Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kita Mencuri Start Supaya Vaksin Cepat Jadi

Guru besar ilmu kesehatan anak Universitas Padjadjaran, Kusnandi Rusmil, dipercaya memimpin uji klinis fase III vaksin Coronavirus Disease 2019 di Kota Bandung mulai pertengahan Agustus nanti. Sebanyak 1.620 relawan dilibatkan dalam penelitian selama enam-tujuh bulan sebelum vaksin bisa diproduksi massal oleh PT Bio Farma (Persero). Vaksin buatan perusahaan farmasi Cina, Sinovac Biotech Ltd, itu merupakan kandidat vaksin pertama Covid-19.

1 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Coronavirus Desease 2019 dari FK Universitas Padjadjaran, Kusnandi Rusmil, di Bandung, Jawa Barat, 29 Juli 2020./TEMPO/Prima Mulia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Coronavirus Disease 2019 Kusnandi Rusmil mengatakan uji klinis fase III vaksin buatan Sinovac, Cina, akan dilaksanakan pada pertengahan Agustus di Kota Bandung.

  • Kusnandi Rusmil mengatakan 1.620 relawan nanti harus mengikuti uji klinis selama enam-tujuh bulan.

  • Dengan jumlah kasus positif dan korban Covid-19 yang terus bertambah, Kusnandi Rusmil memperkirakan Indonesia membutuhkan lebih dari 200 juta dosis vaksin.

UJI klinis fase III vaksin Coronavirus Disease 2019 buatan Sinovac Biotech Ltd, Cina, dibanjiri peminat. Empat hari sejak pendaftaran relawan dibuka pada 27 Juli lalu, sudah ada seribu orang yang mendaftar menjadi peserta penelitian yang dilakukan tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung, tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim riset membutuhkan 1.620 relawan untuk uji klinis fase III ini dengan syarat semua peserta adalah penduduk Kota Kembang. Selain harus sehat dan bebas Covid-19, calon peserta uji klinis mesti berusia 18-59 tahun. “Saya mencari kelompok umur yang mempunyai daya tahan tubuh relatif lebih kuat,” kata Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Coronavirus Disease 2019 Kusnandi Rusmil, 70 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video, Selasa, 28 Juli lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah meroketnya jumlah penduduk Indonesia yang terinfeksi Covid-19, keberadaan vaksin memberikan harapan baru. Pada Senin, 27 Juli lalu, Indonesia mencatatkan lebih dari 100 ribu kasus positif dan hampir 5.000 korban tewas akibat terinfeksi Covid-19. Angka ini bahkan melampaui Cina, negara asal virus corona. “Korban meninggal di Indonesia sudah banyak,” ujar Kusnandi.

Setelah menggelar uji klinis fase I dan II di Cina, Sinovac menggandeng PT Bio Farma (Persero) untuk pengetesan massal di Indonesia. Bio Farma mempercayakan uji klinis kepada Kusnandi dan tim sebelum vaksin bisa diproduksi dalam skala besar. Guru besar ilmu kesehatan anak Universitas Padjadjaran, Bandung, itu telah berpengalaman meneliti vaksin selama lebih dari 20 tahun dan melakukan 32 uji klinis.

Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Dody Hidayat, Mahardika Satria Hadi, dan Anwar Siswadi, Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia 2014-2017 itu menceritakan persiapan uji klinis fase III, peluang vaksin buatan Sinovac tersebut, hingga kebutuhan penawar virus SARS-CoV-2 di Indonesia.

Bagaimana kesiapan uji klinis fase III vaksin Covid-19 setelah Komite Etik Penelitian Kesehatan Universitas Padjadjaran menyetujui izinnya?

Setelah keluar izin dari Komite Etik, ada masukan-masukan baru yang bagus untuk melindungi tim peneliti. Terjadi perubahan prosedur. Calon relawan yang tadinya cukup diperiksa dengan rapid test kini harus menjalani tes usap PCR (polymerase chain reaction). Karena perubahan itu, kami mencetak ulang pemberitahuan kepada calon peserta uji klinis. Kami harus bilang mereka semua akan dites PCR. Subyek penelitian harus mendapatkan penjelasan bahwa prosesnya aman.

Apakah calon peserta uji klinis tetap harus diperiksa dengan tes cepat?

Rapid test antibodi tetap dilakukan karena kami ingin mengukur kadar antibodi calon peserta.

Bagaimana jika hasil tes PCR calon peserta positif Covid-19?

Apabila tes PCR positif, tidak boleh ikut uji klinis. Kalau PCR negatif, rapid test antibodi positif juga tidak bisa ikut uji klinis. Jadi dua-duanya harus negatif.

Mengapa tes PCR tidak menjadi persyaratan sejak awal untuk uji klinis?

Rapid test tidak begitu diperlukan untuk diagnostik belum lama ini. Sebelumnya, Kementerian Kesehatan memakai rapid test untuk diagnostik. Jadi kami mengikuti aturan dari Kementerian Kesehatan.

Tes PCR membutuhkan waktu lebih lama ketimbang tes cepat. Sejauh mana penerapan tes PCR mempengaruhi jadwal pelaksanaan uji klinis?

Tadinya uji klinis direncanakan mulai awal Agustus. Sekarang mundur sepuluh hari, lah. Kapasitas tes sehari paling banyak 25 sampel PCR di satu tempat. Misalnya sehari ada enam tempat, berarti paling banyak sehari 150 orang. Formulir dan leaflet mesti dicetak baru. Panitia yang awalnya hanya dilatih rapid test sekarang harus bisa swab test. Calon peserta yang tadinya datang langsung disuntik, sekarang mesti hadir tiga hari sebelumnya, diwawancarai, dites swab, baru tiga hari kemudian disuntik. Jadwalnya berubah.

Apakah antusiasme masyarakat tetap tinggi dengan adanya persyaratan baru?

Dari Puskesmas Garuda, Kota Bandung, saja yang sudah pasti mengirim surat ke saya ada 350 orang. Saya bilang jangan tambah dulu karena nanti puskesmas lain juga ingin ikut. Jadi siapa saja begitu terima leaflet silakan daftar dulu ke nomor WhatsApp yang tertera. Siapa yang duluan mendaftar akan diperiksa lebih dulu.

Siapa saja yang bisa mendaftar menjadi peserta uji klinis?

Yang boleh ikut uji klinis hanya orang yang memiliki kartu tanda penduduk Kota Bandung. Walaupun tinggal di Bandung, kalau tidak punya KTP Bandung, enggak bisa. Banyak juga teman dokter dari Jakarta mau datang pakai bus karena ingin diimunisasi. Saya bilang, “Orang Jakarta belum dululah karena penelitiannya di Bandung.” Siapa yang mau surveillance ke Cianjur, Sukabumi? Nanti, kalau penelitiannya mau diperluas, ya oke-oke saja. Lalu umurnya harus 18-59 tahun. Nanti ada 1.620 peserta uji klinis.

Mengapa jumlah relawan uji klinis sebanyak 1.620 orang?

Itu hitungan ahli statistik dari Unpad. Patokannya berdasarkan efektivitas vaksin. Kalau efektivitasnya sekian, berapa butuhnya (peserta).

Mengapa memilih relawan dengan kisaran umur tersebut?

Yang akan kami uji klinis itu harus orang sehat. Umumnya usia 18-59 tahun pada kehidupan sehari-hari adalah orang sehat sehingga risikonya untuk jadi sakit kecil. Di negara lain ada yang memilih tiga kelompok umur, yaitu di bawah 18 tahun, 18-59 tahun, dan di atas 59-65 tahun. Tapi, di Indonesia, saya mencari kelompok umur yang mempunyai daya tahan tubuh relatif lebih kuat dibanding kelompok umur lain. Komorbidnya juga masih sedikit sekali.

Mengapa Bandung yang dipilih sebagai lokasi uji klinis?

Saya juga bertanya kepada Bio Farma, kenapa kami. Mereka bilang, “Anda sudah melakukan uji klinis 32 kali, sudah 20 tahun. Jadi kami percaya kepada Anda.” Orang percaya saya, boleh saja, kan? Namanya juga dilamar. Saya juga membawa nama baik universitas dan fakultas saya. Kantor Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran itu kan di sebelah Bio Farma, jadi dekat. Tinggal telepon sudah bisa ketemu.

Apakah ada pertimbangan etnisitas dalam memilih calon peserta uji klinis?

Vaksin itu universal. Vaksin buatan Bio Farma sudah dijual ke lebih dari 132 negara, antara lain Afrika dan Amerika Latin. Vaksin polio, toksoid tetanus, difteri buatan kita dipakai di sana dan bagus hasilnya. Enggak pernah ada keluhan sampai sekarang. Kita membuat vaksin itu dari virus polio dan difteri yang ada di Indonesia. Kuman Indonesia dan kuman Cina sama saja. Jadi saya pikir enggak jadi masalah.

Bukankah strain virus SARS-CoV-2 di Indonesia dan Cina berbeda?

Ada mutasi kan, lalu terjadi strain yang lain. Tapi perubahan strain itu, umpamanya tadinya mobil sedan, dia enggak berubah jadi bus. Bentuknya tetap sedan sehingga garasinya bisa pas. Sekarang semua negara berlomba-lomba bikin vaksin. Untuk vaksin dari Sinovac, Cina sudah menjalankan uji klinis fase I dan II. Fase III diserahkan ke Indonesia, Brasil, dan tiga negara lain. Malah Brasil sekarang sudah jalan duluan melibatkan 8.000 relawan.

Kusnandi Rusmil (tengah) memberikan keterngan pers terkait uji klinis vaksin Covid-19 di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung, Jawa Barat, Rabu (22/7)./TEMPO/Prima Mulia

Apa tujuan dari uji klinis fase III?

Kalau fase I dan II untuk menguji keamanan dan imunogenisitas bahwa vaksin ini dapat menimbulkan kekebalan. Fase III baru masuk ke efikasi vaksin. Kita bisa membandingkan orang yang mendapat vaksin dengan yang mendapat plasebo (bukan vaksin). Panitia memantau pergerakan relawan selama enam-tujuh bulan. Nanti dihitung berapa dari yang enggak mendapat vaksin akan terkena Covid. Maka kita tahu berapa efektifnya yang mendapat vaksin beneran. Ini baru diketahui setelah selesai penelitian. Nanti dibuka blinding-nya. Efektivitasnya yang dicari, makanya orangnya harus banyak.

Bagaimana prosedur uji klinisnya?

Kami suntik dua kali pada waktu awal, jaraknya dua minggu. Sebelum disuntik, diambil sampel darahnya. Satu bulan setelah suntikan kedua, diambil lagi sampel darahnya dan terakhir diambil lagi sampel darahnya enam bulan kemudian. Orang itu nanti kami ikuti untuk dilihat kadar zat antibodinya, berapa orang yang sakit. Yang tidak ada zat antibodinya, berapa yang sakit. Jadi kita bisa tahu efektivitasnya.

Berapa proporsi jumlah relawan yang disuntik vaksin dan plasebo?

Masing-masing separuh.

Seperti apa pengaturan penyuntikannya?

Kalau pada suntikan pertama mendapat plasebo, suntikan kedua juga plasebo. Pada akhir penelitian, yang mendapat plasebo juga akan divaksin.

Bagaimana para relawan menjalani aktivitas setelah disuntik?

Seperti biasa. Yang mau ke kantor, ya ke kantor, yang mau jualan, ya jualan, yang ke sekolah, ya sekolah. Tapi semuanya harus mengikuti protokol kesehatan. Kalau enggak pakai protokol kesehatan, bisa gawat itu yang mendapat plasebo. Kita tidak tahu siapa saja yang tidak mendapat suntikan vaksin.

Apa risiko yang bisa dihadapi oleh para relawan?

Seperti orang biasa saja, dia bisa kena batuk-pilek. Paling ada risiko alergi, tapi itu juga berapa orang, sama seperti minum obat biasa.

Apa yang terjadi jika ada relawan yang terpapar Covid-19 saat masih menjalani uji klinis?

Setiap peserta mendapatkan asuransi sampai uji klinis selesai. Kalau umpamanya sakit, silakan masuk ke rumah sakit mana pun, no problem. Nanti kami menanyai dokternya, relawan itu sakit Covid atau bukan. Kalau Covid, diobati dan dipantau sampai sembuh. Kalau orangnya mengalami serious adverse event, kejadian serius ikutan imunisasi, salah satunya sampai dirawat di rumah sakit, akan kami buka blinding-nya. Kami bisa tahu dia dapat vaksin atau tidak. Jadi enggak perlu menunggu sampai enam bulan.

Apakah dia masih bisa melanjutkan sebagai relawan uji klinis?

Ya, enggaklah. Tapi dia tetap dijamin sampai sembuh dengan asuransi.

Anda mengatakan efektivitas vaksin Covid-19 sebesar 90 persen. Mengapa Anda begitu yakin?

Ada tiga macam perlakuan bagi peserta uji klinis. Mereka yang mendapat suntikan vaksin dosis tinggi, dosis menengah, dan plasebo. Yang mendapat dosis tinggi, daya proteksinya lebih dari 98 persen. Untuk dosis sedang, daya proteksinya 90 persen. Dari separuh peserta yang disuntik vaksin dibagi dalam tiga batch. Nanti dilihat konsistensinya. Apakah daya lindung tiap batch sama. Ketiga batch itu nanti dibandingkan dengan plasebo. Hasil dari tiga batch itu konsisten jika daya lindungnya 95-97 persen.

Uji klinis fase III vaksin buatan Sinovac tidak hanya berlangsung di Indonesia. Bagaimana jika hasil uji klinis di salah satu negara gagal?

Nanti dievaluasi dulu. Ada tim dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang akan menentukan sebuah vaksin boleh beredar atau tidak.

Bagaimana mekanisme distribusinya jika uji klinis tahap III berjalan lancar dan vaksin bisa diproduksi massal?

Sewaktu ketemu dengan Presiden Joko Widodo dan Pak Erick Thohir (Menteri Badan Usaha Milik Negara), saya bilang produksi vaksinnya tidak bisa mencukupi untuk seluruh bangsa Indonesia. Kan, kami jadi bingung nih, siapa yang mau disuntik lebih dulu. Akhirnya Pak Erick melontarkan gagasan, “Udah, di tujuh provinsi dulu yang banyak penyakitnya supaya angka kematian di Indonesia menurun.”

Daerah mana saja yang diutamakan?

Vaksinnya akan diprioritaskan untuk tujuh daerah yang banyak (kasus) Covid-nya, di antaranya Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan. Kita tidak bisa langsung memproduksi dalam jumlah banyak.

Berapa banyak vaksin yang bakal diproduksi Bio Farma?

Menurut Pak Honesti Basyir (Direktur Utama PT Bio Farma), pada mulanya disiapkan sekitar 40 juta dosis. Nanti ditambah sekitar 100 juta dosis. Kapasitas produksinya akan ditingkatkan lagi sedikit-sedikit.

Berapa sebenarnya kebutuhan vaksin untuk Indonesia?

Kebutuhan kita 200 juta dosis. Itu untuk satu kali suntik. Padahal kita butuhnya dua kali suntik (per orang).

Seperti apa skema pembagian vaksin di tujuh provinsi tersebut?

Biasanya pemerintah pusat mengirim vaksin ke masing-masing provinsi. Nanti provinsi yang menentukan. Mereka yang tahu daerah mana saja yang memerlukan vaksin. Itu kebijakan pemerintah. Saya enggak berwenang.

Bagaimana dengan vaksin-vaksin terdahulu?

Kementerian Kesehatan mendapatkan vaksin dari Bio Farma. Setelah dibayar oleh Kementerian Kesehatan, Bio Farma mendistribusikan vaksin ke semua provinsi. Nanti pemerintah provinsi yang membagikannya.

Siapa saja yang nanti berhak mendapatkan vaksin Covid-19?

Orang sehat. Kan, itu untuk mencegah supaya dia enggak sakit. Kalau orang yang sakit Covid-19, ya diobati.

Pemerintah juga menyiapkan pembuatan vaksin Merah Putih. Apakah Anda dilibatkan?

Saya diajak ngobrol oleh Profesor Amin Soebandrio (Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman). Kami satu grup di ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization), yang memberikan masukan soal imunisasi kepada Kementerian Kesehatan.

Perkembangannya seperti apa?

Profesor Soebandrio sedang mencari antigen vaksinnya yang akan disuntikkan kepada binatang. Kalau efektif, baru dilihat kestabilannya. Kemudian masuk fase I, fase II, dan fase III. Tapi saya enggak mengikuti secara detail penelitiannya. Tujuan penelitiannya juga berbeda. Kalau kami untuk efektivitas vaksin, beliau mencari kumannya yang mana.

Selain riset vaksin yang sedang berjalan, apakah ada kandidat vaksin lain?

Dari Indonesia baru itu. Tapi Amerika Serikat punya, Brasil juga punya, WHO juga bikin. Tapi yang paling dekat, ya vaksin buatan Sinovac ini.

Apakah semua bahan baku vaksin berasal dari Sinovac?

Kita menggunakan bahan yang sudah dipakai pada fase I dan II di Cina. Kita mencuri start supaya vaksinnya cepat jadi. Itu tujuan yang disampaikan Pak Erick Thohir dan Pak Jokowi. Korban meninggal di Indonesia sudah banyak.


KUSNANDI RUSMIL 

• Tempat dan tanggal lahir: Payakumbuh, Sumatera Barat, 14 Mei 1950  Pendidikan: S-1 Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung (1977); Dokter Spesialis Anak dari Universitas Padjadjaran (1989); S-2 Universitas Padjadjaran (2000); S-3 Universitas Padjadjaran (2008); Profesor Bidang Pediatri dari Universitas Padjadjaran (2014)  Karier: Anggota Pekan Imunisasi Nasional Polio untuk Provinsi Jawa Barat (1995-1997); Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Jawa Barat (1999-2002); Ketua Pertumbuhan dan Perkembangan Pediatri Sosial IDAI (2002-2011); Ketua Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (2014-2017); Kepala Divisi Pertumbuhan dan Pengembangan Departemen Pediatri Sosial Kesehatan Anak Rumah Sakit Hasan Sadikin/Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (2004-2018); Ketua Tim Riset Uji Klinis Vaksin Coronavirus Disease 2019 (2020)


Benarkah Anda menolak permintaan Presiden yang ingin vaksin bisa diproduksi dalam tiga bulan?

Bukan menolak, cuma memberi tahu bahwa itu tidak mungkin. Saya bilang yang paling bagus enam bulan supaya kita mengetahui informasi tentang kebaikan dan kejelekan vaksin ini. Kan, kita mesti fair.

Bagaimana respons Presiden saat Anda tidak mengiyakan permintaan soal waktu pelaksanaan uji klinis?

Pak Jokowi ketawa. Saya ngomongnya juga sambil ketawa, he-he-he....

Apa pertimbangan Presiden ketika menyampaikan keinginan agar uji klinis dipercepat?

Dia ingin cepat karena ingin ekonomi berjalan dengan baik. Makin lama pandemi terjadi, makin banyak masalah. Uang yang dikeluarkan pemerintah untuk memberikan kompensasi kepada masyarakat, pabrik, dan segala macam makin banyak. Kan, pemerintah jadi banyak defisitnya. Kalau bisa, dicepetin. Presiden bilang, “Bisa enggak tiga bulan?” Wajar sih sebagai orang yang enggak tahu tentang vaksinologi. Tapi dia enggak ngotot. Dia bilang apa pun yang saya minta akan dikasih.

Adakah permintaan khusus dari Presiden?

“Kalau perlu apa-apa, kasih tahu saya.” Dia mau men-support penelitian ini dengan sebaik-baiknya. Pak Erick juga bilang begitu.

Anda mempunyai permintaan khusus kepada Presiden?

Saya enggak minta apa-apa karena saya sudah ada sponsor dari Bio Farma.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus