Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ketika Sarjana Baru China Kesulitan Cari Kerja

Banyak sarjana baru China kesulitan mendapat pekerjaan dan akhirnya banting setir menjadi pedagang atau kerja serabutan untuk menyambung hidup.

1 Juni 2023 | 18.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Upacara wisuda di Central China Normal University di Wuhan, Provinsi Hubei, China 13 Juni 2021. REUTERS/Stringer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pembatasan ketat berkepanjangan yang dilakukan pemerintah China selama pandemi Covid-19, berdampak buruk pada industri dan bisnis di negeri itu. Akibatnya, banyak sarjana baru kesulitan mendapat pekerjaan dan akhirnya banting setir menjadi pedagang atau kerja serabutan untuk menyambung hidup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Liang Huaxiao contohnya. Lulusan matematika terapan ini mencoba mendapatkan pekerjaan di salah satu raksasa teknologi China selama dua tahun. Ia menurunkan keinginannya, dan mencoba melamar layanan pelanggan dan penjualan, tak dapat juga dan kemudian melamar sebagai asisten di toko roti dan salon kecantikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti rekan-rekannya yang berpendidikan tinggi, Liang berusaha keras mencoba dan menemukan sumber pendapatan di pasar pekerjaan kaum muda terburuk di China.

"Mencari pekerjaan sangat sulit," kata wanita berusia 25 tahun yang tinggal bersama orang tuanya di kota industri utara Taiyuan. "Saya memberi tahu keluarga saya bahwa saya bersedia melakukan pekerjaan kasar dan ibu saya langsung menangis. Dia merasa sangat kasihan pada saya."

Kasus seperti Liang menjadi semakin umum di tahun-tahun mendatang, karena melimpahnya lulusan universitas dan kekurangan tenaga kerja pabrik karena angkatan kerja menua memperdalam ketidakseimbangan pasar kerja China.

Pengangguran kaum muda mencapai rekor 20,4% pada bulan April, sementara 11,58 juta mahasiswa akan lulus musim panas ini.

Semua bersaing untuk mendapatkan pekerjaan di negara yang tetap menjadi salah satu ekonomi utama dengan pertumbuhan tercepat di dunia, tetapi struktur manufakturnya yang berat semakin tidak sejalan dengan aspirasi generasi mudanya.
 
Industri yang paling populer di kalangan lulusan baru China, seperti teknologi, pendidikan, real estat, dan keuangan, semuanya menghadapi tindakan keras peraturan dalam beberapa tahun terakhir. Beberapa aturan dibatalkan, tetapi sentimen bisnis lambat pulih: investasi swasta hanya naik 0,4% pada Januari-April, sementara investasi negara naik 9,4%.

"Pendidikan China melaju lebih cepat dari ekonomi, yang berarti lebih banyak diploma diberikan daripada yang dibutuhkan oleh ekonomi berbasis manufaktur," kata Keyu Jin, penulis 'The New China Playbook', yang mendokumentasikan peningkatan ekonomi negara tersebut.

"Ada ketidakcocokan besar antara ekspektasi dan realitas keadaan ekonomi."

Akuntan jadi pemungut sampah
 
Tidak jelas berapa banyak lulusan yang mengambil pekerjaan di bawah tingkat keahlian mereka, namun media pemerintah mengakui tren tersebut. Editorial media negara telah mendorong lulusan muda untuk "menyingsingkan lengan baju" dan dengan membuat profil seorang wanita berusia 20-an yang menjadi pemungut sampah setelah sempat bekerja sebagai akuntan.
 
Presiden Xi Jinping mendesak kaum muda untuk "mencari kesulitan" dalam artikel media pemerintah baru-baru ini dengan menisahkan penderitaannya selama Revolusi Kebudayaan. Namun pesan tersebut hampir tidak selaras dengan anak muda saat ini yang menganggap remeh kemakmuran.

Beijing mendesak badan usaha milik negara untuk merekrut lebih banyak lulusan dan mulai memperluas sekolah pelatihan kejuruan untuk mengisi kekurangan di bidang manufaktur. Beberapa pemerintah daerah, termasuk Shanghai, menawarkan subsidi pekerjaan untuk perusahaan yang mempekerjakan lulusan tahun 2023.  

Industri jasa di garis depan pemulihan pasca-pandemi China menawarkan beberapa peran berketerampilan tinggi. "Banyak posisi layanan kerah putih telah lenyap," kata Chim Lee, seorang analis di Economist Intelligence Unit.

"Pekerjaan yang diciptakan sebagian besar di bidang yang tidak memerlukan pendidikan tinggi, seperti katering dan pariwisata."

Di platform seperti Xiaohongshu, setara Instagram di China, beberapa lulusan  bercerita tentang "melepas toga sarjana" dan menghindari jadwal kerja "996" China Inc yang terkenal, yaitu kerja dari jam 9.00 pagi hingga 9.00 malam, enam hari seminggu.

"Kaum muda tidak lagi percaya bahwa nilai seseorang berasal dari belajar keras atau kesuksesan karier," kata Han Zhaoxue, lulusan master administrasi publik berusia 26 tahun yang sekarang ikut mengelola homestay pedesaan setelah menolak tawaran bergaji rendah.

Sarjana IT Wang, 23 tahun, berpenghasilan kurang dari 3.000 yuan (hampir Rp6,3 juta) per bulan sebagai pengantar makanan paruh waktu di timur kota Jining.

"Ambang batas untuk memasuki industri pemrograman terus meningkat. Saya tidak dapat menemukan pekerjaan di perusahaan teknologi besar dan benci bekerja lembur tanpa dibayar selama magang di sebuah perusahaan kecil," kata Wang, hanya memberikan nama keluarganya untuk alasan privasi.

“Saya benar-benar lelah sehingga pindah kembali ke kampung halaman saya,” katanya sambil menambahkan bahwa dia sekarang sedang belajar untuk ujian PNS.

Liang, lulusan matematika terapan, masih menganggur dan "serius mempertimbangkan" untuk jualan makanan di kaki lima. "Saya tidak bisa memikirkan industri lain yang belum saya lamar," katanya.

REUTER

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus