Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Kembali ke Wisma Biru

Presiden perempuan pertama Korea Selatan ini sudah pernah menjadi First Lady. Dituduh melestarikan kekuasaan ayahnya, Park Chung-hee, dia malah minta maaf.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden terpilih Korea Selatan, Park Geun-hye, ternyata sudah pernah membawakan tarian lagu Gangnam Style—tarian ala naik kuda yang dipopulerkan penyanyi rap Korea Selatan, PSY. Tapi penampilannya itu hanya ada dalam video hasil rekayasa di situs resmi Korea Utara, www.uriminzokkiri.com, September lalu.

Gambar di video tersebut diawali dengan seseorang tengah menarikan Gangnam Style. Nah, wajah sang penari digantikan wajah Geun-hye, kala itu kandidat presiden dari Partai Saenuri. Video dilanjutkan dengan ejekan atas dukungan Geun-hye terhadap tindakan masa lalu ayahnya, Park Chung-hee, mantan diktator Korea Selatan.

Korea Utara, seteru Korea Selatan, rupanya mengolok-olok Geun-hye dengan parodi dari Gangnam Style yang mendunia itu. "I'm Yushin style!" tertulis di bawah gambar "Geun-hye". Dia disebut sebagai pengagum Yushin, sebuah sistem pemerintahan autokratis ayahnya.

Hinaan masih berlanjut, "Jangan katakan era Yushin seperti neraka karena sebenarnya sangat membantu para chaebol." Chaebol adalah sebutan untuk kaum konglomerat yang mendominasi perekonomian Korea Selatan selama beberapa dekade.

Ayah Geun-hye memang kontroversial. Merebut kursi presiden dengan kudeta militer pada 1961, Park Chung-hee menerapkan Konstitusi Yushin dengan sistem otoriter. Selama 18 tahun berjalan, perekonomian Korea Selatan terdongkrak, tapi diiringi represi negara secara sistematis. Lawan-lawan politik Chung-hee menjulukinya diktator. Di sisi lain, ia dielu-elukan sebagai pelopor yang membangun fondasi negara dari reruntuhan Perang Korea 1950-1953 hingga menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia besar.

Geun-hye menjawab olok-olok itu dengan mengajukan permintaan maaf ke publik atas tindakan brutal dan represif pemerintahan ayahnya. "Di balik pertumbuhan ekonomi yang terus menanjak, ada derita pekerja yang menjadi korban kondisi penuh tekanan," katanya seperti dikutip BBC, September lalu. "Dengan dalih melindungi keamanan nasional dari ancaman Korea Utara, terjadi pelanggaran hak asasi negara oleh kekuatan negara."

Sepanjang karier politiknya, Geun-hye di bawah bayang-bayang nama sang ayah. "Karena nama ayahnya yang ternoda, posisi politiknya menjadi terhambat," tulis wartawan BBC di Seoul, Lucy Williamson.

Rabu pekan lalu, Geun-hye membalik analisis tersebut. Dari 94 persen suara yang masuk pada pemilihan umum, dia unggul dengan perolehan suara sebesar 51,66 persen. Penantangnya, pegiat hak asasi manusia, Moon Jae-in, dari kubu sayap kiri, mendapat 47,91 persen suara. Geun-hye pun akan menempati kantor kepresidenan mulai Februari 2013 hingga lima tahun mendatang.

Tak sekadar itu, ia juga mendobrak tabu dengan menjadi presiden perempuan pertama. "Jika terpilih menjadi presiden, dia menabrak tabu itu. Sama seperti Barack Obama, yang menjadi presiden kulit hitam pertama Amerika Serikat," tulis Guardian ketika mengulas pencalonan Geun-hye pada Juli lalu.

Pada usia 60 tahun, Geun-hye kembali ke Wisma Biru, istana kepresidenan Korea Selatan. Sekitar setengah abad sebelumnya, dia menjadi penghuni Wisma Biru, mengikuti ayahnya ketika berusia 9 tahun. Kakak pertama dari tiga bersaudara itu tumbuh dengan beban lebih berat dibanding teman-temannya.

Pada 1974, ibunya, Yuk Young-soo, tewas ditembak dalam serangan pembunuh dari Korea Utara yang meleset dari sasaran utama, sang ayah. Sejak itu, pada usia 22 tahun, Geun-hye menjadi First Lady. Dia menyambut para istri kepala negara yang berkunjung ke negeri itu. Lima tahun kemudian, sang ayah tewas ditembak kepala intelijennya sendiri. Geun-hye menghilang sejak itu.

Setelah 18 tahun, yaitu pada 1997, Geun-hye turun gunung ke kancah politik, bergabung dengan Grand National Party, cikal-bakal partainya sekarang, Saenuri. Karier politiknya melesat. Setahun kemudian, dia meraih kursi legislatif di kota asalnya, Daegu. Selama 15 tahun menjadi anggota parlemen, Geun-hye berjasa memimpin partainya melewati masa-masa kritis.

Geun-hye memang perempuan tangguh. Pada masa kampanye 2006, seorang pria menyerangnya dengan alat pemotong kardus (box cutter). Meski mendapatkan 60 jahitan, Geun-hye kembali berkampanye segera sesudahnya. Setahun kemudian, dia mulai mengajukan diri ke bursa presiden. Namun partainya memilih Lee Myung-bak, yang kini dia gantikan sebagai presiden.

Pada kampanyenya, Geun-hye berjanji memprioritaskan "Rekonsiliasi Nasional" serta meningkatkan "Demokrasi Ekonomi" dan kesejahteraan sosial. Selain itu, ia berjanji meratakan kesejahteraan dan mempererat hubungan dengan Korea Utara. Sarjana teknik dari Universitas Sogang, Seoul, itu pernah berkunjung ke Pyongyang, Korea Utara, pada 2002, dan bertemu dengan mendiang pemimpin Korea Utara, Kim Jong-il.

Geun-hye dikenal suka membandingkan dirinya dengan mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dan Kanselir Jerman Angela Merkel. Capaian puncaknya kini sejalan dengan tekadnya. Dia memilih tetap melajang hingga kini. "Saya hanya ingin mendedikasikan hidup saya bagi negara."

Harun Mahbub (Anisa, Trip, AFP, AL-Jazeera, Bangkok Post, BBC, GUARDIAN, The Telegraph, Yonhap)


Amanat Sungai Han

Hari ini aroma Korea Selatan menelusup di lini kehidupan masyarakat di banyak negara. Gelombang Korea alias Hallyu melanda dunia dalam satu dasawarsa terakhir. Serial drama televisi Korea diputar dari Cina; terus menyebar ke negara-negara lain, seperti Hong Kong, Vietnam, Thailand, Indonesia, Filipina, Jepang, dan Amerika Serikat; sampai Amerika Latin dan Timur Tengah. Gelombang itu meluas ke produk Korea Selatan lain, seperti masakan, barang elektronik, musik, dan film. Budaya populer Korea (K-Pop) pun mewarnai dunia.

Dalam dua dekade terakhir, Korea Selatan intensif mengembangkan sektor industri kreatif demi menunjang laju perekonomiannya. Fokus pengembangannya adalah industri konten, yang meliputi penerbitan, kartun, musik, permainan elektronik dan interaktif, film, animasi, penyiaran, periklanan, karakter, pengetahuan, serta informasi. Sejumlah film drama yang laris—juga menguras air mata para perempuan—sudah tak terhitung banyaknya sejak Winter Sonata ditayangkan pertama kali pada awal 2002. Beberapa bintang K-Pop, seperti Super Junior, Rain, Wonder Girls, dan yang terbaru, rapper PSY dengan Gangnam Style-nya, merenggut perhatian dunia.

Produk-produk elektronik dan otomotif Korea Selatan pun membukukan posisi papan atas. Merek-merek seperti LG dan Samsung sudah menjadi kelas dunia. Produk dari telepon seluler canggih, televisi plasma, LCD, sampai semikonduktor bisa diproduksi Korea Selatan. Selain itu, ada Hyundai, salah satu perusahaan otomotif besar di dunia. Dana Moneter Internasional (IMF) memprediksi Korea Selatan akan lebih kaya dibanding Jepang dalam lima tahun mendatang. Pada 1980, produk domestik bruto Korea Selatan hanya kurang dari seperempat Jepang.

Korea Selatan telah bangkit dari puing-puing Perang Korea pada 1950-an. Dari salah satu negara termiskin di dunia pada 1960-an, Korea Selatan berubah menjadi negara industri utama dan menjadi salah satu negara termaju dalam kurun 40 tahun. Pendapatan bruto negara mencapai US$ 969,9 miliar dan terbesar ke-12 berdasarkan produk domestik bruto. Perkembangannya yang pesat kerap disebut sebagai Keajaiban Sungai Han—mengutip salah satu nama sungai di sana.

Terletak di Semenanjung Korea, wilayah Korea Selatan lebih kecil daripada Pulau Jawa, yaitu hanya sekitar 100.210 kilometer persegi—luas Jawa sekitar 126.700 kilometer persegi.

"Kerikil" utama yang menghambat laju Korea Selatan sekarang adalah hubungan dengan saudaranya sendiri, Korea Utara, yang belum kunjung mesra. Konflik peninggalan era Perang Dingin masih melekat. Upaya penyatuan memang kerap dirintis, hingga Korea Selatan pernah meluncurkan kebijakan Sunshine Policy. Namun ancaman militer Korea Utara sering menghambat upaya penyatuan. Hingga kini, pergesekan kedua negara kerap mengantar keduanya pada tubir perang.

Harun Mahbub (berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus