Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI mata Is Fatimah, lempung berkilau layaknya emas. Material yang lebih banyak dipakai untuk bahan bangunan ini ia gunakan sebagai penjerat energi matahari.
Ketertarikan terhadap lempung sudah dirasakan dosen kimia material ini sejak awal mengajar di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Indonesia (FMIPA UII) pada 1998. Adalah dosen pembimbingnya yang menyadarkan peraih gelar doktor kimia dari Universitas Gadjah Mada ini untuk mendalami lempung.
"Hasil riset lempung bisa bermanfaat besar," katanya kepada Tempo di Yogyakarta, Selasa pekan lalu.
Lempung merupakan batuan silika yang melapuk oleh asam karbonat. Ketika bercampur air, bahan ini berubah menjadi lengket dan liat. Sifatnya yang mudah dibentuk ketika basah dan keras ketika kering membuat material ini dijadikan batu bata, keramik, dan gerabah oleh industri rumah tangga.
Selama satu dasawarsa terakhir, Is menyelami keunikan lempung. Ia mempelajari lempung pilihan, berbulir halus dengan daya rekat kuat. Lempung seperti ini biasanya ia dapat dari Boyolali. Lempung kualitas tinggi ini ternyata bisa dicampur dengan titanium dioksida (TiO2), yang banyak dipakai sebagai bahan baku pewarna sintetis. Dengan mencampurkan lempung dan titanium dioksida, ia mendapatkan bahan baru bernama lempung titania (clay titania), yang halus mirip tepung. "Eksperimen pembuatan lempung titania sudah terbit melalui 17 makalah di jurnal internasional," ujarnya.
Sejak 2010, ibu tiga anak ini menyibukkan diri dengan lempung titania di laboratorium kimia FMIPA UII. Kesibukan ini mengantarkannya pada penemuan manfaat praktis lempung titania. "Bisa dipakai sebagai bahan sel surya generasi ketiga," kata Is. Ia menggunakan teknologi Dye Sensitized Solar Cell (DSSC), merupakan alternatif dari teknologi sebelumnya yang memakai kristalin silika dan film tipis.
Sel surya buatan Is dibuat dengan mencampur lempung titania dengan pigmen dari sari kulit manggis yang berwarna merah keunguan. Pigmen berfungsi sebagai mengikat sinar matahari lebih banyak. Lempung manggis lalu diselipkan di tengah dua lempeng gelas konduktif. Olala, listrik mengalir dari sel setelah disinari.
Pada 2011, penelitiannya mendapat dukungan dana sebesar Rp 70 juta dari program L'Oréal-UNESCO for Women in ÂScience untuk bidang material science. Pada Juli 2012, ia memperkenalkan hasil penelitiannya ke konferensi internasional Recycling and Reuse di Turki.
Presentasi Is mengundang perhatian pakar lempung mancanegara. Maklum, sel surya buatannya menggunakan bahan ramah lingkungan dengan kelimpahan tinggi. Lempung diketahui sebagai mineral yang banyak tersebar di Indonesia. Sedangkan kulit manggis dianggap sampah sehingga banyak dibuang tanpa sempat diolah. "Bahan dasar sel surya ini murah dan melimpah," ujar perempuan kelahiran Bantul 37 tahun silam ini.
Pakar sel surya dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Kholid Akhmad, mengatakan temuan Is terhitung baru di bidang pembangkit listrik tenaga surya. Peneliti sel surya memang terus mencari bahan baru yang memiliki efisiensi tinggi. Tapi teknik DSSC seperti yang diterapkan pada lempung manggis, kata dia, masih harus diperbaiki karena efisiensi teknik ini masih 2-4 persen. Sebagai perbandingan, bahan silikon kristalin memiliki efisiensi 18-19 persen. Adapun bahan film tipis memiliki efisiensi 8-9 persen.
Is membenarkan lempung manggis belum bekerja seperti yang diharapkan. Lempung manggis yang ia pelajari sekarang baru menghasilkan tegangan listrik 10 persen sel surya berbahan titanium oksida murni.
Dalam beberapa tahun ke depan, Is akan memperbaiki temuannya itu. Ia mengatakan kekuatan mengikat cahaya pigmen kulit manggis masih harus ditingkatkan. Begitu pula campuran lempung dan titanium oksida harus ditakar ulang per imbangannya. "Peluang keberhasilan masih terbuka. Apalagi saya mendapat dukungan dari peneliti lempung asal Cina dan Australia," ucapnya optimistis.
Anton William, Addi Mawahibun Idhom (Yogyakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo