Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setahun berlalu, pengusutan dugaan korupsi dalam proyek terminal gas terapung Lampung oleh Kejaksaan Agung masih berputar-putar di tahap penyelidikan. Kejaksaan tak kunjung menetapkan tersangka ataupun menghentikan pengusutan kasus pembangunan floating storage regasification unit (FSRU) milik Perusahaan Gas Negara itu.
"Proses penyelidikan masih berjalan, kami tak bisa sembarang bicara," kata Direktur Penyidikan Pidana Khusus Kejaksaan Agung Maruli Hutagalung, Rabu dua pekan lalu.
Sejauh ini, Kejaksaan sudah memeriksa sejumlah pegawai dan direktur PGN. Di antaranya mantan Wakil Direktur Pasokan Gas, Gamal Imam Santoso; Ketua Lelang FSRU Belawan, Retno Kadarini; Direktur Utama PGN LNG, Doddy Adianto; Direktur Perencanaan dan Manajemen Risiko, Wahid Sutopo; serta Direktur Keuangan Rizal Pahlevi.
Adapun Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso belum sekali pun memenuhi panggilan jaksa. Padahal Kejaksaan sudah tiga kali memanggil mantan Direktur Investasi Perbankan J.P. Morgan itu. Terakhir, jaksa memanggil Hendi pada 3 November 2015. "Kalau sudah tahap penyidikan, dia bisa kami panggil paksa," ujar seorang jaksa.
Pembangunan FSRU Lampung bermula pada 2012. Awalnya, PGN berencana membangun fasilitas FSRU di Belawan, Sumatera Utara. Pertimbangannya, menurut seorang pejabat PGN, posisi Belawan tergolong strategis. Jaraknya hanya sekitar 25 kilometer dari konsumen yang dibidik PGN, yaitu pembangkit listrik, industri, dan rumah tangga di sekitar Kota Medan. Perhitungan PGN kala itu, kebutuhan gas di Medan mencapai 250 juta MMBtu per hari.
Rencana membangun FSRU di Belawan beralih ke Lampung gara-gara sepucuk surat dari Kementerian Badan Usaha Milik Negara pada 19 Maret 2012. Kementerian merelokasi proyek FSRU Belawan ke Lampung karena kebutuhan gas di sekitar Medan akan dipasok Pertamina Gas dari kilang LNG Arun.
Pemindahan proyek FSRU ke Lampung sempat membuat PGN kelimpungan. Soalnya, untuk proyek awal FSRU Belawan, PGN telah mengeluarkan biaya sekitar US$ 12 juta. Itu meliputi biaya pembebasan lahan dan biaya konsultan.
Biaya yang telanjur keluar rupanya sempat diperhitungkan Kementerian BUMN. "Segala biaya yang telah dikeluarkan oleh PGN akan dimasukkan ke dalam biaya proyek revitalisasi Arun," demikian menurut surat yang diteken Dahlan Iskan, Menteri BUMN kala itu. Namun, hingga kini, uang pengganti belum diterima PGN.
Pada Januari 2012, PGN pun telanjur mengikat kontrak 20 tahun dengan konsorsium Hoegh LNG asal Norwegia dan PT Rekayasa Industri sebagai kontraktor FSRU Belawan. Untuk menghindari denda ratusan juta dolar, PGN mempertahankan Hoegh sebagai kontraktor di FSRU Lampung.
Pembangunan FSRU Lampung berjalan lancar hingga resmi beroperasi pada September 2014. Namun masalah langsung muncul justru ketika fasilitas senilai US$ 500 juta itu selesai dibangun. Badan Pemeriksa Keuangan, misalnya, mempertanyakan legalitas FSRU Lampung dalam laporan hasil pemeriksaan tanggal 30 Juni 2014.
BPK menganggap FSRU Lampung tak memiliki dasar hukum yang kuat karena hanya berpegang pada surat Menteri BUMN. Padahal, pada 2010 dan 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mengeluarkan instruksi yang menyatakan FSRU dibangun di Belawan. Ketika FSRU akhirnya dibangun di Lampung, instruksi presiden tersebut tidak direvisi. "Ada kecacatan secara legal di mana surat menteri menggugurkan level yang lebih tinggi," demikian tertulis dalam laporan BPK.
Sejak Oktober 2014, Kejaksaan Agung rupanya sudah mencium kejanggalan proyek FSRU Lampung. Menurut seorang jaksa, di samping mempersoalkan dasar hukum pemindahan proyek ke Lampung, Kejaksaan memfokuskan penyelidikan pada dugaan penggelembungan nilai proyek serta absennya manajemen risiko proyek.
Di tengah penyelidikan, pada April 2015, Kejaksaan Agung menerima laporan Energy Watch Indonesia yang juga mempersoalkan proyek FSRU Lampung. Ketua Energy Watch Ferdinand Hutahaean menyebutkan FSRU Lampung sia-sia karena komitmen pembelian gas 1,3 juta meter kubik per hari oleh 14 industri di Lampung tak terlaksana.
Rencana PT PLN membeli gas sekitar 40,5 juta meter kubik per hari juga batal. Tadinya, PLN akan membeli gas dari FSRU Lampung untuk pembangkit listrik di Sribhawono, Sutami, dan Tarahan. "Harga mereka kemahalan. Kami belum mencapai kesepakatan," kata Direktur Pengadaan PLN Supangkat Iwan. "Lagi pula, kami masih mendapat pasokan gas dari FSRU Teluk Jakarta."
Karena banyak komitmen pembelian yang batal, selama beroperasi, FSRU Lampung baru mengolah empat kargo gas alam cair menjadi gas (regasifikasi) atau sekitar 500 ribu meter kubik. Padahal, jika berfungsi maksimal, FSRU Lampung bisa mengolah 14 kargo gas cair atau sekitar 1,75 juta meter kubik.
Itu pun tak semua gas siap pakai bisa disalurkan. Sejak September 2014 hingga Januari 2015, FSRU Lampung hanya menyalurkan 170 ribu meter kubik gas ke Muara Tawar. Selebihnya masih mengendap di terminal gas itu. Fasilitas FSRU pun lebih banyak menganggur. Padahal biaya sewa kapal FSRU saban hari tak kurang dari US$ 150 ribu.
Menghitung sewa kapal plus biaya operasional, Energy Watch memperkirakan, pada semester pertama 2015 saja, kerugian FSRU Lampung sekitar US$ 48 juta. "Jika manajemen risiko atau feasibility studies dilakukan dengan benar, kegagalan penyaluran tak akan terjadi," ujar Ferdinand.
Ferdinand juga menyebutkan ada penunjukan langsung dalam pembangunan fasilitas penunjang FSRU Lampung. Fasilitas itu meliputi jaringan pipa offshore, fasilitas off-take, tower yoke, dan mooring (tempat sandar kapal). Penunjukan langsung, menurut Ferdinand, seharusnya tak terjadi karena Lampung tidak dalam kondisi darurat pasokan gas.
Seorang pegawai PGN yang mengetahui urusan teknis FSRU mengatakan fasilitas penunjang yang dibangun Hoegh juga bermasalah. Tower yoke dan mooring, misalnya, hanya cocok dengan spesifikasi kapal milik Hoegh. Ketika kontrak habis pada 2034, PGN harus kembali menggunakan kapal milik Hoegh.
Sekretaris Perusahaan PGN Heri Yusup membenarkan kabar tentang penyaluran gas FSRU Lampung yang tak mencapai target. "Masih under perform," ujarnya. Pada 2016, FSRU Lampung paling hanya bisa mengolah lima kargo LNG. "Ini karena permintaan lagi menurun." Kelak, kata Heri, FSRU Lampung bisa membantu proyek listrik 35 ribu megawatt yang dicanangkan pemerintah.
Heri membantah tuduhan bahwa ada penunjukan langsung Hoegh LNG dan Rekayasa Industri sebagai kontraktor. Kedua perusahaan itu mengikuti lelang terbuka sesuai dengan standar internasional. Adapun manajemen risiko, menurut Heri, sudah dilakukan sejak rencana pembangunan FSRU Belawan. "Pemindahan ke Lampung juga disertai studi kelayakan," ujarnya.
Fasilitas tower yoke dan mooring, menurut Heri, juga tak didesain khusus hanya bisa dipakai kapal milik Hoegh. Kapal apa pun bisa bersandar di FSRU Lampung sepanjang memiliki spesifikasi yang sama dengan kapal yang dipakai saat ini.
Menurut Heri, pembangunan FSRU Lampung pun sudah diaudit secara independen. Hasil audit lembaga mandiri itu sudah disampaikan kepada BPK dan pemegang saham PGN. "Jadi sulitlah kalau mau melakukan korupsi dalam proyek ini," ujar Heri.
Istman M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo