Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mahar Mengalir sampai Jauh

Fee ditebar sebelum proyek Hambalang dimulai. Adik menteri kecipratan.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBELUM menutup telepon, Lisa Lukitawati Isa mengambangkan kata-katanya. "Saya tak berani menjawab," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Mengaku sedang menjalani terapi kesehatan, bekas anggota tim asistensi Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk proyek Hambalang itu menolak ditemui. "Pekan depan saja, ya...?" Lisa mengulur waktu. Lalu, tut…, suara di ujung telepon hilang.

Tempo menanyakan kehadiran Lisa dalam pertemuan rahasia di sebuah restoran di pusat belanja Plaza Senayan, Jakarta, sekitar Juli 2010. Peserta lain adalah Kepala Biro Perencanaan Kementerian Olahraga Deddy Kusdinar, Komisaris PT Metaphora Solusi Global Muhammad Arifin, dan Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya Teuku Bagus Mohammad Noor. Topik pembicaraan: fee proyek Hambalang.

Pada Juli 2010 itu, proyek Pusat Pelatihan dan Pendidikan Sekolah Olahraga Nasional Bukit Hambalang, Bogor, hampir mema­suki tahap lelang. Beberapa perusahaan konstruksi sudah siap-siap menyorongkan penawaran. Salah satunya bekas Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin, yang menggandeng PT Duta Graha Indah. Untuk mengamankan proyek, Adhi Karya juga mengikat mahar.

Menurut seorang sumber, sebelum pertemuan di Plaza Senayan, orang-orang Kementerian dikabarkan meminta 16,5 persen dari nilai proyek. Biaya konstruksi Hambalang Rp 1,129 triliun. Ditambah biaya perencanaan dan manajemen konstruksi, nilai totalnya Rp 1,175 triliun. Untuk pembanding, fee yang diminta Nazaruddin dan Grup Permai ketika menggarap proyek di sebuah kementerian kisarannya 7-30 persen. Angka pastinya tergantung negosiasi.

Untuk merundingkan angka final, digelarlah pertemuan di Plaza Senayan. Masih samar-samar apa saja yang dibicarakan di sana. Yang pasti, bukannya turun, jumlah yang diminta Kementerian Olahraga malah melonjak jadi 18 persen. Tak ada pilihan, Adhi Karya menyetujui.

Sebagaimana diduga, pada 25 November 2010 Adhi Karya, yang menggandeng PT Wijaya Karya, akhirnya berhasil mendapatkan proyek. Kontrak diteken pada 10 Desember. Setelah itu, kerja sama operasi Adhi-Wika mensubkontrakkan sebagian pekerjaan ke pelbagai perusahaan, termasuk PT Dutasari Citralaras dan PT Global Daya Manunggal.

Setelah proyek berjalan, angka 18 persen tadi ternyata masih bisa ditawar. Pada awal 2011, Teuku Bagus dari Adhi Karya dikabarkan menemui Sekretaris Kementerian Olahraga Wafid Muharam untuk meminta "keringanan". Wafid mengabulkan, dan mahar proyek akhirnya dipatok 15 persen dari nilai proyek.

Seorang sumber mengatakan pembayaran fee biasanya mengikuti pencairan anggaran proyek dari Kementerian. Sebagai kontrak tahun jamak, dana Hambalang turun bertahap. Berapa fulus yang mengalir ke Kementerian Olahraga belum jelas, tapi sebagai gambaran, sampai Juli 2012 Kementerian telah mencairkan Rp 514 miliar. Sisa anggaran dibintangi Dewan Perwakilan Rakyat setelah kasus Hambalang meruyak.

Yang juga belum terang, apakah fee itu termasuk panjar Adhi Karya yang diserahkan jauh sebelum pertemuan di Plaza Senayan. Seorang sumber bercerita, Adhi sudah menebar fulus sejak September 2009, pada akhir masa Menteri Adhyaksa Dault. Ketika itu Wafid Muharam sudah mulai menghitung anggaran Hambalang. Tim asistensi—salah satunya Lisa Lukitawati—yang dibentuk Wafid menaksir biayanya Rp 2,5 triliun. Alokasinya, konstruksi Rp 1,2 triliun dan peralatan olahraga Rp 1,3 triliun.

Informasi bahwa Kementerian sedang merencanakan proyek jumbo menyebar di antara pengincar proyek. Adhi Karya dikontak pemilik PT Dutasari, Machfud Suroso, yang menawarkan kerja sama. Mindo Rosalina Manulang, anak buah Nazaruddin, juga mengabari orang-orang Adhi yang dikenalnya.

Adhi Karya lalu mendekati orang-orang Kementerian Olahraga. Di tengah-tengah lobi, pada awal September, datanglah permintaan uang kepada Adhi. Seorang pengusaha yang kerap menggarap proyek di Kementerian menyampaikan bahwa Wafid Muharam memerlukan Rp 2 miliar. Duit itu diserahkan dua kali, masing-masing Rp 1 miliar. Menurut seorang sumber, permintaan duit disertai kalimat, "Untuk menalangi kebutuhan Pak Sesmen."

Bukti yang dimiliki Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkapkan bahwa Adhi Karya menyetorkan sekurang-kurangnya Rp 8 miliar kepada orang-orang Kementerian Olahraga. Jumlah Rp 2 miliar tersebut tertulis dalam catatan keuangan yang sama. Yang sudah terang siapa penerimanya adalah Wafid Muharam, lewat pengusaha koleganya tadi.

Dimintai konfirmasi lewat koleganya beberapa waktu lalu, Wafid—kini menghuni Lembaga Pemasyarakatan Cipinang—menyangkal pernah menerima duit dari Adhi Karya. Adapun pengacara Deddy Kusdinar, Rudy Alfonso, menyatakan tak tahu kliennya pernah bertemu dengan orang Adhi Karya, salah satunya di Plaza Senayan pada pertengahan 2010, untuk membahas mahar proyek. "Pak Deddy tak pernah cerita," ujarnya. Teuku Bagus dari Adhi Karya belum bisa dimintai konfirmasi.

Tak lama setelah fee Rp 2 miliar itu mengucur, Andi Alifian Mallarangeng menggantikan Adhyaksa Dault sebagai menteri. Walau telah menyetorkan panjar, belum tentu proyek jatuh ke tangan Adhi Karya. Karena itu, dua petinggi perseroan, Teuku Bagus dan Arief Taufiqurahman, bertamu ke rumah Andi Mallarangeng, sepekan setelah dia menjabat.

Pertemuan itu untuk melobi sang menteri. Pendekatan kepada Andi juga dilakukan melalui adiknya, Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel. Untuk memastikan bahwa proyek kelak digarap Adhi, Teuku Bagus mengutus Arief Taufiqurahman menemui Andi pada sekitar Juni-Juli 2010. Namun, bukannya ketemu Andi, Arief justru diterima Choel di ruangan sang abang di lantai 10 Kementerian Olahraga. Wafid Muharam ikut menyaksikan pertemuan itu.

Setelah Arief menjelaskan bahwa perusahaan bermaksud mengikuti lelang, Choel mengatakan, "Go ahead." Bahkan, untuk menegaskan, Wafid sempat bertanya kepada Choel sebelum pertemuan bubar, "Jadi, lelang sudah bisa dimulai, Pak?" Choel lagi-lagi menyilakan. Andi Rizal Mallarangeng, yang menjadi juru bicara keluarga, enggan menjelaskan keterlibatan adiknya. "Nantilah dijelaskan di persidangan," katanya kepada David Priyasidharta dari Tempo, Kamis pekan lalu.

Pertemuan dengan Choel dilakukan sebelum pertemuan di Plaza Senayan. Ibarat karpet merah, pertemuan di Plaza Senayan dengan Deddy Kusdinar dan lain-lain tinggal membicarakan "angka". Namun fulus Adhi Karya ternyata tak cuma mengucur ke orang-orang Kementerian. Dalam catatan keuangan Adhi Karya yang disita KPK, tertera pula nama Adhyrusman Dault, adik Adhyaksa.

Ceritanya, Adhi Karya dikejar-kejar­ orang Kementerian pada sekitar Maret 2010, yang meminta dana Rp 500 juta. Orang-orang Kementerian berdalih hanya meneruskan permintaan Adhyrusman. Ketika itu sertifikat tanah Hambalang baru saja diterbitkan Badan Pertanahan Nasional. Merasa ikut punya andil mengurusnya, Adhyrusman menagih bayaran kepada Wafid dan kawan-kawan. Tak ada uang, mereka meminta tolong Adhi Karya.

Diurus sejak zaman Adhyaksa Dault, sertifikat tanah Hambalang memang baru terbit pada awal 2010—pada zaman Andi Mallarangeng. Adhyaksa menyangkal adiknya ikut cawe-cawe dalam pengurusan tanah Hambalang. Kata dia, "Itu fitnah."

Anton Septian, Febriyan, Indra Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus