu, sampai sekarang belum jelas benar. Di Israel sendiri sudah
terjadi protes massa mengecam langkah PM Menachem Begin dan
Sharon, bahkan juga muncul aksi di kalangan jenderal. Sekitar
100 perwira tinggi (brigjen ke atas) menentang Ariel Sharon dan
mendesak agar ia berhenti.
Aksi itu dipimpin oleh Kepala Staf AB Jenderal Rafael Eytan.
Sharon sendiri berusaha mengelakkan tanggung jawabnya, bahkan
mencoha melemparkan ke salahan kepada Angkatan Darat Israel.
Kecaman para perwira tinggi itu muncul dalam suatu pertemuan
rahasia pekan lalu di Tel Aviv. Ketika itu, mereka sengaja
mengundang Sharon untuk menJelakan soal pembantaian Sabra dan
Shatila, akibat meningkatnya kecaman (lihat Media).
Sementara itu Presiden Gemayel berniat menyatukan berbagai pihak
yang bertikai, membentuk pemerintahan yang kokoh, dan membangun
angkatan bersenjata yang tangguh. Dia juga berniat mengikat
hubungan lebih erat dengan Amerika Serikat. Sebagai anggota Liga
Arab, Libanon akan memainkan peran jembatan Timur dan Barat.
Hasil pertama yang dicapainya ialah mengukuhkan Beirut sebagai
ibukota seluruh Libanon. "Saya sangat bahagia mengumumkan hal
ini," kata Amin Gemayel. "Ini adalah peristiwa bersejarah bahwa
tidak ada lagi Beirut Barat dan Timur. Sebagai simbol
persatuan." Ia mengundang pasukan multinasional kembali ke
Beirut.
Pasukan Italia berkekuatan 1.050 orang dan 1.162 tentara payung
Prancis tiba beberapa hari setelah pembantaian kedua kamp
pengungsi Palestina itu. sedang marinir AS semula baru mau
mendarat setelah Israel berjanji angkat kaki dari Beirut. Walau
Israel masih belum berangkat dari bandar udara internasional
Beirut, AS toh akhirnya mendaratkan 1.200 marinirnya pekan lalu.
Tidak ada insiden ketika tentara pemelihara perdamaian memasuki
Libanon. Hanya ada ledakan bom cluster ketika kontingen kedua
marinir AS tiba hari Kamis. Seorang tewas dan tiga lainnya luka
berat. "Itu hanya kecelakaan biasa," kata Henry F. Cotto, juru
bicara Kementerian Pertahanan AS (Pentagon) di Washington.
Gedung Putih juga tidak terlalu kaget. Dan Ronald Reagan tidak
berniat menarik pasukan marinir itu. "Mereka akan tetap tinggal
di sana," kata Presiden Reagan. "Sampai pasukan asing --
termasuk Israel dan Suriah--meninggalkan Libanon," kata Menlu
Italia Emilio Colombo pula. Sedang Menlu Prancis Claude Cheysson
kelihatan lebih berhati-hati. Pasukan pemelihara perdamaian
bercokol di Libanon tidak harus sampai tentara asing angkat kaki
dari sana, "tapi terserah kepada pemerintah Libanon," katanya.
Pasukan multinasional itulah agaknya menjadi tumpuan
pemerintahan Gemayel unwk mengenyahkan tentara Israel dan
Suriah.
Tentara Suriah hadir di Libanon sejak 1976, dengan mandat Liga
Arab untuk melerai kelompok Kristen dan Muslim ang sedang baku
hantam. Kini Suriah konon bersedia menarik tentaranya bila saja
Liga Arab mencabut mandatnya .
Tapi desas-desus tersiar bahwa pemerintah akan mengusir penduduk
keturunan Palestina (setengah juta) di Libanon. Razia dan
pemeriksaan atas orang Palestina sering dilakukan belakangan
ini. Berkata seorang laki-laki berusia 50 tahun yang tinggal di
sana lebih dari separuh umurnya: "Kami takut dibantai seperti di
Shatila dan Sabra. Kami juga was-was akan kedudukan kami di sini
nanti."
Jika Liga Arab turut merasa "waswas" akan nasib orang Palestina
itu, yang mayoritas Muslim, mandatnya untuk tentara Suriah
justru diduga akan diperpanjang. Namun menurut berita dari
Damaskus, utusan khusus AS Philip Habib sedang menawarkan
rencana tiga tahap penarikan bersama pasukan Suriah maupun
Israel dari Libanon. Gagasan mundur bersama itu pada prinsipnya
disetujui Suriah dan Israel, tapi kedua pihak masih saling
mencurigai cara pelaksanaannya. Rencana Philip Habib sekali ini,
seperti halnya untuk evakuasi pasukan PLO dari Beirut Barat
September lalu, tentu juga tergantung pada usaha diplomasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini