Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Siasat Mengguncang Seteru Lama

Arab Saudi memanfaatkan eksekusi Syekh Nimr untuk menggoyang pengaruh Iran di kawasan. Mendompleng sentimen sektarian anti-Sunni dan anti-Syiah.

11 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BOCORAN sepucuk memo dari kepala dinas keamanan Riyadh mengungkap motif di balik eksekusi ulama Syiah, Nimr Baqr al-Nimr. Surat rahasia itu ditujukan kepada seluruh markas pasukan keamanan negara di Arab Saudi pada akhir tahun lalu. Melalui dokumen itu, Riyadh memerintahkan setiap pasukan untuk waspada.

Kepala dinas keamanan Riyadh, antara lain, memerintahkan pasukan di penjuru kerajaan konservatif itu untuk membatalkan liburan yang direncanakan mulai 31 Desember 2015. Mereka seterusnya diwajibkan menggelar latihan "tindakan pencegahan maksimal".

Maya Foa, ketua tim advokasi anti-hukuman mati dari Reprieve, mengatakan pemerintah Arab Saudi telah memprediksi bahwa eksekusi terhadap Nimr dan 46 terpidana terorisme pada 2 Desember tahun lalu akan memicu reaksi keras. "Memo itu menunjukkan betapa eksekusi massal tersebut bermuatan politik," ujarnya.

Reprieve menerima bocoran memo itu beberapa hari lalu. Lembaga pegiat hak asasi manusia ini mendapatkannya dari seorang aktivis lokal di Riyadh. "Jika Saudi ingin membuktikan diri di panggung internasional, mereka seharusnya berhenti menyiksa dan mengeksekusi para demonstran," kata Foa seperti dikutip The Independent.

Tensi hubungan Arab Saudi dan Iran memanas setelah eksekusi Nimr. Di Teheran dan Mashhad, Iran, sekelompok pengunjuk rasa sayap kanan menyerbu kantor kedutaan dan konsulat Arab Saudi. Insiden tersebut terjadi tak lama setelah Riyadh mengumumkan eksekusi terhadap 47 terpidana—termasuk Nimr—pada Sabtu pekan lalu.

Kerajaan Saudi tak kalah reaktif merespons aksi penyerangan itu. Sehari berselang, Riyadh memutuskan hubungan diplomatik dengan Teheran. "Tindakan pemerintah Saudi tidak dapat menutupi kejahatan besar yang telah mereka lakukan," ujar Presiden Iran Hassan Rouhani menanggapi pemutusan hubungan diplomatik tersebut.

Tindakan Arab Saudi mendapat dukungan dari Bahrain, Sudan, dan Kuwait. Negara-negara dengan pemerintah Sunni tersebut ramai-ramai memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran. Uni Emirat Arab lebih berhati-hati. Negara sekutu Saudi ini memilih hanya menurunkan status hubungan karena Iran merupakan mitra dagang penting bagi mereka.

Keputusan Arab Saudi mengeksekusi Nimr memang bikin geger dunia. Sebab, tindakan itu dipastikan menyulut amarah Iran—negara berpenduduk mayoritas Syiah sekaligus seteru lama Saudi. Dan, benar saja, Iran yang pertama berang. Amerika Serikat, Prancis, Jerman, hingga Rusia sampai harus menyeru agar dua kekuatan Islam di Timur Tengah itu menahan diri.

Teheran tak pernah mengira Saudi bakal memancung Nimr setelah menjatuhkan vonis mati terhadap ulama 57 tahun itu pada Oktober 2015. "Arab Saudi akan 'membayar mahal' jika berani mengeksekusi Syekh Nimr," demikian peringatan yang dilontarkan kepala angkatan bersenjata Iran kala itu.

Eksekusi Nimr menjadi titik krusial bagi hubungan Arab Saudi dan Iran. "Ini adalah pertama kalinya pemimpin agama Syiah dieksekusi dalam sejarah Arab Saudi," kata Direktur Gulf Affairs Ali Abbas al-Ahmed. Menurut Ali, Nimr bukan tokoh Syiah pertama yang dijatuhi hukuman mati. Namun eksekusi tak pernah dapat dijalankan karena para terpidana mati yang lain berada di luar negeri.

Maka seorang Nimr menjadi penting. Ulama asal Qatif di timur Arab Saudi ini dikenal sebagai tokoh oposisi dari kalangan minoritas Syiah di negara itu. Dalam komunitas Syiah di seluruh dunia, ulama sangat dihormati karena mereka adalah pemimpin masyarakat. "Warga memilih mereka sebagai pemimpin. Sebuah proses demokrasi," ujar Ali.

Qatif merupakan provinsi kaya minyak dengan penduduk mayoritas Syiah. Daerah ini terletak dekat dengan fasilitas minyak utama Arab Saudi. Sebagian besar dari 1 juta penduduk Qatif bekerja di perusahaan energi negara, Saudi Aramco. Di daerah ini, Nimr tidak hanya menjadi pemuka agama Syiah, tapi juga pemimpin oposisi.

Menurut Toby Craig Jones dari The New York Times, Arab Saudi akhirnya bertindak nekat karena berada dalam tekanan. "Anjloknya harga minyak dunia sejak musim panas 2014 telah menghancurkan keuangan Saudi," katanya. Saudi menggantungkan 90 persen penerimaan negaranya pada penjualan minyak. Akibat harga minyak terjun bebas, defisit anggaran kerajaan tahun lalu membengkak.

Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan tahun lalu bahwa Saudi membutuhkan harga minyak dunia di kisaran US$ 106 per barel. Namun, sampai Rabu pekan lalu, harga minyak merosot hingga di bawah US$ 35 per barel. "Harga belum akan pulih dalam waktu dekat," demikian dituliskan The Independent. Apalagi Iran berencana mendongkrak produksi minyaknya hingga 1,5 juta barel per hari pada tahun ini.

Arab Saudi bertambah tekor akibat perang yang berkepanjangan di Yaman. Di negara tetangganya itu, militer Saudi gagal total karena secara tidak langsung harus berhadapan dengan Iran. Saudi memimpin koalisi militer negara-negara Sunni untuk mendukung Presiden Abdu Rabbu Mansour Hadi. Sedangkan Iran membeking pemberontak Syiah Houthi yang ingin menggulingkan presiden boneka Saudi tersebut.

Faktor pendorong lain adalah makin mesranya hubungan Iran-Amerika setelah kesepakatan nuklir. Situasi ini membuat Riyadh makin ketar-ketir. Posisi Arab Saudi dalam peta politik di Timur Tengah kian terancam oleh Iran. Negeri para mullah itu akhirnya bisa bernapas lega setelah sanksi atas program nuklir mereka dicabut. "Rakyat kami akan merasakan damai dan membuka keran ekonomi kepada dunia," kata Presiden Hassan Rouhani dalam pidatonya, Desember tahun lalu.

Iran semakin diperhitungkan setelah negara itu sukses menjalani perannya sebagai salah satu pihak yang ikut dalam mempersiapkan transisi politik damai di Suriah. Dalam perang saudara di negara itu, Iran dan Arab Saudi kembali berbeda kubu. Iran bersama Rusia membela pemerintah Syiah Presiden Bashar al-Assad. Adapun Saudi dan koalisi Amerikanya mendukung kelompok pemberontak dan kubu oposisi.

Konflik di Suriah tidak semata urusan pro-Assad atau pro-oposisi. Di dalamnya ada isu terorisme, yang digawangi oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kelompok ekstremis Sunni ini menjadi musuh bersama bagi koalisi Amerika Serikat ataupun Rusia. Tidak mau ketinggalan, Arab Saudi membentuk koalisi anti-terorisme beranggotakan 34 negara muslim. Saudi tidak mengajak tiga negara Syiah, yaitu Iran, Irak, dan Suriah.

Di mata Iran, eksekusi Nimr murni politis. Tindakan Arab Saudi itu tak berkaitan dengan sentimen anti-Sunni dan anti-Syiah. Namun Riyadh dengan cerdik memanfaatkannya untuk memicu krisis diplomatik. "Mereka telah memprediksi aksi berlebihan kami. Dan kini mereka menggunakannya untuk melawan kami dan mencoba sekali lagi mengisolasi Iran," ujar Fazel Meybodi, ulama dari kota suci Qom, salah satu pusat teologi Syiah di Iran.

Dakwaan terhadap Nimr memang sumir sejak semula. Sejak ditahan pada 2012, ia telah menjalani proses peradilan yang cacat. Ia dihukum dengan tudingan menghasut, melawan penguasa, dan memprovokasi massa. Nimr mengakui bahwa ia menentang rezim monarki Arab Saudi. Namun dia berkali-kali menegaskan tidak pernah mengangkat senjata ataupun menyerukan kekerasan.

Namun elite penguasa Arab Saudi berkeras mengeksekusi Nimr. "Raja Salman (Salman bin Abdulaziz al-Saud—red), yang naik takhta tahun lalu, meneken dekrit kerajaan yang memungkinkan eksekusi tetap berlangsung karena desakan masyarakat," kata seorang pejabat di lingkar kerajaan, seperti dikutip The Guardian. Padahal Abdullah, raja pendahulu yang lebih moderat, belum siap mengambil keputusan tersebut.

Entah seperti apa nasib Arab Saudi setelah menjadikan Nimr sebagai tumbal. Namun Iran sejak awal telah mengecam dan bahkan mengancam elite kerajaan itu atas keputusan ini. "Para politikus Saudi akan menghadapi pembalasan Ilahi atas darah yang tertumpah dari martir yang tertindas," ujar pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Ali Khamenei, yang menggambarkan eksekusi Nimr sebagai "kesalahan politik".

Mahardika Satria Hadi (The Independent, The Guardian, Ny Times, Irna)


Imam Kaum Tertindas

Nama Nimr Baqr al-Nimr tak banyak dikenal beberapa bulan lalu. Namun semua berubah tatkala pemerintah Arab Saudi mengeksekusi Nimr pada Sabtu dua pekan lalu. Namanya mendadak diperbincangkan di penjuru dunia.

Kerajaan Saudi dan komunitas Syiah di negara itu memandang Nimr dengan kacamata yang sangat berbeda. Bagi kaum Syiah, Nimr adalah pemimpin umat dan pemuka agama. Ia panutan. Tapi, bagi Kerajaan Saudi, Nimr tak ubahnya duri dalam daging.

Penindasan demi penindasan telah menimpa garis keluarga Nimr. Ulama 57 tahun ini bukan orang pertama dalam trah ulama di familinya yang ditekan pemerintah Sunni-Wahabi Kerajaan Saudi. "Kakeknya juga seorang ulama yang berani menghadapi penindasan Saudi sekitar 60 tahun silam," kata Ali Abbas al-Ahmed.

Ali, 50 tahun, telah mengenal Nimr sejak tiga dasawarsa lalu. "Syekh Nimr adalah sahabat saya. Saya pernah bertemu dengannya, ayahnya, keluarganya, dan pernah mengunjungi rumah mereka," ujar pendiri dan direktur lembaga kajian Institute for Gulf Affairs ini. "Saya mengenal dia dengan baik."

Nimr sejak awal menjadi bagian dari kaum minoritas. Ia terlahir di Desa Al-Awamiyah di wilayah Qatif, bagian timur Arab Saudi—salah satu kantong populasi Syiah dan kawasan paling miskin di Saudi. Turun-temurun keluarganya menjadi pengikut Ahlul Bait yang tumbuh besar di daerah basis kubu oposisi itu.

Pada 1979, setamat dari sekolah menengah, Nimr merantau ke Iran untuk mendalami Syiah. Pada tahun itu pula pecah Revolusi Iran. Rezim Shah Reza Pahlavi, yang sekuler, digulingkan kepemimpinan teokrasi Islam Syiah di bawah Ayatullah Ruhollah Khomeini.

Revolusi Iran memicu ketegangan hubungan antara negeri para mullah itu dan Saudi. Ketegangan sektarian antara Sunni dan Syiah meningkat di Saudi. Kerajaan semakin keras menindas 31 juta warga Syiah, sekitar 20 persen dari populasi Saudi. "Ratusan warga Syiah telah dipenjara, diasingkan, dan dieksekusi," demikian diberitakan The Atlantic.

Nimr merasakan penindasan itu setibanya dari Iran dan Suriah pada 1994. Ia kerap diinterogasi intelijen Kerajaan akibat sering menyerukan kebebasan beragama, hingga akhirnya ia ditahan pada 2003. "Nimr dituduh memimpin doa bersama di kampung halamannya, tempat ia telah menjadi seorang imam," demikian menurut The Guardian. Seketika itu juga hubungannya dengan Kerajaan Saudi memburuk.

Nimr telah masuk radar Amerika Serikat sejak 2008. Menurut kawat diplomatik Amerika yang dibocorkan WikiLeaks, Nimr bertemu dengan diplomat Amerika di Riyadh. "Nimr berusaha menjauhkan diri dari citra sebagai milisi pro-Iran—gambaran yang disematkan oleh otoritas Saudi," demikian bunyi kawat diplomatik itu.

Kiprah Nimr sebagai tokoh oposisi nasional menyeruak pada Februari 2009. Saat itu, ia menyerukan wilayah Qatif dan Al-Ahsa dipisahkan dari Saudi. Menurut dia, dua wilayah berpenduduk mayoritas Syiah itu sebaiknya bersatu dengan negara tetangga, Bahrain, yang sebagian besar rakyatnya menganut Syiah. Pidato ini langsung menyulut amarah Saudi.

Seakan-akan tak kapok, Nimr kembali mengkritik Kerajaan. Saat musim semi Arab menjalar pada medio 2012, unjuk rasa anti-pemerintah merebak di mana-mana, terutama di timur Saudi. Dalam salah satu aksi, Nimr mendesak agar kekuasaan Al-Saud diakhiri dan ia mendorong kesetaraan bagi komunitas Syiah.

Pidato Nimr memancing gelombang protes, terutama dari kalangan anak muda. Berang, pemerintah Saudi kembali menahan Nimr. "Ia dituduh mengabaikan penguasa serta mendorong, memimpin, dan berpartisipasi dalam demonstrasi," demikian diberitakan The Telegraph. Pasukan keamanan menembak paha Nimr dalam aksi penangkapannya.

Di dalam tahanan, Nimr kehilangan istrinya, Muna Jabir al-Shariyavi, yang meninggal di rumah sakit di New York, Amerika. Keadaan itu mengundang simpati luas dari masyarakat. Dukungan terus mengalir saat ulama karismatis bertubuh ceking ini divonis mati pada Oktober 2014, hingga akhirnya ia dieksekusi.

Bagi Saudi, Nimr hanyalah seorang pembangkang dan provokator. Bagi Amerika, ia dianggap sebagai pemain politik lapis kedua di provinsi timur. Namun, di mata Ali, Nimr merupakan sosok pejuang demokrasi dan pembela hak asasi manusia. "Ia mewarisi semangat dan tekad untuk menolak penindasan," ujarnya.

Nimr, dalam wawancara dengan BBC pada 2011, mengatakan percaya terhadap kekuatan kata-kata untuk melawan rezim yang otoriter dan tiran. "Gunakan kata dan bukan senjata," ujarnya. "Kata lebih kuat daripada peluru, karena penguasa hanya akan menuai keuntungan dari pertempuran bersenjata."

Mahardika Satria Hadi (The Guardian, Telegraph, Foreign Policy, Atlantic)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus