Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pelobi Senjata yang Mahadigdaya

Amerika Serikat akan membuat aturan baru untuk mengendalikan jual-beli senjata api. Melawan kelompok pelobi prosenjata yang perkasa.

23 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bangunan tua di Washington Boulevard, Culver City, California, itu tampak ramai. Senin pekan lalu, sekitar empat puluh pengunjung menyesaki toko senjata tersebut. Di sekeliling ruangan toko seluas seribu meter persegi itu terdapat meja etalase dari kaca berisi senjata genggam. Sedangkan di tembok ruangan terpajang ratusan senjata api laras pendek dan panjang.

Meja kayu panjang teronggok di bagian tengah toko senjata Martin B. Retting itu. Ratusan bedil laras panjang ditata di atas meja dengan posisi moncong menghadap langit-langit. Tiga pegawai toko sibuk memberi penjelasan kepada pelanggan yang antre di hadapannya.

Toko yang sudah berdiri sejak 1958 itu menjual bermacam senjata api, dari senapan berburu, senapan semi-otomatis, hingga pistol. Toko ini juga menjual peluru, aksesori senjata api, serta pakaian untuk berburu dan olahraga menembak. "Toko ini menjual lebih dari 60 macam senjata. Bukan hanya senjata api modern, melainkan juga senapan dan pistol kuno untuk koleksi," ujar seorang pegawai toko, yang mengaku bernama Spencer, kepada Tempo.

Sejak kasus penembakan di Sekolah Dasar Sandy Hook, Newtown, Connecticut, yang menewaskan 27 orang pada Jumat dua pekan lalu, toko ini tetap ramai pengunjung. Membeli senjata api secara resmi di Negara Bagian California tak sulit. Jual-beli dilakukan melalui agen berizin resmi. Pembeli menunggu hanya sepuluh hari untuk mendapatkan senjata.

Syarat utamanya cuma tiga, yakni warga negara Amerika Serikat atau memiliki kartu penduduk tetap, berusia 18 tahun, dan memiliki surat izin mengemudi. Penjual senjata lalu memeriksa latar belakang catatan kriminalitas. Bila calon pembeli terbukti bersih, senjata siap dibawa pulang.

Namun untuk memiliki senjata genggam, seperti pistol, pembeli diharuskan berusia minimal 21 tahun dan wajib memiliki Sertifikat Keamanan Senjata Genggam dari instruktur bersertifikat Departemen Kehakiman. Biasanya setiap toko senjata punya pegawai merangkap instruktur. Bila belum memiliki sertifikat, calon pembeli bisa ikut ujian tertulis di toko senjata dengan biaya US$ 25 atau sekitar Rp 242 ribu. Sertifikat berlaku selama lima tahun.

Mudahnya memperoleh senjata api ini dituding sebagai biang maraknya penembakan di Amerika. Bulan ini saja terjadi empat penembakan dalam tempo hanya sepuluh hari, yang menewaskan 36 orang. Yang paling tragis adalah penembakan di Connecticut, yang menewaskan 20 siswa kelas I dan 6 guru. Pelakunya, Adam Lanza, 20 tahun, akhirnya menembak dirinya hingga tewas.

Lanza menembak dengan Bushmaster kaliber .223. Senapan itu dirancang untuk keperluan militer dan digunakan penegak hukum. Amendemen Kedua Konstitusi Amerika memang membolehkan warga negara membawa senjata. Dengan dalih ketentuan inilah Bushmaster kaliber .223 itu diperjualbelikan secara bebas seharga US$ 1.040 atau sekitar Rp 10 juta per buah. Seperti dikutip Mother Jones, sedikitnya terjadi 62 penembakan di Amerika dalam 30 tahun terakhir dan sebagian besar senjata yang digunakan pembunuh diperoleh secara sah.

Salah seorang pengunjung toko senjata Martin B. Retting mengatakan begitu mudah membeli senjata api dan peluru di toko ini. Secara teori memang ada pertanyaan apakah calon pembeli pernah divonis memiliki masalah kejiwaan. "Tapi apa susahnya menjawab 'tidak' pada selembar kertas?" ujar pria 31 tahun yang terbiasa memegang senjata api sejak kelas III sekolah dasar ini.

Pria yang berprofesi sebagai fotografer ini mengaku mengoleksi lima senjata di rumahnya. Menurut dia, penyelidikan latar belakang kriminalitas hanya untuk data. Pedagang senjata tak pernah meminta bukti kesehatan mental calon pembeli.

Belajar menembak di California juga tak sulit. Pemilik senjata tinggal datang ke klub menembak. Di klub menembak LAX di Los Angeles, misalnya, anggota klub bisa dengan mudah menyewa senjata. Klub yang memiliki lapangan tembak klub 14 jalur ini membuka kelas penggunaan senjata bagi pemula serta kelas pengajaran teori dan praktek dalam pertempuran. Mereka juga menjual senjata untuk penegak hukum. Biaya keanggotaan berkisar US$ 45 atau sekitar Rp 435 ribu per bulan. Kebanyakan anggotanya profesional muda.

Seorang pegawai percaya, setelah tragedi Connecticut, pengawasan peredaran senjata akan lebih ketat. "Demokrat tidak suka senjata api. Mereka berpikir kesalahan terletak pada senjatanya, bukan pada yang menembakkan senjata tersebut," katanya.

Para aktivis antisenjata pun sudah bergerak turun ke jalan. Senin pekan lalu, ratusan orang mendatangi kantor cabang Asosiasi Senapan Nasional (NRA) di Washington, DC. Mereka menuding kelompok lobi prosenjata itu berperan dalam longgarnya aturan kepemilikan senjata. Direktur politik CREDO, Becky Bond, mengatakan NRA adalah kelompok lobi kuat yang bermaksud mewakili para pemilik senjata. Namun, kenyataannya, NRA malah mewakili agen dan produsen senjata. "Ini saatnya pelobi papan atas NRA berhenti mencegah Kongres menetapkan undang-undang pengendalian senjata," ujarnya seperti dikutip situs Press TV.

NRA dikenal dekat dengan banyak politikus, baik dari Partai Republik maupun Demokrat. NRA berhasil melobi legislator Amerika untuk menolak peraturan pengendalian senjata. Dalam kampanye pemilihan presiden dan anggota Kongres 2012, para politikus Republik dan Demokrat tak sekali pun menyampaikan betapa lemahnya undang-undang kontrol senjata.

Seperti dilansir Huffington Post, sejak 1998 NRA telah menghabiskan US$ 28,2 juta untuk lobi dan mempekerjakan puluhan pelobi setiap tahun. Kelompok itu telah menebar US$ 3,3 juta untuk kampanye dan US$ 44 juta buat mendukung kandidat dalam tiga pemilihan terakhir. Ini bukan jumlah besar bila dibandingkan dengan pendapatan lembaga itu, yang mencapai US$ 227 juta atau setara dengan Rp 2,17 triliun pada 2010 saja.

Menurut data OpenSecrets.org, antara 2001 dan 2010, NRA diperkirakan telah mengeluarkan fulus hingga US$ 2,7 juta untuk lobi agar peraturan pengendalian senjata tetap longgar. Selama persiapan pemilihan umum 2010, lembaga beranggota 4,3 juta orang ini mengeluarkan US$ 7,2 juta untuk menyokong puluhan calon anggota Kongres.

Sebelum 1970-an, NRA bekerja dalam isu-isu nonpolitik, seperti keamanan senjata. Namun pengurus baru yang terbentuk pada konvensi 1977 mengubah haluan organisasi yang didirikan pada 17 November 1871 itu. Mereka mulai terlibat dalam urusan politik dengan membuat tafsir baru terhadap Amendemen Kedua. Mereka mengkampanyekan hak individu untuk memiliki senjata.

Tafsir baru Amendemen Kedua ini merupakan operasi politik yang dieksekusi dengan brilian. NRA mulai menembus Gedung Putih ketika Ronald Reagan terpilih menjadi presiden pada 1980. Sejak itu, pembelaan terhadap hak atas senjata pun kian berkembang. Namun, setelah penembakan di Sandy Hook, NRA seperti menghilang. Bahkan, Sabtu dua pekan lalu, asosiasi itu memblokir akun Twitter dan Facebook mereka selama beberapa hari saat debat soal penembakan tersebut heboh di jejaring sosial.

Rentetan penembakan tersebut tak pelak membuat pemerintah Amerika mengambil sikap. Presiden Barack Obama berjanji memperketat peredaran senjata pada awal tahun depan. Wakil Presiden Joe Biden ditunjuk memimpin tim untuk membuat kebijakan baru pengendalian senjata, termasuk melarang senjata serbu dan memperbaiki proses pemeriksaan latar belakang calon pembeli senjata. Proposal peraturan akan diajukan pada Januari 2013.

Obama sadar ini masalah kompleks yang bisa memicu perpecahan politik. "Namun kompleksnya persoalan tidak boleh jadi alasan tidak berbuat apa-apa," kata Obama. Ia yakin sebagian besar rakyat Amerika mendukungnya. Amerika pernah punya undang-undang pengendalian senjata, yang ditandatangani 20 tahun silam, tapi peraturan itu sudah kedaluwarsa pada 2004.

Namun Kepala Koresponden CBS News Washington Bob Schieffer pesimistis rencana Presiden Obama akan terlaksana. Sebab, ujar dia, Kongres takut kepada NRA. Bila anggota Kongres mendukung pengendalian senjata, menurut pembawa cara Face the Nation ini, "NRA benar-benar akan mengucurkan ratusan ribu dolar untuk mengalahkan mereka."

Schieffer telah mengikuti debat tentang kontrol senjata sejak kasus penembakan Presiden John F. Kennedy pada 22 November 1963. Dia yakin para politikus Republik dan Demokrat enggan membicarakan isu itu. "Saya pikir NRA lebih menakutkan ketimbang asosiasi lain."

Sapto Yunus (New Yorker, AP, Reuters), Lolo Kartikasari Santosa (Los Angeles)


Sosok Sepi Si Penyendiri

RYAN Kraft tersentak. Lelaki kelahiran Newtown, Connecticut, yang kini tinggal di Pantai Hermosa, California Selatan, itu mendadak terpaku. Bola matanya enggan berpaling dari layar televisi yang sedang menyiarkan sebuah warta: tragedi pembantaian di sebuah sekolah dasar di kampung halamannya.

Senyampang reporter televisi dari saluran KCBS nyerocos mengenai kronologi pembantaian, Kraft melayangkan ingatannya jauh ke kampungnya. Satu nama membuat ia tak bisa berkata-kata. Adam Lanza. Ya, tersangka pembantai ibu kandung, 20 bocah SD, dan enam guru itu adalah orang yang ia kenal. Sepuluh tahun lalu, kata Kraft saat bercerita kepada CBS, "Anak itu pernah saya asuh."

Lelaki 25 tahun itu memang pernah bekerja di rumah pasangan Peter dan Nancy Lanza sebagai pengasuh anak. Ia, yang saat itu masih mahasiswa, mengasuh Adam yang berusia sepuluh tahun. Dalam ingatan Kraft, Adam adalah anak yang sangat pendiam. Dalam satu hari, ujar dia, ucapan yang meluncur dari mulutnya bisa dihitung dengan jari. "Sepulang sekolah, ia lebih sering menghabiskan hari di dalam kamar," kata Kraft mengingat.

Remaja yang menginjak usia 20 tahun dan tega memberondongkan peluru di SD Sandy Hook itu juga dikenal sebagai anak penyendiri. Adam tidak pernah bermain seperti anak-anak kebanyakan. Menurut Kraft, dalam pengasuhannya, Adam lebih banyak di dalam rumah mewah seluas 370 meter persegi senilai Rp 6,7 miliar milik orang tuanya yang bercerai pada 2009 itu. Hanya Lego dan game di komputer jinjing teman bermainnya. "Sifat penyendiri itu diperparah oleh buruknya hubungan Adam dengan kakaknya, Ryan Lanza, sampai-sampai mereka tak pernah bertegur sapa," katanya.

Cerita Kraft tentang Adam sepuluh tahun lalu itu rupanya hampir tak berubah hingga kini. Karakter Adam tetap sama, seperti yang diceritakan teman-teman Adam satu sekolahan. Menurut mereka, Adam adalah penyendiri yang hampir tak pernah bicara. Ia sering terlihat canggung di keramaian. Jika berjalan di koridor sekolah, ia memilih mepet ke tembok. Lagi lagi, laptop merupakan satu-satunya pengiringnya saat ia datang dan pergi meninggalkan sekolah. "Saya tidak pernah melihat dia dengan orang lain, bahkan tidak adateman yang bisa dibilang dekat dengannya," kata Olivia DeVivo, bekas teman Adam dari SD sampai SMA.

Lebih parah lagi, untuk keperluan jati diri remaja kelahiran 1988 ini, polisi tak menemukan satu foto pun di buku tahunan sekolahnya. Sejak Adam duduk di taman kanak-kanak hingga SMA, kotak yang seharusnya diisi foto ia biarkan kosong, lantas tercantum tulisan "malu dengan kamera".

Walau tampak berteman dekat dengan dunia virtual, Adam tidak memiliki akun pertemanan semodel Facebook. Jejaknya di dunia maya pun minim. Mengenai kemungkinan ia sering mengakses permainan yang penuh kekerasan, polisi pun masih menduganya. "Kamarnya selalu ditinggalkan dalam keadaan rapi," kata kakaknya, Ryan Lanza, karyawan Ernst & Young, yang sempat mencak-mencak lantaran kantor berita ternama Amerika, CNN, asal mengutip polisi yang menyebutnya sebagai sang pembantai.

Keluarga sebenarnya tidak membiarkan Adam sendirian. Nancy, ibundanya, sempat membawa pemuda itu ke psikiater, tapi ditolak. Adam semakin sering mogok bicara. Ia ngambek kepada ibunya, tiga hari sebelum penembakan.

Lalu nasib membawa perjalanan hidup Adam berakhir pada Jumat pagi dua pekan lalu. Berkendara mobil Honda Civic hitam milik ibunya, yang ia bunuh pagi itu, sejauh lima mil dari rumah, ia berhenti di Sekolah Dasar Sandy Hook. Sempat bersitegang dengan penjaga sekolah, tapi Adam yang menenteng tiga senjata api berhasil masuk.

Lantas berpuluh peluru ia muntahkan tanpa kendali. Walhasil, timah panas itu menewaskan 20 bocah dan 6 orang dewasa. Tak lama, ia tempelkan satu dari tiga senjata yang ditentengnya ke kepalanya sendiri. Dor! Sebutir peluru dari senapan serbu ArmaLite-15, senjata yang dipakai serdadu Abang Sam di Afganistan, menuntaskan hidupnya yang sepi, seketika.

Sandy Indra Pratama (CBS, KCBS, Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus