Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Gunungan Masalah Listrik Sampah

Komisi Pemberantasan Korupsi merekomendasikan pemerintah merevisi skema proyek pengolahan sampah untuk kelistrikan. Dianggap hanya menguntungkan investor dan membebani keuangan negara.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK menuntaskan kajian terhadap proyek pengolahan sampah untuk energi listrik.

  • Model bisnis yang dikembangkan pemerintah membebani keuangan negara.

  • Skema baru ditawarkan agar biaya lebih efisien.

KABAR dari Kuningan pada Jumat, 6 Maret lalu, mengejutkan Yudi Prabangkara. Akhir pekan itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron menyinggung Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 yang penerbitannya diinisiasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi, kantor tempat Yudi menjabat Asisten Deputi Bidang Infrastruktur Pertambangan dan Energi.

Yang membikin getir adalah pernyataan Nurul Ghufron bahwa proyek percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik (PSEL) yang dipayungi peraturan presiden tersebut berpotensi merugikan negara. Pernyataan Nurul ini dilatarbelakangi kajian KPK di sektor kelistrikan. “Kami enggak tahu kajian apa itu. Kami juga enggak pernah dihubungi,” kata Yudi kepada Tempo, Kamis, 26 Maret lalu.

Pernyataan Nurul, yang dikutip banyak media massa, langsung direspons Kementerian Koordinator Kemaritiman. Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Ridwan Djamaluddin mengundang tim KPK pada pekan berikutnya, Senin, 9 Maret lalu. Bos Yudi ini meminta komisi antirasuah menjelaskan kajian tersebut.

Dipimpin Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan, rombongan KPK memenuhinya. Kajian yang melatarbelakangi pernyataan Nurul Ghufron sejak tahun lalu dikerjakan anak buah Pahala di Direktorat Penelitian dan Pencegahan. Di kantor Ridwan dan Yudi juga menunggu sederet pejabat yang berkaitan dengan isu ini. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Rida Mulyana mewakili Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Sedangkan dari PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) datang Direktur Pengadaan Strategis 1 Sripeni Inten Cahyani.

Berlangsung dua jam, persamuhan itu tak memutuskan rencana tindak lanjut pemerintah terhadap sejumlah rekomendasi yang disodorkan KPK. “Belum ada komitmen apa pun,” ucap Pahala kepada Tempo.

Menurut Yudi, ura-ura itu memang baru permulaan. Diperlukan pertemuan lanjutan untuk membicarakan hal yang lebih teknis. Untuk sementara, yang terpenting bagi Yudi, tak ada pernyataan di kajian yang menyebutkan soal potensi kerugian negara dalam proyek pembangunan PSEL alias pembangkit listrik tenaga sampah di 12 kota yang kini digeber pemerintah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

•••

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAJIAN KPK bertajuk “Pengelolaan Sampah untuk Energi Listrik Terbarukan” berangkat dari rendahnya porsi pembangkit energi baru dan terbarukan (EBT) dalam bauran energi nasional. Angkanya naik-turun di kisaran 10-12 persen sejak 2013. Padahal pemerintah sejak jauh hari menetapkan target bisa menggenjot porsi EBT menjadi 23 persen pada 2025.


Sejak 2015, tim pencegahan KPK aktif mengkaji risiko korupsi di sektor kelistrikan. Kajian terbaru tentang pembangkit listrik tenaga sampah ini melengkapi sederet laporan lain, termasuk di sektor EBT lain, seperti pembangkit tenaga mikrohidro dan tenaga surya yang rampung pada 2016 dan 2017.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron (kanan) bersama Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan di gedung KPK, Jakarta, 6 Maret 2020./ANTARA/Rivan Awal Lingga

Adapun pembangunan pembangkit tenaga sampah di 12 wilayah yang dimaksud Yudi Prabangkara merupakan proyek percepatan yang dicanangkan Presiden Joko Widodo lewat penerbitan Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018. Wilayah tersebut meliputi Jakarta, Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, Makassar, Denpasar, Palembang, dan Manado. Sejumlah daerah itu merupakan penyumbang terbesar produksi sampah nasional yang tiap tahun mencapai 64 juta ton. 

Diteken pada 12 April 2018, peraturan presiden tersebut menggantikan ketentuan lama dalam Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016 tentang percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah di tujuh daerah, yakni DKI Jakarta, Tangerang, Bandung, Semarang, Surakarta, Surabaya, dan Makassar. Peraturan lama itu tak berumur panjang setelah gugatan uji materi yang diajukan kelompok sipil dikabulkan Mahkamah Agung.


Dalam aturan baru, nama proyek itu bukan lagi pembangunan pembangkit listrik tenaga sampah, melainkan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik. Dengan begitu, ucap Yudi, “Listriknya hanya bonus. Tujuan utamanya bukan menghasilkan listrik, tapi mengolah sampah.”

Makanya, menurut dia, pemerintah sadar betul bahwa biaya pengolahan tidak murah. “Yang harus dihitung adalah benefit-nya, sampahnya hilang,” tutur Yudi.

Tapi persoalan biaya inilah yang menjadi sorotan pertama KPK. Skema pengembangan pembangkit tenaga sampah yang berlaku saat ini dinilai bakal membebani pemerintah daerah dan PLN. Sebab, model bisnis dan pendanaan proyek memisahkan dua sumber pendanaan. Pemerintah daerah dan pengembang menjalin perjanjian pengolahan sampah sehingga harus membayar biaya layanan pengelolaan sampah (BLPS) atau yang biasa disebut tipping fee—di luar biaya pengumpulan, pengangkutan, dan pemrosesan. Dari total BLPS per ton, pemerintah pusat menanggung maksimal 49 persen dan paling tinggi Rp 500 ribu.



Besaran subsidi ini tergantung kantong daerah. Jakarta, misalnya, akan menanggung sendiri BLPS senilai Rp 583 ribu per ton lantaran kapasitas anggaran daerahnya yang jumbo, mencapai Rp 87,95 triliun pada 2020. Pemerintah DKI akan membangun Intermediate Treatment Facility Sunter—proyek PSEL yang digarap konsorsium perusahaan daerah PT Jakarta Propertindo dan perusahaan energi asal Finlandia, Fortum—di Jakarta Utara.

Selanjutnya, selain mendapat duit dari pemerintah daerah dalam bentuk BLPS, pengembang menjual listrik hasil pengolahan sampah tersebut kepada PLN. Skemanya feed-in tariff­, tanpa negosiasi dan eskalasi selama 25 tahun, dengan harga US$ 13,35 sen per kilowatt-jam untuk pembangkit berkapasitas di bawah 20 megawatt.

KPK menilai biaya dalam skema itu akan memberatkan pemerintah pusat dan daerah serta PLN. Jika ditotal, pemerintah di 12 daerah diperkirakan harus membayar pengembang sedikitnya Rp 2 triliun per tahun. Sedangkan PLN ditaksir mesti menggelontorkan Rp 1,6 triliun per tahun jika seluruh proyek rampung. Maka total biaya yang harus ditanggung negara lewat anggaran pemerintah dan perusahaan pelat merah tersebut selama 25 tahun ke depan mencapai Rp 90,9 triliun. “Satu-satunya yang enggak ada risiko cuma investor,” kata Pahala Nainggolan. Dia sepakat ini belum tentu kerugian negara. “Itu pemborosan.”

Dari sana, tim pencegahan juga menemukan seabrek persoalan dalam proyek PSEL, antara lain perjanjian yang tidak adil antara daerah dan pengembang. KPK mencontohkan proyek PSEL Kota Palembang, Sumatera Selatan. Dalam perjanjian kerja sama antara Kota Palembang dan PT Indo Green Power, pemenang tender, BLPS yang disepakati sebesar Rp 297 ribu per ton. Kota Palembang minimal memasok sampah sebanyak 1.000 ton per hari. Jika pasokan kurang dari itu, Kota Palembang tetap membayar dengan hitungan 1.000 ton.

Harga beli listrik yang harus ditanggung PLN juga kelewat mahal. Dengan kurs pekan lalu di kisaran Rp 16.200 per dolar Amerika Serikat, nilainya setara dengan Rp 2.174 per kilowatt-jam. Angka tersebut hampir dua kali lipat biaya pokok penyediaan pembangkitan listrik PLN periode 1 April 2019-31 Maret 2020 yang hanya Rp 1.119 per kilowatt-jam atau US$ 7,86 sen—dengan kurs saat itu.

Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 memang menyatakan pemerintah dapat memberikan kompensasi kepada PLN yang telah membeli listrik dengan harga tinggi. Namun, menurut KPK, kompensasi itu tidak langsung alias tanpa subsidi. Yudi pun membenarkan info bahwa pasal kompensasi buat PLN bukan mandatori. “Kompensasinya ‘dapat’. Bisa iya, bisa tidak,” ucap Yudi. “Kalau cash flow PLN bagus seperti sekarang, seharusnya bisa bayar sendiri.”

Sripeni Inten Cahyani mengatakan PLN sudah meneken tiga perjanjian jual-beli listrik sampah dengan tiga pemerintah provinsi dan kota, yaitu DKI Jakarta, Surakarta, dan Surabaya. Sisanya, dia melanjutkan, menunggu kesiapan pemerintah daerah serta konsorsium yang ditunjuk. “Pemda yang lain belum ada yang maju lagi,” tutur Sripeni saat dihubungi pada Jumat, 27 Maret lalu.


Menurut dia, sebagai perusahaan milik negara, PLN tetap akan membeli listrik sesuai dengan amanat peraturan presiden jika pemerintah daerah dan pengembang sudah siap. Ihwal harga beli listrik yang dianggap KPK memberatkan PLN, perusahaan menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah. “Perkara kompensasi ini sudah ada petunjuk pelaksanaannya dari Kementerian Keuangan,” ujar Sripeni. “Badan Pemeriksa Keuangan yang menentukan apakah masuk area kompensasi atau subsidi.”

Masalahnya, kompensasi yang selama ini diterima PLN kerap datang belakangan. Pada 2018, merujuk pada laporan keuangan PLN, perusahaan setrum negara itu membukukan piutang kompensasi kepada pemerintah sebesar Rp 23,1 triliun. Angka itu adalah akumulasi kompensasi dalam beberapa tahun karena pemerintah melarang PLN menaikkan tarif listrik ketika biaya pengadaan listrik tidak kunjung turun.

Sripeni menyatakan PLN tidak terlalu khawatir karena ukuran pembangkit listrik tenaga sampah relatif kecil dibanding pembangkit jenis lain. “Enggak begitu signifikan. PLN concern ikut membantu lingkungan,” katanya.

Bank Dunia dalam kajiannya pada April 2018 mencatat Asia bagian timur sebagai wilayah dengan pertumbuhan produksi sampah tertinggi di dunia. Khusus di Indonesia, produksi sampah diperkirakan meningkat 76 persen dalam sedekade ke depan.

Tanpa peningkatan kapasitas pengelolaan sampah yang memadai, masalah ini akan memicu dampak beruntun, dari masalah lingkungan dan kesehatan masyarakat hingga beban perekonomian. Namun Bank Dunia juga mencatat anggaran yang tersedia untuk pengelolaan sampah di negeri ini sekitar 2,6 persen dari total anggaran daerah. Angka ini berarti hanya berkisar US$ 5-6 per kapita per tahun, jauh dari benchmark internasional sebesar US$ 15-20 per kapita per tahun.

 

•••

SELAIN menyodorkan temuan potensi pemborosan dalam skema pengolahan sampah menjadi energi listrik, KPK rupanya menawarkan opsi alternatif. Daripada mempertahankan model pengolahan sampah lewat pembakaran (incinerator) alias pemanasan (thermal) yang uapnya bakal menggerakkan turbin penghasil listrik, pemerintah dianjurkan menempuh cara kolaborasi.

Maksudnya, investor hanya mengolah sampah menjadi pelet atau briket. Produk olahan sampah ini selanjutnya dibeli PLN untuk dicampurkan dengan batu bara di pembangkit listrik tenaga uap yang sudah ada. “Ini akan menghilangkan rente di mana-mana,” ucap Pahala Nainggolan. Untuk itu, KPK merekomendasikan pemerintah merevisi Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 dengan menetapkan standar teknologi yang sama di semua daerah.

PLN sudah mencoba ramuan ini di Pembangkit Listrik Tenaga Uap Jeranjang, Lombok, Nusa Tenggara Barat, dan PLTU Paiton, Jawa Timur. Menurut Sripeni Inten Cahyani, pada pertengahan Maret lalu, perusahaan memerintahkan 56 PLTU milik PLN menguji coba campuran itu.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kiri) saat meninjau tempat pengolahan sampah menjadi “pellet refuse derived fuel” (RDF) di Dusun Kebon Kongok, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, 8 Maret lalu./ANTARA/Ahmad Subaidi

Sripeni menambahkan, dalam pertemuan pada Senin, 9 Maret lalu, dia juga meminta Kementerian Energi serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mempertimbangkan pelet-pelet itu sebagai bagian dari energi baru dan terbarukan. “Kalau enggak diperhitungkan sebagai EBT, percuma dong dibeli PLN,” kata Sripeni.

Dia hakulyakin, bila uji coba itu berhasil, opsi ini bakal jauh lebih efisien. Biaya layanan pengolahan sampah yang dikeluarkan pemerintah daerah bakal turun. Sedangkan biaya pengadaan pembangkit PLN bakal lebih rendah lantaran tidak perlu membuat yang baru.

Betapapun Sripeni paham, opsi ini tidak menarik buat investor. Cuan-nya kecil. “Tapi kan ini mengolah sampah. Jangan niatnya mencari untung,” tuturnya.

Jauh sebelum ada opsi pelet sampah, dua pemerintah daerah, Surabaya dan Semarang, sudah mengembangkan metode gasifikasi. Konsep ini memanfaatkan metana yang terbentuk dari penguburan sampah (landfill gas/LFG). Gas itu kemudian menggerakkan turbin pembangkit. Merujuk pada data Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), sebanyak 72 proyek LFG di Negeri Abang Sam telah menghasilkan listrik.

Tapi pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 35 Tahun 2018 sudah kadung memutuskan bahwa pengolahan sampah harus bisa mengurangi volumenya dalam waktu singkat. Teknologinya juga sudah harus teruji. Makanya, menurut Yudi Prabangkara, metode pengolahan menggunakan pembakaran sampah yang diuji kelayakannya di setiap daerah.

Yudi menyebutkan berbagai opsi, termasuk mengkonversi sampah menjadi briket, untuk campuran batu bara di PLTU harus dikaji lebih lanjut. “Apakah pelet bisa memusnahkan sampah secara cepat? Jangan-jangan sampahnya masih numpuk juga?”

Padahal kajian KPK punya keraguan serupa terhadap pembangunan pembangkit tenaga sampah yang kini dijalankan pemerintah. Di DKI Jakarta, proyek terbesar dengan kapasitas listrik 35 megawatt hanya sanggup mengolah 2.200 ton sampah per hari dari total produksi sampah di area ini yang mencapai lebih dari tiga kali lipatnya.

KHAIRUL ANAM
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus