DI Negeri Gajah Putih kegiatan keagamaan dan politik bisa cuma tipis batasnya. Misalnya peristiwa awal pekan lalu, yakni ditangkapnya Biksu Phra Bodhirak. Tuduhan resminya, ia menyebarkan ajaran Budha yang menyimpang. Kabar yang beredar di masyarakat, Bodhirak, pendiri Budha sekte Santi Asoke pada 1975, ini dikhawatirkan semakin banyak pengikutnya. Itu berarti makin besarnya Partai Palang Dharma partai yang didirikan oleh Gubernur Bangkok Chamlong Srimuang (Selingan, TEMPO 20 Mei) tahun lalu, yang semakin populer karena kritik-kritiknya terhadap segala yang dianggap mencong di Muangthai, yang sebagian besar anggotanya mendukung Santi Asoke. Bodhirak, 55 tahun, ditangkap dengan tuduhan melakukan kegiatan agama terlarang di Klong Khum, Bangkok, basis sekte Santi Asoka, setelah ia diperingatkan agar menghentikan dakwahnya tapi tetap nekat. Di Muangthai seorang biksu tak bisa diadili begitu saja. Ia mesti terlebih dahulu mengganti jubah cokelatnya dengan putih, lalu mengucapkan pernyataan bahwa ia berhenti sebagai biksu. Yang pertama dilakukan Bodhirak. Tapi ia menolak menjalankan hal kedua. Bagi Bodhirak sekte-sekte Budha lainnya di Muangthai dianggapnya sudah jauhmenyeleweng dari ajaran Budha. Umpamanya, para biksu tak lagi segan memungut bayaran bila diundang memimpin upacara selamatan peresmian rumah atau pembukaan usaha. Malah kini, kata Bodhirak, banyak pendeta terlibat kegiatan komersial, misalnya meramalkan nasib, atau angka undian. Padahal, tuturnya lebih lanjut, para biksu tak perlu melakukan itu semua. Pemerintah Thai sudah memberikan dana khusus untuk membiayai kehidupan para biksu. Kritik Bodhirak, tentu saja, tak populer di telinga para pemuka agama Budha dan pejabat pemerintah. Di negeri yang 95% dari 55 juta warganya pemeluk Budha ini, para pemimpin politik memerlukan semacam legitimasi, agar dapat mengendalikan negara monarki Gajah Putih. Maka, kritik terhadap para biksu tak bisa lain berarti juga kritik terhadap pemerintah, atau setidaknya pejabat negara. Atau lebih tepat terhadap Sangha -- Dewan Tertinggi Keagamaan yang antara lain bertugas menjaga lurusnya ajaran Budha dijalankan -- yang kurang tegas menegur para biksu yang komersial. Itu soalnya bila penangkapannya dirahasiakan, setidaknya tak disiarkan oleh TV dan radio pemerintah. Keteguhan Bodhirak, yang sebelum menjadi biksu adalah seorang komponis lagu pop, ada hasilnya. Seorang pengikutnya, Sukanya Surapakdi, mengeluarkannya dari tahanan dengan uang jaminan 20 ribu bath. Sepanjang sejarah Budha di Thai, baru kali ini muncul sekte sempalan seperti Santi Asoke (artinya kebahagiaan yang damai) ini, yang mengkritik kemapanan dan kemenyimpangan para biksu. Sebelumnya memang ada biksu ditahan, karena tuduhan komunis. Yakni pada 1956, tiga biksu yang menghadiri seminar agama Budha di Beijing. Mereka dibebaskan ada 1964, karena tak ditemukan bukti-bukti. Peristiwa kedua menyangkut Biksu Phra Phimondham, 1960. Ia dicopot dari keanggotaan Sangha Montri (kabinet para biksu di Muangthai), karena memprotes peraturan Sangha yang tak mengizinkan orang-orang komunis menjadi biksu, dan dipersalahkan karena melakukan kejahatan homoseks. Ia pun dipaksa mencopot jubah kebiksuannya dan ditahan selama 4 tahun (1957-1963). Pengadilan akhirnya membebaskannya karena tak terbukti melanggar undang-undang. Bahkan ia diizinkan kembali menjadi biksu. Polisi Bangkok kini mencoba mencari bukti-bukti bahwa Bodhirak melanggar undang-undang. Sebab, bila diusut dari ajaran Budha, ia justru meluruskan para penyeleweng. Pihak Sangha tentu tak mudah mengajukannya ke sidang pengadilan, yang bisa membuka borok sendiri.Didi P. (Jakarta) & Yuli Ismartono (Bangkok)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini