Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR mengesahkan revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Surat bocor soal cacat prosedur.
Isi pasal sarat kepentingan perusahaan tambang.
KARANGAN bunga dukacita berjajar di depan gerbang utama gedung Dewan Perwakilan Rakyat, Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Selasa, 12 Mei lalu. Pengirimnya beragam, dari civitas academica yang tergabung dalam kelompok “Mahasiswa Bersama Rakyat” hingga himpunan pegiat kelautan dan perikanan dengan nama “Masyarakat Bahari/Kiara”.
Siang itu, Dewan sedang menggelar sidang paripurna. Beberapa hari sebelumnya santer terdengar bahwa rapat itu akan mengesahkan hasil pembahasan kilat revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Sore itu, menjelang waktu buka puasa, ketukan palu Ketua DPR Puan Maharani yang memimpin sidang mengkonfirmasi kabar tersebut. “Delapan fraksi setuju, satu fraksi menolak, apakah ada perubahan? Apa itu dapat disetujui pandangan mini fraksi dapat menjadi dasar persetujuan? Setuju, ya?” kata Puan, disambut kompak puluhan anggota DPR yang hadir.
Dalam sidang itu tercatat 296 anggota parlemen hadir, sebanyak 255 orang di antaranya secara virtual. Dalam pandangan mini fraksi, hanya Fraksi Partai Demokrat yang menolak pengesahan dengan alasan perlunya pembahasan yang lebih mendalam terhadap Rancangan Undang-Undang Minerba.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani (kanan) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 12 Mei 2020. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar sidang, penolakan disuarakan sejumlah pegiat lingkungan dan prodemokrasi. Sejak kembali dibahas pada 13 Februari lalu—ditandai dengan pembentukan panitia kerja pembahasan daftar inventarisasi masalah—proses RUU ini dianggap tak transparan. Di masa pandemi Covid-19, pembicaraan antara panitia kerja dan wakil pemerintah dilakukan secara virtual. “Pembahasannya meniadakan partisipasi publik dan keterbukaan informasi,” ucap anggota Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Dwi Sawung.
RUU Minerba merupakan satu di antara sejumlah rancangan undang-undang yang menuai penolakan dalam aksi massa September 2019. Kala itu, gelombang demonstrasi bertajuk #ReformasiDikorupsi pecah di sejumlah daerah setelah pemerintah dan DPR mengebut pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang dianggap melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Adapun RUU Minerba punya sejarah sendiri. Sejak awal, banyak kalangan menilai perubahan undang-undang itu hanya sebagai jalan mengistimewakan segelintir raksasa tambang batu bara yang mengantongi perjanjian karya pengusahaan batu bara (PKP2B). Pasalnya, sejumlah isi RUU ini memuat niat rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang hendak mengecualikan kontraktor PKP2B dari sejumlah kewajiban yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
RPP yang disiapkan di era Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan itu urung diterbitkan setelah KPK mengirim surat kepada Presiden Joko Widodo pada akhir Mei 2019 tentang draf RPP yang bertentangan dengan undang-undang. Namun, belakangan, menjelang berakhirnya pemerintahan 2014-2019, pemerintah dan DPR justru menjadwalkan pembahasan revisi undang-undang. Di tengah ramainya penolakan publik, Jokowi pun memutuskan menunda pembahasan tersebut pada akhir September 2019.
Namun kejutan berlanjut pada Januari lalu. Pemerintahan baru kembali menyiapkan pembahasan revisi Undang-Undang Minerba yang ditandai dengan masuknya rancangan wet ini dalam Program Legislasi Nasional 2020. Keputusan DPR pada awal tahun tersebut belakangan dianggap menjadi salah satu bukti bahwa pembahasan revisi undang-undang ini bermasalah.
Kini sejumlah kelompok masyarakat sipil dan pemerhati industri pertambangan berencana menggunakannya sebagai salah satu dalil untuk menggugat Undang-Undang Minerba yang baru. “Sebagai warga yang taat hukum, kami akan menempuh jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi,” tutur Simon Sembiring, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 2003-2008.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
•••
Surat Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat kepada pimpinan DPR dan Badan Legislasi DPR terkait dengan Rancangan Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Januari 2020.
SURAT yang diteken Ketua Komisi VII DPR Sugeng Suparwoto kepada pimpinan DPR bocor belakangan. Dalam surat tertanggal 20 Januari 2020 itu, Sugeng menyatakan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan, rencana perubahan Undang-Undang Minerba tidak dapat dilaksanakan sebagai pembahasan lanjutan (carry over) oleh DPR periode saat ini. Sebab, DPR periode 2014-2019 belum pernah membahas daftar inventarisasi masalah RUU tersebut.
Komisi VII DPR dalam surat tersebut juga menyatakan perlu mengkaji, menyesuaikan substansi, bahkan menyusun ulang RUU Minerba. Pasalnya, di saat yang sama, pemerintah mengajukan omnibus law RUU Cipta Kerja yang juga mengatur perizinan dan pengelolaan tambang.
Itu sebabnya alat kelengkapan Dewan yang membidangi energi dan pertambangan tersebut meminta Badan Legislasi tak memasukkannya ke program legislasi nasional atau prolegnas carry over. Namun, dua hari berselang, surat ini seperti tiada guna. Sidang paripurna DPR pada 22 Januari 2020 memutuskan RUU Minerba masuk daftar Prolegnas 2020.
Surat dari Komisi VII DPR kepada Pimpinan DPR dan Badan Legislasi DPR RI terkait RUU Minerba, Januari 2020.
Dimintai konfirmasi mengenai surat tersebut, Wakil Ketua Komisi VII Bambang Wuryanto enggan berkomentar banyak. “Sebagai pimpinan, saya merasa tidak pernah menerbitkannya. Silakan tanya Ketua Komisi,” ujar Bambang, Selasa, 12 Mei lalu. Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini menegaskan bahwa persoalan tersebut telah dikonsultasikan ke Badan Legislasi (Baleg). “Kalau ada kesalahan prosedur, ke MK saja.”
Adapun Sugeng mengatakan pimpinan DPR telah merespons surat itu dengan menggelar rapat Badan Musyawarah. Semua pimpinan DPR dan alat kelengkapan Dewan lainnya hadir dalam pertemuan yang digelar sehari sebelum penetapan Prolegnas 2020 tersebut.
Dalam persamuhan itu, Sugeng mengaku telah menyampaikan kekhawatirannya bahwa carry over RUU Minerba akan menghilangkan hak konstitusi anggota Dewan yang baru. Sebab, daftar inventarisasi masalah (DIM) disusun oleh Komisi VII periode sebelumnya. “Tapi Ketua Baleg mengatakan carry over ini karena syarat atau kelengkapan administratif dan bahan substantif (berupa surat presiden dan DIM) telah tersedia,” ucap Sugeng, Jumat, 15 Mei lalu. Dengan begitu, menurut dia, “Surat pimpinan Komisi VII telah mendapat penjelasan dan dinyatakan selesai.”
Menjadi Prolegnas 2020, RUU Minerba mulai dibahas kencang. Pada akhir Januari itu pula Komisi VII membentuk Panitia Kerja RUU Minerba yang melibatkan 26 anggota Komisi dan 60 orang perwakilan beberapa kementerian. Berbagai rapat bertajuk focus group discussion digelar hingga kemudian panitia kerja mulai membahas DIM pada medio Februari.
Sampai akhir Maret lalu, panitia telah rampung membahas 938 poin dalam DIM dan siap membawanya ke rapat tingkat I. Semula, rapat pleno Komisi VII untuk membuat keputusan tersebut dijadwalkan pada 8 April lalu. Namun kala itu Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif meminta penundaan lantaran pemerintah sedang berfokus dalam penanganan penyebaran Covid-19.
Di tengah pembahasan inilah Fraksi Partai Demokrat akhirnya menarik diri. Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Teuku Riefky Harsya mengatakan fraksinya mundur dari keanggotaan tiga panitia kerja sekaligus, yakni RUU Cipta Kerja, RUU Minerba, dan RUU Haluan Ideologi Pancasila. Keputusan itu didasari berbagai pertimbangan, termasuk banyaknya aspirasi publik yang diterima partai, terutama soal pembahasan RUU di tengah pandemi. “Hal ini penting agar keterlibatan publik layaknya pembahasan sebuah RUU tetap terwakili sehingga proses checks and balances tetap terjaga,” tuturnya, 22 April lalu.
Alasan sama disampaikan Fraksi Partai Demokrat dalam rapat tingkat pertama Komisi VII yang akhirnya digelar pada Senin, 11 Mei lalu. Dalam pandangan fraksi yang dibacakan Sartono Hutomo, Demokrat menyatakan tidak ingin proses penanganan Covid-19 terhambat karena para birokrat di kementerian disibukkan oleh rapat-rapat pembahasan RUU yang sebetulnya masih bisa ditunda.
Aryanto Nugroho, peneliti Publish What You Pay Indonesia, menilai surat Komisi VII pada awal Januari yang terungkap belakangan menguatkan dugaan bahwa pembahasan RUU ini sejak awal bermasalah. “Kenapa tiba-tiba dalam paripurna 22 Januari lalu RUU Minerba justru langsung masuk Prolegnas 2020?” kata Aryanto, curiga.
•••
Area tambang batu bara milik PT Adaro Indonesia di Tabalong, Kalimantan Selatan, Oktober 2017. ANTARA/Prasetyo Utomo
DI luar soal formalitas pembahasan yang dianggap janggal, sederet pasal dalam revisi Undang-Undang Minerba yang disahkan DPR pada 12 Mei lalu juga memantik reaksi miring banyak kalangan. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Sonny Keraf, yang dulu menjabat Ketua Panitia Kerja Perumusan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, menyatakan amat prihatin atas undang-undang anyar itu. Sebab, sejumlah ketentuan dalam undang-undang lama yang dianggap baik dan relevan justru tidak dipertahankan.
Dia mencontohkan ketentuan tentang penghiliran produk pertambangan. Menurut Sonny, kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral seharusnya dilakukan sampai menjadi produk akhir. “Tidak hanya 75 persen, tidak maksimal jadinya,” ujarnya, Jumat, 15 Mei lalu.
Sonny juga menyoroti pembatasan luas lahan dan masa konsesi. Dalam undang-undang lama, aturan ini dibuat supaya tidak terjadi monopoli atau oligarki. Kebijakan pembatasan akan membuka peluang bagi banyak pelaku usaha. Itu sebabnya dia menampik jika wet lama dianggap tak mempertimbangkan kepentingan investasi. Batas luas konsesi eksplorasi dan produksi tambang telah dipastikan ekonomis. “Saya paham roh dan mimpi besar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009,” katanya.
Dalam Undang-Undang Minerba lama, luas izin usaha pertambangan khusus (IUPK) untuk eksplorasi mineral logam dibatasi 100 ribu hektare. Ketika memasuki masa produksi, lahan diciutkan hingga paling besar 25 ribu hektare. Pembatasan juga diberlakukan pada tambang batu bara, yakni 50 ribu hektare untuk usaha eksplorasi dan 15 ribu hektare buat operasi produksi.
Undang-undang baru mengubah ketentuan dalam pasal 83 tersebut. Batas untuk kegiatan eksplorasi tetap. Namun tak ada lagi batas operasi produksi. Luas izinnya akan ditentukan dari hasil evaluasi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral terhadap rencana pengembangan yang diusulkan pemegang izin. Skema ini serupa dengan RPP Minerba yang diusung Kementerian Energi pada kabinet periode lalu.
Tak pelak, sejumlah kalangan meyakini perubahan ini hanya menguntungkan pemegang PKP2B, terutama yang masa kontraknya akan habis dan perlu memperpanjang izin. Dengan undang-undang baru, perusahaan tambang yang masing-masing menguasai lahan hingga puluhan ribu hektare tersebut tak harus menciutkan konsesinya seperti dalam peraturan lama.
Sedikitnya tujuh perusahaan pemegang PKP2B generasi I akan habis masa kontraknya dalam lima tahun ke depan. Kontrak PT Arutmin Indonesia, yang menguasai wilayah kerja seluas 57.107 hektare, habis pada 1 November 2020. Kontrak PT Kendilo Coal Indonesia dengan luas lahan paling kecil, yakni 1.869 hektare, selesai pada 13 September 2021.
Menyusul kontrak PT Kaltim Prima Coal dengan luas lahan 84.938 hektare, yang berakhir pada 31 Desember 2021. Sisanya adalah kontrak PT Multi Harapan Utama (39.972 hektare) pada 1 April 2022, PT Adaro Indonesia (31 hektare) pada 1 Oktober 2022, PT Kideco Jaya Agung (47.500 hektare) pada 13 Maret 2023, dan PT Berau Coal (108.009 hektare) pada 26 April 2025.
Simon Sembiring juga kecewa lantaran Undang-Undang Minerba yang baru menyamaratakan tiga jenis PKP2B, yakni generasi I, II, dan III. “Padahal ketiganya berbeda,” tutur Simon, Rabu, 13 Mei lalu.
Dia menjelaskan, setiap perjanjian itu memiliki dasar yang berbeda. PKP2B generasi I mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1981, yakni perjanjian kerja sama dilakukan antara perusahaan negara tambang batu bara dan kontraktor swasta. Berdasarkan pasal 5 kepres tersebut, barang dan aset dalam usaha pertambangan batu bara kontraktor nantinya menjadi milik perusahaan negara tambang batu bara. Dalam perubahan perjanjian, peran perusahaan negara diambil alih pemerintah. “Artinya, barang dan aset harus kembali kepada negara dulu setelah kontrak berakhir,” ucap Simon.
Selanjutnya, bila ada yang ingin mengusahakannya, baik baru maupun yang hendak memperpanjang kontrak, korporasi harus mengajukan permohonan dan memberikan kompensasi kepada negara atas aset yang akan digunakan tersebut. “Amat clear itu di kontrak,” ujar wakil pemerintah dalam pembahasan RUU Minerba pada 2005-2009 tersebut.
Artinya, menurut dia, diperlukan penilaian terhadap aset-aset seusai operasi tambang. Pemerintah bisa meminta penilai independen menghitungnya. Hasil penilaian menjadi acuan bagi korporasi yang akan mengusahakannya selanjutnya. “Pertanyaannya, sudah dilakukan penilaian belum?” ucap Simon.
Syarat-syarat itu berbeda dengan PKP2B generasi II, yang mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 1993, serta PKP2B generasi III, yang merujuk pada Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996. Dalam kedua perjanjian tersebut, barang dan aset menjadi milik perusahaan atau kontraktor setelah perjanjian berakhir.
Undang-undang baru memang memberikan garansi perpanjangan konsesi. Dalam pasal 169A disebutkan bahwa kontrak karya dan PKP2B diberi jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi. Kontrak yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapat dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK, masing-masing selama sepuluh tahun.
Simon menyayangkan pemberian jaminan oleh pemerintah tersebut. “Ini namanya menggadaikan kedaulatan negara,” ujarnya. Menurut dia, pada dasarnya kontrak dan perjanjian bisa diperpanjang dengan cara mengajukan permohonan kepada pemerintah. Selanjutnya, pemerintah melakukan evaluasi yang berujung pada persetujuan atau penolakan. Dalam proses evaluasi itu, ada peluang bernegosiasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Sedangkan ini memberi jaminan, kuasa Menteri Energi terlalu luas.”
Dewan Perwakilan Daerah juga mempersoalkan garansi perpanjangan konsesi. Dalam rapat bersama panitia kerja Komisi VII DPR, 27 April lalu, Wakil Ketua Komite II DPD Bustami Zainudin mengatakan DPD tak sepakat dengan sejumlah pasal, terutama tentang kemudahan perpanjangan kontrak secara otomatis. “Jika kontrak habis, lahan pasca-tambang harus dikembalikan kepada negara, dan setelahnya harus dilakukan lelang,” kata Bustami membacakan masukan dari Komite II DPD, yang membidangi sumber daya alam.
Anggota staf khusus Menteri Energi, Irwandy Arif, meyakinkan bahwa perpanjangan kontrak dan perjanjian tidak akan berlaku otomatis, melainkan harus memenuhi persyaratan dan melalui evaluasi pemerintah. “Ada syarat meningkatkan penerimaan negara dan nilai tambah,” ucapnya. Begitu juga luas wilayah kerja, kata dia, yang ditentukan berdasarkan persetujuan Menteri Energi.
Kontraktor PKP2B jelas bernapas lega dengan terbitnya undang-undang ini. General Manager Legal and External Affairs PT Arutmin Indonesia Ezra Sibarani menyatakan pengesahan revisi Undang-Undang Minerba mengkonfirmasi hak perpanjangan PKP2B. “Pengesahan ini memberikan kepastian investasi tidak hanya di operasi pertambangan secara langsung, tapi juga pemanfaatan dan peningkatan nilai tambah,” tuturnya kepada Tempo, Rabu, 13 Mei lalu. Arutmin mengajukan permohonan perpanjangan sejak akhir tahun lalu. Kini permohonan tersebut masih dalam evaluasi Kementerian Energi.
Presiden Direktur PT Adaro Energy Tbk Garibaldi Thohir mengatakan Undang-Undang Minerba berubah atau tidak, perusahaannya berhak meminta perpanjangan. Rencananya, pada awal 2021 Adaro mengajukan permohonan perpanjangan kontrak yang akan berakhir pada 2022. “Kami punya perjanjian yang berkekuatan hukum mengikat,” ujar kakak Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir ini.
RETNO SULISTYOWATI, CAESAR AKBAR, VINDRY FLORENTIN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo