Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Jangan Semuanya Tergantung Pusat

Letnan Jenderal TNI Doni Monardo dipercaya memimpin upaya penanggulangan dampak wabah virus corona di Tanah Air. Sejak menjalani tugas barunya sebagai Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, pertengahan Maret lalu, Doni memutuskan tinggal di kantornya di Graha BNPB, Jakarta Timur. Ia kerap berkoordinasi dengan sejumlah kepala daerah yang wilayahnya terdapat kasus positif Covid-19.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo mengatakan lockdown mustahil diberlakukan di Jakarta.

  • Pemerintah mengambil kebijakan pembatasan jarak fisik (physical distancing) untuk meredam penularan virus corona.

  • Doni Monardo mengimbau rumah sakit darurat untuk pasien Covid-19 tidak hanya tersedia di Wisma Atlet, tapi juga dibangun di setiap provinsi.

BENCANA yang datang silih berganti membuat kesibukan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letnan Jenderal TNI Doni Monardo nyaris tanpa jeda. Sejak awal tahun ini, ia telah disibukkan oleh urusan penanganan banjir Jakarta dan sekitarnya; tanah longsor di daerah Sukajaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat; hingga banjir bandang yang melanda Sangihe, Sulawesi Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum tuntas betul memitigasi sederet bencana itu, Doni dihadapkan pada dampak merebaknya wabah virus corona di Kota Wuhan, Cina. BNPB ikut berperan dalam evakuasi 237 warga Indonesia dari ibu kota Provinsi Hubei itu pada Ahad, 2 Februari lalu. BNPB juga ikut andil memulangkan warga Indonesia di kapal pesiar World Dream dan Diamond Princess. “Saya terlibat dari perencanaan hingga pemulangan mereka,” kata Doni dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Kamis, 26 Maret lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keterlibatan Doni, 56 tahun, dalam penanganan dampak wabah corona berlanjut setelah Presiden Joko Widodo menunjuknya sebagai Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pada 13 Maret lalu. Penunjukan Doni tak lepas dari terus melonjaknya angka pengidap penyakit akibat infeksi virus corona sejak Jokowi mengumumkan dua kasus positif pertama di Indonesia pada Senin, 2 Maret lalu.

Sejak melakoni tugas barunya, Doni memilih bermukim di Graha BNPB, Jakarta Timur. Sofa hitam di ruang kerjanya diberi jarak dengan diselotip warna kuning agar para tamunya tidak duduk berdekatan. “Saya tiap hari ketemu dengan banyak orang. Kalau saya tidak bisa menertibkan, saya kena, kegiatan gugus tugas bisa terganggu,” ujarnya.

Kepada wartawan Tempo, Mahardika Satria Hadi, Devy Ernis, dan Raymundus Rikang, mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat itu menceritakan kesiapan pemerintah dalam menghadapi wabah corona, rencana pembangunan sejumlah rumah sakit darurat untuk pasien Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di daerah, hingga sikapnya terhadap opsi karantina wilayah.

Mengapa pemerintah memutuskan tidak menerapkan lockdown terhadap Jakarta untuk mengurangi penyebaran virus corona?

Pertanyaan itu sudah sangat sering disampaikan. Tentang status lockdown, slow down, atau apa sajalah. Saya mengatakan berulang kali, jangan perdebatkan status. Karena tiap negara punya karakteristik masing-masing. Sekarang kalau Jakarta di-lockdown, bagaimana dengan kedutaan negara-negara sahabat. Apakah mungkin pemerintah negara lain menjemput warga negaranya di Jakarta. Kemudian apakah Jakarta mampu menghidupi atau memenuhi kebutuhannya sendiri. Itu dulu yang harus dipahami.

Tapi Jakarta telah menjadi daerah episentrum wabah corona di Indonesia.

Ketika karantina wilayah atau lockdown diterapkan, sesuai dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, maka kebutuhan dasar seluruh masyarakat di wilayah itu harus dibiayai oleh pemerintah. Bukan hanya masyarakatnya, tapi termasuk hewan peliharaan. Kalau ini terjadi, alangkah habis energi kita. Pemerintah kan harus tunduk pada undang-undang. Ketika undang-undang dilaksanakan sesuai dengan persyaratan yang ada, kira-kira dampaknya seperti apa.

Lalu apa solusi terbaik yang diambil pemerintah saat ini?

Mari kita bersatu, ikuti keputusan politik negara. Pak Jokowi telah memutuskan social distancing atau diterjemahkan hari ini sebagai physical distancing (pembatasan jarak fisik). Ini merupakan rujukan terakhir dari WHO (Badan Kesehatan Dunia). Jadi apa yang dilakukan pemerintah kita tidak serta-merta tanpa mendapatkan masukan dan saran dari banyak pihak.

Apakah tanpa lockdown bisa menekan angka penyebaran virus ke daerah?

Saya kepala gugus tugas di tingkat pusat. Di tingkat daerah ada gubernur, wakil ketuanya adalah panglima komando daerah militer dan kepala kepolisian daerah. Kebijakan-kebijakan lokal, selama tidak bertentangan dengan kebijakan nasional dan tidak mempengaruhi daerah lain, enggak ada masalah. Contoh sederhana, kalau mau lockdown, belajar dulu dari RT (rukun tetangga). Jadi, RT di-lockdown, artinya RT yang sudah tertular enggak boleh ada orang yang keluar dan masuk. Segala kebutuhan RT itu dipenuhi RT-RT atau RW (rukun warga) sekitarnya. Tunjukkan kebersamaan dulu. Misalnya, mau mencoba yang lebih besar, ya tingkat kelurahan. Kelurahan lain bisa ikut memberikan bantuan. Kalau ini bisa dilakukan, enggak perlu sampai tingkat nasional.

Apa sudah ada daerah yang mampu menerapkan itu?

Ini yang harus kita berikan arahan. Kepada daerah-daerah lain yang masih steril, ya enggak apa-apa mereka menentukan kebijakan lokal. Yang penting tidak mengganggu daerah lain, tidak menimbulkan persoalan tambahan, dan tentu kebijakannya tidak keluar dari kebijakan politik nasional. Kalau daerah bisa menggerakkan instrumen yang ada, kita bisa mengurangi (penyebaran wabah). Kalau mencegah rasanya agak berat sekarang ini.

Sejauh mana pembatasan jarak fisik bisa mengurangi penyebaran wabah corona?

Inilah perlunya kerja sama seluruh komponen bangsa. Di sini kami mengedepankan kolaborasi pentahelix berbasis komunitas. Pertama, pemerintah pusat, pemerintah daerah, unsur TNI, Polri, dan instrumen negara lain. Kedua, dunia pendidikan, peneliti, periset, pakar pada bidangnya. Ketiga, dunia usaha. Keempat, komunitas itu sendiri, terutama masyarakat, ada relawan, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan organisasi kemasyarakatan. Kelima adalah media. Kalau bisa bersatu dengan narasi tunggal, yaitu ikut keputusan negara, kita akan bisa menyelesaikan ini dengan baik.

Sejumlah negara mengambil kebijakan lockdown dan ternyata cukup sukses meredam penyebaran Covid-19. Tanggapan Anda?

Sebagai ketua gugus tugas, komandan saya cuma satu. Saya tidak mau berdiskusi. Saya berfokus menjalankan keputusan politik negara. Kalaupun ada diskusi, mungkin hanya di lingkup internal kami. Tidak ada satu pun orang yang kira-kira boleh berpikir berbeda. Karena perbedaan akan membuat kita lemah. Sekarang ini sudah sama statusnya dengan perang. Panglima perangnya bilang kita maju, sementara prajuritnya ada yang belok kanan-kiri, bagaimana kita mau menghambat musuh?

Tapi keputusan pemerintah Cina menutup akses Kota Wuhan pada masa awal merebaknya wabah corona terbukti ampuh mencegah meluasnya penularan virus.

Tidak ada satu pun negara, negara maju sekalipun, yang sangat siap menghadapi hal ini. Hanya negara-negara yang memiliki rantai komando yang sangat kuatlah, yang bisa mengekang segala kehidupan masyarakat, yang lebih sukses. Kalau kita sekarang sudah mengatakan hidup dalam alam demokrasi, setiap ada kebijakan pasti ada polemik di tengah masyarakat. Sekarang kita tinggalkan sementara ego sektoral.

Sejauh mana opsi lockdown dibahas di lingkup internal gugus tugas?

Dua minggu lalu, Gubernur Jakarta Anies Baswedan kemari. Saya sampaikan, “Pak Gubernur, tolong fokus pada upaya meningkatkan pengetahuan tentang bahayanya virus ini.” Karena masyarakat masih santai, menganggap enteng lantaran enggak tahu ancamannya. Virus ini bisa menulari siapa saja. Tidak menunjukkan gejala belum tentu dia tidak terpapar. Yang rentan orang-orang yang punya penyakit bawaan dan orang berusia lanjut. Karena itu, taat pada protokol kesehatan, enggak boleh pegang mata, hidung, mulut. Kalau mau pegang harus cuci tangan dulu, pastikan tangan bersih. Kalau ini dikerjakan dengan benar, saya yakin 100 persen proses penularannya bisa dicegah.

Anies sempat mengajukan opsi lockdown?

Pak Anies tidak pernah mengajukan langkah lockdown. Beliau membuat beberapa opsi. Yang terakhir itu bukan lockdown, tapi zero mobility.

Ada kepala daerah lain yang berkomunikasi dengan Anda?

Ada beberapa gubernur yang berkonsultasi. Saya ingatkan mereka sekarang punya otoritas. Mereka bisa memanfaatkan tentara dan polisi untuk penanganan Covid-19, dari pencegahan, deteksi, investigasi, hingga penanganan pasien. Daerah juga harus bisa mengambil langkah. Jangan semuanya tergantung pusat. Gubernur sampai kepala desa kan punya anggaran. Pesantren, asrama-asrama sudah dapat diisolasi. Isolasi terbatas.

Apakah cukup dengan instruksi dari gubernur?

Cukup gubernur. Kecamatan yang masih steril, misalnya, ya sudah diisolasi mandiri atau, maaf, karantina lokal supaya dia aman dulu. Nah, kalau bisa di daerah sudah terbentuk kantong-kantong seperti ini. Jangan semua beban diserahkan ke pusat.

Banyak negara yang kehilangan tenaga medis karena minimnya persediaan alat pelindung diri (APD), termasuk di Indonesia. Bagaimana Anda mengatasi persoalan ini?

Tidak ada negara yang mampu menghadapi wabah corona dengan mudah. Amerika enggak punya (cukup) APD. Eropa juga begitu. Industri tekstil di hampir semua negara maju sudah tidak ada, dialihkan ke negara berkembang di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Kitalah yang banyak memproduksi tekstil. Masalahnya, hampir 100 persen produknya diekspor. Nah, sekarang pemerintah sudah membuat kebijakan melarang ekspor kebutuhan tertentu. Diprioritaskan untuk kebutuhan domestik. Presiden sudah memerintahkan para menteri terkait untuk berfokus meningkatkan produksi di Indonesia.

Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo (tengah) memberikan keterangan kepada media berita terkini mengenai kasus COVID-19 di Kantor Pusat BNPB, Jakarta, Sabtu (14/3/2020)./ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Apa saja yang diprioritaskan?

Alat pelindung diri, masker. Ketika kita bisa memenuhi kebutuhan nasional untuk APD, maka kelak kalau ini semua sudah beres, kita bisa membantu negara lain.

Bagaimana dengan APD yang didatangkan dari Cina beberapa waktu lalu?

Kemarin itu banyak diberitakan bahwa itu bantuan dari Cina. Padahal itu bukan Cina punya.

Ternyata APD produksi Indonesia?

Jadi itu bantuan Cina belum dikirim ke daerah. Hampir sama waktunya dengan itu, Bea Cukai mencegah ekspor APD sebanyak 205 ribu unit.

Apakah semuanya barang legal?

Legal. Ini sudah dipesan oleh negara tersebut (dari produsen APD di Indonesia) jauh hari sebelum ada peristiwa corona.

APD bagian apa saja?

Lengkap, satu set kecuali kacamata, masker, dan sarung tangan. Standar nomor satu.

Ada berapa perusahaan yang mengekspor APD?

Ada banyak. Saya enggak tahu persisnya.

Dengan kebutuhan dalam negeri yang tinggi, seperti apa instruksi pemerintah kepada perusahaan-perusahaan produsen APD lokal?

Memprioritaskan keseluruhan untuk APD, sarung tangan, masker, dan kacamata.

Bagaimana dengan kontrak yang telah disepakati dengan perusahaan rekanan mereka?

Saya enggak tahu itu aturannya. Tapi, yang unik, 100 persen APD ini bahan bakunya dari luar. Negara yang memesan itu mengirim bahan bakunya kemari, kemudian kita kembali mengekspornya ke sana. Jadi kita ini, mohon maaf, layaknya tukang jahit. Itulah persoalan yang kita hadapi.

Berapa kebutuhan APD untuk menghadapi lonjakan jumlah penderita Covid-19 di Tanah Air?

Yang penting kita produksi semaksimal mungkin apa yang bisa kita lakukan. Kita juga mendatangkan apa yang tidak kita miliki, seperti alat rapid test.

Mengapa rumah sakit rujukan Covid-19 di daerah masih ada yang kehabisan APD?

Mungkin ada, tapi jumlahnya terbatas.

Bagaimana seharusnya mekanisme pengadaannya?

Database sebenarnya ada. Setiap tahun ada pengadaan barang di Kementerian Kesehatan sampai ke rumah sakit umum daerah (RSUD). Nah, salah satu perlengkapan dan peralatan yang harus ada itu APD. Itu sudah menjadi standar operasionalnya RSUD. Sekarang tinggal dilihat saja mana RSUD yang punya, mana yang enggak. Silakan publik melakukan evaluasi.

Jadi pengadaan APD oleh tiap RSUD?

Kan, (dananya) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Bagaimana evaluasi gugus tugas terhadap kinerja Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet?

Per 26 Maret ini sudah 208 pasien yang dirawat. Sangat efektif karena rumah sakit kita sudah enggak mampu lagi. Rumah sakit yang bukan rujukan saja sudah menampung pasien Covid-19. Kami berharap model Wisma Atlet tidak hanya ada di Jakarta, tapi di semua provinsi. Karena itu, kami mengharapkan pemerintah daerah bisa memanfaatkan fasilitas pusat yang ada di daerah, seperti asrama haji ataupun balai-balai latihan kementerian. Apalagi ada unsur TNI dan Polri di daerah itu yang bisa dimanfaatkan. Cuma, jangan ambil risiko menempatkan kawasan karantina untuk pasien Covid-19 di asrama militer dan polisi.

Mengapa tidak diperbolehkan?

Kita harus memberikan perlindungan penuh kepada tentara dan polisi. Jangan sampai di antara mereka ada yang tertular, karena mereka cadangan terakhir. Ketika nanti di luar sudah kesulitan, maka tentara dan polisi baru keluar.

Benarkah penanganan pasien di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet masih semrawut?

Namanya juga masih baru. Hari pertama saja yang crowded, sekali datang sekian ratus orang. Coba bayangkan. Tapi nanti ikuti perkembangannya. Kita juga jangan melihat semuanya itu mau yang sempurna.

 


 

DONI MONARDO 

• Tempat dan tanggal lahir: Cimahi, Jawa Barat, 10 Mei 1963 • Pendidikan: Akademi Militer (1985), Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (1999), Lembaga Ketahanan Nasional (2012) • Karier: Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (2012-2014), Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat (2014-2015), Panglima Komando Daerah Militer XVI/Pattimura (2015-2017), Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi (2017-2018), Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional (2018-2019), Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (sejak Januari 2019), Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 (sejak Maret 2020)

 


 

Anda mengimbau semua daerah juga menyiapkan rumah sakit darurat Covid-19. Persiapannya seperti apa?

RSUD dan rumah sakit swasta di daerah sudah harus mempersiapkan diri. Pak Menteri Basoeki Hadimoeljono sudah mengatakan kepada saya bahwa Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat siap melakukan renovasi di semua provinsi. Presiden sudah menugasi menteri terkait untuk melakukan refocusing dan realokasi APBD serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Ada puluhan triliun dana yang sekarang diubah. Semua arahnya kepada upaya penanganan Covid-19, termasuk membantu masyarakat tidak mampu.

Berapa kenaikan jumlah penderita Covid-19 dengan pendekatan rapid test yang masif?

Kalau, misalnya, alat yang dipakai ini efektif, sangat mungkin terjadi pelonjakan. Kita enggak perlu khawatir, pelonjakan pasti akan terjadi. Yang penting jangan sampai korban yang meninggal jumlahnya besar, khususnya tenaga medis, tenaga kesehatan, dokter, perawat, dan pekerja rumah sakit, termasuk pengemudi ambulans dan mobil jenazah.

Apakah kebijakan pembatasan jarak fisik yang telah berjalan selama ini bakal dievaluasi?

Pertanyaan seperti itu, menurut saya, jangan lagi ada dalam benak kita. Ini kebutuhan yang paling dasar. Physical distancing adalah solusi yang terbaik dalam menghadapi wabah corona.

Bagaimana pemerintah menegakkan kebijakan itu sementara sebagian masyarakat di daerah kerap tak mengacuhkan anjuran untuk menjaga jarak?

Ini pentingnya kesadaran kolektif. Kalau hukuman ditegakkan 100 persen, mungkin nanti penjara penuh semua. Jadi penegakan hukum bukanlah jalan terbaik. Yang paling penting adalah bagaimana kita mengingatkan setiap individu. Setiap tokoh yang punya pengaruh di daerah harus bersuara, berteriak, menyampaikan dengan cara apa pun supaya bangsa kita bisa selamat.

Dalam beberapa kejadian, polisi sampai harus membubarkan paksa kegiatan yang melibatkan banyak orang.

Pada akhirnya bisa ada langkah hukum. Tapi, sekali lagi, kalau hukum ditegakkan bukan juga menyelesaikan masalah.

Bagaimana masyarakat menghadapi mudik Lebaran yang sebentar lagi tiba?

Imbauan saya jangan dulu. Sabar sajalah. Harus dijaga untuk tidak ke luar rumah dulu dan setiap orang yang ada di rumah pun harus selalu jaga jarak.

 

CATATAN KOREKSI:
Artikel ini diubah pada Ahad, 29 Maret 2020 untuk memperbaiki akurasinya. Dengan ini kesalahan diperbaiki. Redaksi mohon maaf.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus