Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali Reza Yawari masih berusia 15 tahun saat dia terpaksa meninggalkan keluarga dan negaranya, Afghanistan pada akhir 2014. Keputusan itu diambil Ali setelah dia merasa hidupnya tidak aman dari perang dan persekusi, hanya karena dia terlahir sebagai seorang Hazara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di usia semuda itu, Ali melewati perjalanan panjang demi bisa keluar dari Afghanistan. Pertama, dia melewati India, lalu ke Malaysia dan berakhir di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampai delapan tahun kemudian, Ali masih ada di Indonesia tanpa ada kepastian. Tahun-tahun yang seharusnya dia lewatkan di sekolah dan universitas berlalu begitu saja seperti sebuah mimpi buruk.
Ali hanyalah satu dari 14 ribu pengungsi yang ada di Indonesia. Belasan ribu pengungsi tersebut tinggal di antara kita, di kota-kota seperti Jakarta, Bogor, Makassar, Aceh, Pekanbaru, dan wilayah lain. Sampai saat ini, pengungsi di Indonesia tidak diberi akses untuk bekerja, dan akses terhadap pendidikan masih sangat terbatas.
Alasan yang selalu dipakai beberapa pihak adalah karena Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi PBB tahun 1951. Padahal, Sandya Institut melaporkan bahwa rata-rata lama tinggal pengungsi bisa mencapai 5 tahun.
Seperti halnya Ali, bahkan ada pengungsi yang sudah hampir 10 tahun tinggal di Indonesia dalam situasi serba tidak pasti. Situasi tersebut membuat frustrasi pengungsi.
Sampai saat ini, tercatat ada 16 kasus pengungsi bunuh diri karena depresi hidup dalam keputusasaan. Waktu terus berjalan dan isu pengungsi tidak bisa diselesaikan hanya dengan segelintir pihak.
Menyoroti kehidupan para pengungsi tersebut, Resilience Development Initiative Urban Refugee Research Group (RDI UREF) menyelenggarakan pameran seni “Let’s Walk My Journey” atau LWMJ pada 6 Agustus – 20 Agustus 2022 di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Pameran ini diharapkan bisa membangun kesadaran masyarakat Indonesia akan keberadaan dan kondisi pengungsi di Indonesia serta membawa pengunjung melihat dari sudut pandang pertama pengalaman hidup pengungsi.
pameran seni “Let’s Walk My Journey” atau LWMJ pada 6 Agustus – 20 Agustus 2022 di Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Sumber: dokumen Resilience Development Initiative Urban Refugee Research Group
RDI UREF dalam keterangannya menjelaskan pameran ini menampilkan karya seni buatan 35 pengungsi dari tujuh negara, dengan kurator Vincent Rumahloine, yakni seorang seniman kontemporer dengan karya yang berfokus pada kemanusiaan.
Acara pameran ini, juga membuka ruang diskusi bersama para seniman melalui talk show, pemutaran film, serta peluncuran buku. Ali pun berbagi tentang lika liku perjalanannya sebagai pengungsi di Indonesia melalui peluncuran buku pertamanya, sebuah antologi prosa dan puisi “Lost in the Calm”. Dari buku ini, pembaca dibawa ke alam berpikir Ali di sejumlah momen kegelapan, harapan, dan kerinduan, yang dituliskannya selama enam tahun terakhir.
Seperti para seniman pengungsi lain, seni telah menjadi tempat berlindung (refuge) dari bayang-bayang keinginan untuk mengakhiri hidup karena nasibnya yang tidak jelas. Bagi Ali, puisi dan prosa menjadi alasan baginya untuk terus melanjutkan hidup, sementara.
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini.