Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANSELIR Jerman Angela Merkel akhirnya bertekuk lutut. Di Berlin, Ahad dua pekan lalu, ia terlibat dalam sebuah perbincangan alot dengan Horst Seehofer. Percakapan kedua tokoh partai konservatif Jerman itu berlangsung hingga malam hari. Setelah sepuluh jam tarik-ulur, Merkel dan Seehofer menyepakati satu poin krusial: pembatasan jumlah pengungsi.
Merkel, 63 tahun, yang memimpin Partai Uni Kristen Demokratik (CDU), serta Seehofer, Ketua Partai Uni Sosial Kristen (CSU), setuju bahwa Jerman hanya akan menampung tidak lebih dari 200 ribu pendatang tiap tahun. "Kami mencapai kompromi yang menjadi dasar untuk memulai diskusi dengan Partai Demokrat Bebas dan Partai Hijau," kata Merkel.
Seehofer sebenarnya telah berbulan-bulan menuntut pemangkasan angka pencari suaka di Jerman. Ia beralasan bahwa arus pendatang bakal menggerus perolehan suara partainya dalam pemilihan umum nasional. Namun Merkel selalu menolak permintaan itu. "Untuk masalah pembatasan, posisi saya jelas," ujar Merkel pada Juli lalu. "Saya tidak akan menerimanya."
Bagi Merkel, Jerman wajib menolong para pengungsi dari negara-negara yang tercabik perang di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sejak 2015, melalui kebijakan pintu terbuka Merkel, Jerman telah menampung lebih dari 1,3 juta pengungsi. Kebanyakan mereka dari Suriah. Merkel seakan-akan menutup mata meski kebijakannya itu telah menyulut kontroversi.
Bulan demi bulan berlalu, tapi Merkel tetap tak menggubris tuntutan Seehofer. Hingga akhirnya Merkel terkena getahnya. Dalam pemilihan umum nasional pada 24 September 2017, aliansi CDU-CSU hanya meraup 33 persen suara. "Hasil terburuk sejak 1949," begitu menurut The Guardian. Di beberapa negara bagian, dukungan untuk blok konservatif itu banyak yang bocor dan beralih ke partai anti-imigran, Alternatif untuk Jerman (AfD).
Di Negara Bagian Bavaria, CSU babak-belur. Saudara koalisi CDU itu hanya mendapat 38,8 persen. Meski masih bertengger di peringkat teratas, "Perolehan suara CSU merosot 10 poin dari pemilu federal terakhir," begitu diberitakan situs Deutsche Welle. Aliansi CDU-CSU selama ini bahu-membahu menyokong kandidat konservatif, termasuk Merkel. CSU beroperasi hanya di Bavaria. Sedangkan CDU bertarung di 15 negara bagian lain.
Mendapati partainya terpuruk, Seehofer meradang. Apalagi suara CSU rupanya banyak yang gembos ke AfD. "Keputusan Merkel untuk membuka pintu bagi lebih dari 1 juta pengungsi telah memicu kebangkitan AfD," katanya. Kepada Merkel, Seehofer memberi ultimatum. Ia mengancam bakal menarik CSU dari blok konservatif jika Merkel tidak mengubah kebijakan imigrasinya. Merkel pun tunduk. Tanpa sokongan CSU, ia bakal susah payah membentuk koalisi dengan mayoritas kursi di parlemen atau Bundestag.
Namun mengamankan dukungan CSU saja belum cukup. Untuk bisa membentuk kabinet, Merkel kudu merangkul partai lain. Kekuatan duo partai berhaluan tengah-kanan CDU-CSU tak mencapai suara mayoritas. Nahas bagi Merkel, Partai Sosial Demokrat (SPD) kali ini justru ogah bergabung. Di bawah kendali Martin Schulz, SPD memilih menjadi oposisi.
"Ini adalah penolakan terhadap Koalisi Besar," ujar Thomas Oppermann, Ketua Fraksi SPD di Bundestag. Koalisi Besar adalah sebutan untuk koalisi antara CDU-CSU dan SPD. Selama empat tahun terakhir, di periode ketiga Merkel menjabat kanselir, koalisi besar memegang kendali pemerintahan Jerman. Tapi, di tangan Schulz, SPD kini berubah haluan.
SPD makin yakin berada di luar kekuasaan setelah memenangi pemilu regional di Saxony Bawah. Di negara bagian tempat raksasa otomotif Volkswagen itu, partai berhaluan tengah-kiri besutan Schulz meraup 37,3 persen suara, unggul 4 poin atas CDU. "Partai Merkel jadi pecundang dalam pemilu ini," ujar Ketua SPD Saxony Bawah, Stephan Weil.
Harian terkemuka di Jerman, Bild, menggambarkan kekalahan di Saxony Bawah sebagai tamparan keras bagi Merkel. Apalagi CDU tercatat selalu unggul 10 poin dari SPD dalam jajak pendapat hingga Agustus lalu. Kekalahan di Saxony Bawah diperkirakan mempersulit upaya Merkel untuk menyusun koalisi yang baru. Namun Merkel membantah hal itu. "Saya tidak melihat hasil pemilu di Saxony Bawah melemahkan kami," ucapnya.
Tanpa SPD, Merkel masih punya beberapa alternatif. Ia melirik pilihan terkuat saat ini, yaitu berkoalisi dengan partai pro-bisnis, Partai Demokrat Bebas (FDP), dan partai kiri pro-lingkungan, Partai Hijau. Gabungan partai-partai itu mendapat julukan koalisi "Jamaika", merujuk pada warna hitam-kuning-hijau sesuai dengan bendera negara di kawasan Karibia tersebut. Blok CDU-CSU akrab dengan warna hitam; FDP kuning; dan hijau untuk Partai Hijau.
Di Dresden, ibu kota Negara Bagian Saxony atau Sachsen, Merkel pernah menyinggung ihwal kemungkinan terbentuknya koalisi Jamaika. "Pertama, antara CDU dan CSU, kemudian dengan FDP dan Partai Hijau," katanya pekan lalu. "Ini untuk menjalankan mandat yang telah diberikan oleh pemilih kepada kami." Dengan tambahan dukungan dari FDP dan Partai Hijau, Merkel dapat meraup total 52,5 persen suara di Bundestag.
Koalisi Jamaika pernah terbentuk di beberapa negara bagian. Di Saarland di barat Jerman, aliansi hitam-kuning-hijau hanya bertahan dua tahun tiga bulan dan bubar pada Januari 2012. Di Schleswig-Holstein di utara Jerman, koalisi Jamaika baru terbentuk pada Juni lalu. Adapun di negara bagian lain, Baden-Württemberg, yang kaya raya di barat daya Jerman, Partai Hijau merupakan mitra senior dalam sebuah koalisi yang harmonis dengan CDU.
Di level nasional, koalisi Jamaika belum teruji. Dalam beberapa kebijakan, blok CDU-CSU kerap tumpang-tindih dengan FDP dan Partai Hijau. Sejarah juga menunjukkan hubungan antarpartai tak selalu mesra. CSU, sekutu CDU yang lebih konservatif, misalnya, tak akur dengan Partai Hijau. FDP, yang pro-pasar bebas, juga tak cocok dengan Partai Hijau. Dalam isu zona euro, sumber energi ramah lingkungan, hingga pengungsi, "Kami dalam posisi bertentangan," tutur Katrin Goring-Eckardt, pentolan Partai Hijau.
Dalam lanskap politik terbaru Jerman, pengungsi menjelma jadi isu paling krusial. Kebijakan tentang pengungsi terbukti ampuh mengubah peta suara partai. Akibat isu pengungsi, Merkel harus berdebat keras di lingkup internal CDU. Partai besutan Merkel, CDU, nyaris pecah kongsi dengan CSU. Bagi CDU, CSU, dan FDP, pembatasan pengungsi wajib hukumnya. Dalam spektrum lebih ekstrem, ada AfD yang anti-imigran. Sedangkan Merkel menilai pembatasan pengungsi melanggar konstitusi. Ia hanya berteman dengan Partai Hijau.
Maka koalisi Jamaika menjadi ujian bagi Merkel. Partai Hijau kini menjaga jarak setelah Merkel tunduk pada permintaan Ketua CSU Horst Seehofer untuk membatasi pengungsi. "Tidak ada keharusan membentuk koalisi," ujar Cem Özdemir, pentolan Partai Hijau dan kolega Göring-Eckardt. Sementara itu, FDP mulai jual mahal. "Kami tidak akan membiarkan diri untuk dipaksa masuk koalisi pemerintah," kata pemimpin muda FDP, Christian Lindner.
Jika Merkel gagal merangkul FDP dan Partai Hijau, blok CDU-CSU bisa tersudut untuk melirik AfD. Padahal partai besutan Alexander Gauland dan Alice Weidel itu kini jadi musuh bersama. AfD sukses mencuri dukungan dari basis pemilih konservatif. Untuk pertama kalinya sejak era Nazi, AfD jadi partai sayap kanan pertama yang masuk Bundestag. Kader-kader AfD juga mengisi parlemen di 14 dari 16 negara bagian Jerman. "Ada sayap terbuka di sebelah kanan kita yang harus ditutup," ujar Seehofer mewanti-wanti Merkel.
Godaan masuk kabinet sempat membuat AfD retak. Frauke Petry, yang mewakili faksi moderat, mundur dari AfD justru setelah partai itu merebut posisi ketiga dalam pemilu nasional. Petry lantas membentuk Partai Biru yang konservatif. "Petry ingin mendapat posisi di kabinet secepat mungkin dan membawa AfD menjadi bagian dari pemerintah," kata Gauland, pemimpin faksi radikal AfD yang anti-Islam dan anti-imigran.
Di bawah kendali Gauland dan Weidel, AfD menutup rapat pintu untuk berkoalisi dengan Merkel. Bagi AfD, slogan "Deutschland, Deutschland über alles" ("Jerman, Jerman di atas segalanya") bukan cuma pepesan kosong. "Kami ingin kebijakan Merkel membawa 1 juta orang ke negara ini (Jerman) diselidiki dan kami ingin dia dihukum berat untuk itu," ujar Gauland. "Kami perlahan menjadi orang asing di negeri kami sendiri."
Mahardika Satria Hadi (the New York Times, Dw, Der Spiegel, The Local)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo