Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Senyum Robby Abbas berubah jadi kecut ketika tiga polisi menghampirinya di lobi Hotel Ritz-Carlton, Jumat malam dua pekan lalu. Ia pun tak berkutik ketika digelandang ke kantor Kepolisian Resor Jakarta Selatan. "Kami langsung tetapkan dia sebagai tersangka kasus prostitusi," ujar Kepala Polres Jakarta Selatan Komisaris Besar Wahyu Hadiningrat, Selasa pekan lalu.
Malam itu Robby ditangkap bersama seorang model majalah pria dewasa. Uang Rp 54 juta dalam tasnya merupakan sisa pelunasan ongkos kencan dari seorang polisi yang menyamar sebagai pemesan layanan seks berbayar. Sementara Robby terus ditahan, sang model akhirnya dilepaskan. "Kami berfokus memburu jaringan muncikarinya," kata Wahyu.
Menurut Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Jakarta Selatan Ajun Komisaris Besar Audie Latuheru, sebelum tertangkap, Robby cukup berhati-hati dalam menjalankan bisnis prostitusi. Pria lajang 32 tahun itu biasanya tak mau langsung melayani orang yang baru ia kenal.
Setelah hampir sebulan mempelajari cara kerja jaringan ini, penyidik polisi yang menyamar sebagai "calon konsumen" mengontak Robby lewat layanan pesan BlackBerry. Perlu waktu sampai sepekan hingga polisi mendapat lampu hijau untuk bertransaksi. "Dia tanya dulu nama, kerja di mana, tahu kontak dari mana. Kayak interogasi saja," ujar Audie.
Kehati-hatian Robby kembali terlihat ketika ia mengatur pertemuan di sebuah restoran di mal Pacific Place, Jakarta Selatan, Kamis dua pekan lalu. Datang satu jam lebih awal, dia tak langsung menuju tempat pertemuan. Robby memantau dulu suasana dan orang yang akan ia temui dari tempat di sekitar restoran.
Dalam pertemuan singkat itu, Robby menunjukkan sejumlah foto "artis" yang katanya bisa diajak kencan. Ia membuka tarif—yang masih bisa ditawar—dari Rp 80 juta hingga Rp 200 juta.
Rencananya, malam itu pula polisi hendak meringkus Robby. Tapi tak seorang pun artis dalam jaringan Robby yang bersedia diajak kencan singkat. Yang kosong hanya si model majalah. Ia memasang tarif Rp 80 juta per tiga jam. Itu pun kencannya baru bisa esok harinya.
Begitu tarif dan waktu kencan disepakati, Robby meminta panjar Rp 24 juta—sekitar 30 persen. Sisanya harus lunas sebelum "eksekusi". Robby pun meminta pembayaran secara tunai. Ia tak menerima pembayaran melalui transfer. Rupanya, itu pun bagian dari kehati-hatian dia. "Agar tak mudah dilacak," ucap Robby kepada wartawan, Senin pekan lalu.
Perkenalan Robby dengan kalangan artis dan model bermula pada 1998, ketika ia mulai berprofesi sebagai penata rias. Kala itu Robby sudah mendengar rumor bahwa sejumlah artis bisa dibayar untuk berkencan. Namun dia belum berani menawarkan diri sebagai "perantara".
Robby mulai belajar menjadi muncikari pada 2012. Awalnya ia diminta seorang rekan mencari artis untuk menghibur sejumlah pejabat. "Dia kan tahu saya banyak kenalan artis," ujar Robby. Atas jasanya itu, Robby mendapat imbalan yang jauh lebih besar daripada bayaran sebagai penata rias.
Ketagihan, Robby pun terjun total ke dunia prostitusi. Bila mendengar kabar seorang artis bisa diajak kencan, Robby tak segan-segan menawarkan jasa sebagai penghubung. Sasaran dia terutama artis pendatang baru atau artis lama yang mulai sepi pesanan.
Soal tarif, Robby mempersilakan calon pelanggan bernegosiasi langsung dengan perempuan yang diminatinya. Toh, berapa pun kesepakatannya, "Saya mendapat fee 20-30 persen," ucap Robby.
Dalam memasarkan para artis, Robby mengandalkan jaringan pelanggan yang pernah menggunakan jasanya. Cara itu terbukti ampuh. Klien Robby terus bertambah, termasuk dari kalangan pengusaha dan pejabat. Perempuan yang mau dipasarkan Robby pun semakin banyak. Terakhir, Robby mengaku jadi perantara untuk sekitar 200 wanita.
Untuk sementara, bisnis Robby praktis terhenti. Polisi menjerat dia dengan Pasal 296 dan 506 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bila terbukti menjadi muncikari, Robby bisa dihukum maksimal satu tahun empat bulan penjara. "Kami masih mempelajari kemungkinan memakai pasal berlapis," ujar Wahyu.
Febriyan, Dimas Siregar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo