Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sudah satu pekan berlalu semenjak kerusuhan di Prancis akibat insiden penembakan remaja hingga tewas oleh aparat kepolisian. Pada Minggu dini hari waktu setempat, 2 Juli 2023, pengunjuk rasa menargetkan rumah wali kota dengan sebuah mobil yang terbakar. Namun, kekacauan yang disebabkan oleh anak-anak muda itu secara keseluruhan tampak berkurang daripada malam-malam sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Dalam Negeri Prancis kemudian menyatakan per 2 Juli bahwa 719 orang telah ditangkap, 45 petugas polisi terluka, 577 kendaraan dan 74 bangunan dibakar, serta tercatat 871 kebakaran di jalan umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rangkaian krisis tersebut menimbulkan tantangan baru bagi kabinet Presiden Emmanuel Macron. Ketidakpuasan yang mendalam ikut terungkap jelas di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah atas diskriminasi dan kurangnya kesempatan.
Menurut seorang pekerja transportasi dari Clichy bernama Samba Seck, peristiwa penembakan Nahel Merzouk seakan menjadi pemantik yang mengobarkan api amarah. Anak-anak muda yang putus asa sudah lama menunggu momen itu. Mereka kekurangan tempat tinggal dan pekerjaan. Kalaupun memiliki pekerjaan, upahnya terlalu rendah.
“Kita seharusnya merasa aman bersama polisi, bukan justru takut kepada mereka,” ungkap seorang pengunjuk rasa lainnya yang dilansir dari cbsnews.com.
Mayoritas dari mereka adalah remaja yang tergerak untuk protes ke jalanan karena korban penembakan juga merupakan seorang anak muda. Nahel (17) langsung diidentifikasi secara publik hanya dengan nama depannya, memicu kemarahan yang membara hingga ke pusat Kota Paris.
Ibu Nahel mengungkap kemarahannya secara khusus kepada polisi yang menembak putranya, bukan aparat kepolisian secara umum. “Ia (polisi yang menembak Nahel) melihat anak muda bertampang Arab dan ingin mengambil nyawanya,” ujar sang ibu. Keluarga Nahel sendiri adalah keturunan Aljazair.
Kronologi Kericuhan
Sabtu lalu, komunitas Muslim di Nanterre telah mengadakan upacara peringatan kematian Nahel. Kerumunan kecil juga berkumpul di Champs-Elysees saat malam tiba untuk memprotes tindakan sewenang-wenang polisi, tetapi diadang ratusan petugas yang menggunakan pentungan dan perisai. Di utara Paris, pengunjuk rasa menyalakan petasan pada barikade, sementara polisi membalasnya dengan gas air mata dan granat kejut.
Sebuah mobil yang terbakar menabrak rumah Wali Kota l’Hay-les-Roses, Vincent Jeanbrun, di pinggiran Paris. Serangan pribadi seperti itu sejatinya tak lazim dibanding aksi vandalisme lain yang menyasar sekolah-sekolah, kantor polisi, balai kota, serta toko penduduk.
Jeanbrun lalu menyatakan bahwa istri dan salah satu anaknya terluka dalam peristiwa pukul 01.30 pagi tersebut ketika seisi rumah sedang tidur, sementara ia sendiri berada di balai kota untuk memantau kerusuhan. Sang istri menderita patah tulang kering yang cukup serius, sedangkan kondisi anak-anak mereka yang berusia 5 dan 7 tahun belum diketahui.
Selaku bagian dari oposisi konservatif Partai Republik, Jeanbrun menyebut serangan terhadapnya sebagai “horor dan aib” dan mendesak pemerintah untuk segera memberlakukan keadaan darurat. Kekerasan menjadi makin tak terkendali sehingga nenek Nahel memohon massa untuk tenang sekaligus menuduh sejumlah oknum pengunjuk rasa telah menggunakan kematian cucunya sebagai dalih.
Seorang jaksa daerah, Stephane Hardouin, lantas membuka kasus atas percobaan pembunuhan dalam serangan terhadap keluarga Jeanbrun. Penyelidikan awal mengungkap bahwa mobil sengaja menabrak rumah sang wali kota, kemudian dibakar menggunakan cairan akselerator api yang ditemukan di dalamnya.
Posisi Diplomatik Macron
Kerusuhan juga meletus di kota mediterania Marseille, tetapi tak sehebat malam-malam sebelumnya. Menteri Dalam Negeri Gerald Darmanin menyebut kontingen polisi telah diperkuat untuk menangkap 55 orang di sana sebagai bentuk tindakan tegas pasukan keamanan.
Pengerahan polisi massal disambut baik oleh segelintir penduduk yang ketakutan serta para pemilik toko yang tokonya telah dijarah. Namun, hal tersebut justru membuat frustrasi mereka yang melihat perilaku polisi sebagai inti dari krisis Prancis saat ini.
Kerusuhan turut berdampak pada posisi diplomatik Macron. Ia menunda kunjungan kenegaraan pertama ke Jerman oleh seorang Presiden Prancis dalam 23 tahun terakhir yang seharusnya berlangsung pada Minggu, 2 Juli.
CBSNEWS | NIA HEPPY | SYAHDI MUHARRAM (CW)
Pilihan Editor: Vietnam Larang Film 'Barbie' karena Peta Laut China Selatan