Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Reichsbürger tak mengakui Holocaust, menolak Republik Federal Jerman, dan memuja Hitler.
Polisi Jerman menemukan berbagai senjata di rumah anggota Reichsbürger.
Menteri Dalam Negeri Jerman menyatakan kelompok ini sebagai organisasi terlarang.
TIGA senapan serbu, tiga busur panah, dua parang, dan satu katapel ditemukan polisi Jerman ketika menggeratak rumah seorang perempuan 50-an tahun di Gummersbach, Negara Bagian Nordrhein-Westfalen, pada Maret pekan ketiga. Di rumah seorang pria di Dresden pada pekan yang sama, polisi menyita sebilah katana. Begitu juga ketika aparat menggeledah rumah seorang pria di Rheinland-Pfalz. Sepucuk senapan diangkut dari si empunya rumah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka yang digeledah adalah anggota kelompok sayap kanan Reichsbürger (Warga Negara Kekaisaran) dan jaringannya. Penggerebekan dilancarkan setelah Menteri Dalam Negeri Jerman Horst Seehofer menyatakan kelompok tersebut sebagai organisasi terlarang. “Untuk pertama kalinya Menteri Dalam Negeri melarang kelompok Reichsbürger,” kata juru bicara Kementerian Dalam Negeri, Steve Alter, pada Kamis, 19 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian menyatakan Reichsbürger intoleran karena mengujarkan rasisme dan anti-Semitisme hingga membengkokkan sejarah. Kelompok itu juga mempersoalkan legitimasi Republik Federal Jerman dan menolak membayar pajak. Banyak dari mereka menyebut Jerman bukanlah negara, melainkan “perusahaan”, dan tidak mengakui hukum serta otoritas pemerintah.
Herbert Reul, Menteri Dalam Negeri Negara Bagian Nordrhein-Westfalen, daerah yang menjadi pusat gerakan itu, menyebut Reichsbürger sebagai ancaman bagi masyarakat. “Mereka menyangkal keberadaan Republik Federal Jerman serta menghasut untuk membenci orang Yahudi dan orang asing,” katanya. “Ini adalah waktu yang tepat untuk memburu orang-orang yang menyebarkan teori konspirasi seperti mereka. Tidak ada toleransi, hanya tindakan keras.”
Reichsbürger terdiri atas sejumlah kelompok kecil dan individu yang mendeklarasikan sendiri “wilayah nasional” yang mereka sebut “Kekaisaran Jerman Kedua”, “Negara Merdeka Prusia”, ataupun “Kerajaan Jermania”. Mereka menganggap Konstitusi Kekaisaran Jerman 1919, yang diterapkan selama Nazi berkuasa, masih berlaku hingga kini. Mereka pun mengabaikan reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur pada 1990 yang membentuk Republik Federal Jerman.
Salah satu tokohnya adalah Peter Fitzek, bekas koki yang mengangkat diri sebagai “Raja Jerman” pada 2012. Dia mengklaim wilayah seluas sembilan hektare di luar Kota Wittenberg, Negara Bagian Saxony-Anhalt, sebagai kerajaannya. Pada 2017, pengadilan menghukumnya tiga tahun delapan bulan penjara karena terbukti menggelapkan US$ 1,5 juta melalui bank bikinannya.
“Pada intinya gerakan ini berbasis anti-Semitisme,” tulis Jan Rathje, ilmuwan politik di Amadeu Antonio Foundation, lembaga penelitian ekstremisme Jerman, bersama koleganya, Melanie Hermann, dalam kajian tentang Reichsbürger. Menurut mereka, kelompok itu mempercayai teori konspirasi seperti keyakinan bahwa Rothschild, keluarga Yahudi kaya Jerman dari abad ke-18, telah mengendalikan lembaga keuangan dunia.
Dua tokoh Reichsbürger, Horst Mahler dan Sylvia Stolz, bahkan terang-terangan menolak Holocaust, tragedi pembantaian Yahudi oleh Nazi. “Penolakan atas Holocaust adalah pandangan utama anggota kelompok ini yang saya temui ketika menyamar,” ucap Tobias Ginsburg, jurnalis Yahudi-Jerman yang pernah menyusup ke kelompok itu, kepada Haaretz. “Terasa lebih menyakitkan ketimbang merasa ganjil terhadap gagasan mereka bahwa Yahudi menguasai dunia dengan jubah hitam atau meminum darah anak-anak seperti yang saya dengar dari sebagian orang di sana.”
“Sayangnya, meski pikiran mereka aneh, belakangan ini kelompok tersebut dan ideologinya menjadi sangat menarik bagi banyak orang dengan gangguan riwayat hidup,” kata Ginsburg, merujuk pada orang dengan pengalaman bercerai, bangkrut, dan kehilangan orang yang dikasihi. “Bagi orang-orang ini, lebih mudah percaya bahwa kekuatan gelap telah menghancurkan hidup mereka daripada mengakui hal itu terjadi karena kesalahan mereka sendiri.”
Polisi memperkirakan anggota kelompok ini mencapai 19 ribu orang dan banyak yang memiliki senjata api. Sejak 2016, polisi telah menarik 790 lisensi senjata api dari mereka. Pada tahun itu pula seorang tokoh Reichsbürger membunuh seorang polisi di Georgensgmünd.
Tindakan serius baru dilakukan pemerintah ketika seorang anggota kelompok tersebut membantai sembilan migran di Kota Hanau pada19 Februari lalu. Tobias Rathjen, pria 43 tahun, menerobos masuk ke bar Midnight milik orang Turki yang tak jauh dari pusat kota. Dia menembaki tiga tamu yang sedang bersantap dan Gökhan Gültekin, pramusaji yang baru mengantarkan pesanan tetamu. Dalam sekejap, kedai bersofa hijau dengan pipa hookah—yang jamak dipakai untuk mengisap shisha—di meja itu banjir darah. “Mereka menembak saudara dan kami anak-anak kami,” ujar Kemal Koçak, pemilik bar, seperti dikutip Hurriyet. “Meski kami selamat, separuh jiwa kami telah pergi. Gökhan telah pergi.”
Rathjen kemudian berjalan ke Karl-Schumacher Platz dan masuk ke kafe Arena milik orang Turki. Pistol Glock 17,9 milimeter di tangannya lantas memuntahkan peluru ke arah orang yang berkerumun di ruang shisha. Dengan tenang, dia meninggalkan kafe itu dan masuk ke mobil BMW hitamnya.
Dia pulang ke rumahnya di Helmholtzstrasse, yang tak jauh dari lokasi pembantaian. Dia kemudian menembak mati ibunya yang berusia 72 tahun, lalu membedil dirinya sendiri. Polisi memastikan bahwa pistol Rathjen diperoleh secara legal dan juga digunakan dalam serangan di Muenchen pada 2016.
Sarjana manajemen bisnis dari Bayreuth University itu meninggalkan manifesto penuh kebencian yang menolak etnis minoritas Jerman. Di situs pribadinya, dia mengunggah dokumen sepanjang 24 halaman yang menyerukan “pembersihan total” orang-orang dari Timur Tengah, Asia, dan Afrika.
Dalam laporan yang dirilis pada Senin, 23 Maret lalu, Komisi Anti-Rasisme dan Intoleransi Eropa (ECRI) Dewan Eropa mendeteksi meningkatnya islamofobia dan percakapan xenofobia di kalangan masyarakat Jerman. Komisi mendesak pemerintah Jerman untuk meningkatkan upaya mencegah dan melawan ekstremisme dan neo-Nazi.
Menurut ECRI, rasisme tak hanya diusung Reichsbürger, tapi juga dua organisasi di bawah Partai Alternatif untuk Jerman (AfD), yakni Sayap (Flügel) dan Pemuda Jerman Patriotik, yang mengikuti tradisi Pemuda Hitler. Kedua organisasi itu diawasi ketat oleh Kantor Perlindungan Konstitusi, badan intelijen Jerman. “Sayap terbukti punya niat ekstremis,” ucap Thomas Haldenwang, Presiden Kantor Perlindungan Konstitusi, seperti dikutip Deutsche Welle.
AfD adalah partai oposisi terbesar di parlemen nasional (Bundestag) dengan 91 kursi atau 12 persen dari semua kursi. Berbagai tekanan politik akhirnya mendorong partai membubarkan Sayap pada Rabu, 25 Maret lalu.
Menurut Presiden Bundestag, Wolfgang Schäuble, pemerintah terlalu lama menganggap sepele ancaman teror kelompok ini. Tidak ada pilihan lain, kata dia, “Pemerintah harus membongkar jaringan radikal dan menghancurkan kelompok ekstremis sayap kanan.”
IWAN KURNIAWAN (DEUTSCHE WELLE, HAARETZ, HURRIYET, BBC)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo