Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUANG tamu di lantai tujuh gedung Pengadilan Tindak Pidana Korupsi itu terlihat lengang. Yang tampak seorang penjaga keamanan dan seorang tamu yang duduk termangu. Di situlah, di gedung di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, tempat pendaftaran calon anggota Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Kamis pekan lalu seharusnya menjadi salah satu puncak keramaian pendaftaran. Saat itu, pendaftaran memasuki hari terakhir, tapi hingga pukul empat petang, pendaftar baru mencapai angka seratus. Itu pun sebagian melalui pos. Angka itu jauh dari target yang diharapkan.
Sebelumnya, panitia seleksi yang dipimpin Harkristuti Harkrisnowo dan beranggotakan Abdul Wahid, Teten Masduki, Rita Serena Kalibonso, dan Indriyanto Seno Adji menargetkan sekitar 150 pendaftar. Namun, sejak dibuka 18 September lalu ternyata peminatnya jauh dari harapan. Bahkan pada hari pertama pendaftaran, yang mengantar surat lamaran hanya tujuh orang.
Panitia seleksi rupanya tak mau ambil risiko. Begitu Kamis pekan lalu jumlah pendaftar jauh dari target, panitia memutuskan pendaftaran diundur hingga 20 Oktober. ”Supaya leluasa memilih yang terbaik,” kata Harkristuti, Ketua Panitia Seleksi, yang juga menjabat Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia (HAM) Departemen Kehakiman.
DIBENTUK berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, LPSK memang akan menjadi lembaga penting untuk menyelamatkan saksi dan korban kejahatan serius seperti korupsi dan terorisme. ”Lembaga ini untuk menguatkan eksistensi perlindungan negara terhadap warganya,” kata Harkristuti. Salah satu tugas lembaga ini, misalnya, menyeleksi siapa saja yang berhak mendapat perlindungan hukum. ”Termasuk bantuan medis.”
Pembentukan lembaga ini pun terhitung molor. Menurut Pasal 45 UU No. 13/2006, LPSK seharusnya berdiri setahun setelah UU itu disahkan. Nyatanya, setelah disahkan undang-undangnya pada 11 Agustus 2006, sampai sekarang lembaga itu baru tahap ”memburu” anggota.
Dibanding dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dan Komisi Pemilihan Umum, nama LPSK memang kalah pamor. ”Sosialisasinya sangat kurang,” ujar seorang anggota Panitia Seleksi. Sampai Jumat pekan lalu, misalnya, jumlah pendaftar tercatat baru sekitar 146 orang.
Dari jumlah itu, satu-satunya nama yang bisa dibilang top adalah M.M. Billah, bekas anggota Komnas HAM. Yang lain ”tak terdengar” kiprahnya. Para pelamar yang terdiri dari anggota LSM, anggota polri, jaksa, pengacara, dan dosen tersebut sebagian besar berasal dari Jakarta.
Tujuan mereka pun beraneka ragam. Ada yang serius ingin menyelamatkan para saksi, ada yang ingin coba-coba, hingga sekadar mengisi waktu luang. Yang menyatakan serius, misalnya, Brigadir Jenderal Polisi (Purn.) Suryadharma Nasution, staf ahli Komite Nasional Keselamatan Transportasi. ”Saya benar-benar ingin mengabdi,” katanya. Seorang pelamar lain, kepada Tempo, mengaku melamar karena menganggur. ”Siapa tahu diterima,” ujar bapak berumur 63 tahun ini.
Tentang tidak adanya nama top atau tokoh terkenal, Harkristuti menyatakan pihaknya tak khawatir. ”Yang penting track record dan kemampuan mereka bekerja,” ujarnya. Ia optimistis, dengan perpanjangan waktu pendaftaran, panitia akan memperoleh orang-orang terbaik.
Salah satu yang segera gencar dilakukan Panitia adalah sosialisasi ”apa itu LPSK.” Rencananya, sosialisasi akan dilakukan pekan ini di tiga kota: Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. ”Tiga kota ini tempat berkumpulnya aktivis dan pemerhati HAM,” ujar Harkristuti.
Tak hanya melakukan sosialisasi, panitia juga akan menemui Kepala Polri dan Jaksa Agung. Mereka akan meminta kedua petinggi itu ”mendorong” dan tak menghalang-halangi anggotanya jika ingin melamar ke LPSK. Termasuk, menerima mereka kembali jika selesai bekerja di lembaga tersebut.
Harkristuti mengakui, banyak orang yang belum mengetahui LPSK dan fungsinya. Karena itu, ujarnya, mereka yang terpilih nanti, yakni tujuh orang anggota LPSK itu, harus mampu membangun LPSK menjadi lembaga yang punya kekuatan dan dikenal masyarakat. ”Ini pekerjaan berat, sebab pemerintah tidak menyediakan konsep lembaga ini,” katanya.
Dalam menjalankan tugasnya kelak, anggota LPSK dibantu sejumlah tim yang mereka rekrut sendiri. Tugas tim, antara lain, merancang bagaimana seorang saksi penting bisa terlindungi dan aman dari ancaman apa pun, termasuk, jika perlu, mengganti identitas dan membiayai hidupnya. Semua pekerjaan LPSK akan dilaporkan ke Presiden dan DPR.
Panitia Seleksi akan bekerja cepat untuk menghasilkan ”tujuh pendekar” penyelamat saksi. Setelah pada 20 Oktober nanti ditutup, selanjutnya para pendaftar akan menjalani sejumlah tes dari tes administrasi, membuat makalah, tes psikologi, hingga wawancara. Tes ini akan ”memeras” peserta menjadi 21 orang yang kemudian nama-nama itu dikirim ke Presiden. ”Presiden nanti yang memilih 14 nama untuk diusulkan ke DPR,” kata Harkristuti. Nah, para wakil rakyat selanjutnya memilih tujuh dari 14 nama yang disodorkan Presiden.
Menurut Koordinator Indonesia Corruption Watch, Teten Masduki, sebagai lembaga baru yang belum dikenal, LPSK sangat membutuhkan orang yang serius bekerja. Menurut Teten, lembaga ini bukan tempat mencari popularitas. ”Karena lembaga ini sifatnya mendampingi dan mengayomi korban,” katanya. Seperti Harkristuti, Teten tidak mempersoalkan jika yang masuk dalam lembaga bukan orang terkenal. ”Yang penting punya komitmen.”
Hanya, Teten menegaskan, karena lembaga baru, maka anggota LPSK harus berasal dari para aktivis HAM, ahli strategi, dan ahli manajemen. ”Karena di sini yang diperlukan jaringan,” katanya. Untuk menjaring orang-orang seperti ini, menurut Teten, pihaknya akan mendatangi kelompok pekerja HAM dan kelompok antikorupsi. ”Bagi kami yang sulit adalah mencari ahli kejahatan ekonomi,” katanya.
Sunariah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo