Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Mengapa si bersih mundur?

PM Hosokawa, tokoh reformasi, berjuang membersihkan skandal suap dan menghancurkan segi tiga besi pengusaha, birokrat, dan politisi. ia mundur karena tuduhan skandal uang pula.

16 April 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIA dikenal sebagai pejuang reformasi Jepang. Ia juga disebut "Si Bersih". Tapi, Jumat pekan lalu, anak samurai ini terpaksa mengundurkan diri sebagai perdana menteri. Itulah Morihiro Hosokawa, yang baru delapan bulan memimpin Jepang. Dalam konferensi pers Jumat pekan lalu, Hosokawa mengumumkan pengunduran diri itu dan menyatakan bertanggung jawab atas pengelolaan dana pribadinya oleh seorang rekannya sekitar 1981, yang menjadi "sandungan politik" rakyat Jepang. "Sebagai pimpinan pembaru, saya bertanggung jawab," katanya. Pengumuman ini tentu membuat kaget rakyat Jepang dan dunia. Beberapa pemimpin dunia, termasuk Presiden Amerika Serikat Bill Clinton, menyesalkan pengunduran diri Hosokawa itu. Memang patut disayangkan, Morihiro Hosokawa yang dikenal sebagai "Si Bersih" itu ternyata menyimpan cacat lama. Dan itu diungkapkannya sendiri pada saat ia mengumumkan pengunduran dirinya. Sepuluh tahun lalu, menurut koran Asahi Shimbun, kantor Hosokawa diduga mendepositokan sekitar 60 juta yen -- sebagian dari hasil warisan neneknya senilai 180 juta yen -- kepada seorang teman akrabnya. Oleh teman dekatnya, dana itu diputar ke pasar gelap. Ini dinilai melanggar peraturan keuangan Jepang, seperti undang-undang penanaman modal, usaha kredit, atau peraturan pembatasan suku bunga. Untuk itulah, Hosokawa sendiri yang mengungkapkan kasusnya, sekaligus sebagai alasan pengunduran dirinya. Tapi, oleh sementara pihak, pengumuman ini dianggap tak lazim, mengingat kasus itu berlangsung pada 1981. Suara-suara sumbang mulai terdengar. "Jangan-jangan kasus ini diungkapkan Hosokawa untuk menyembunyikan skandal yang lebih besar," kata Takashi Tachibana, pengamat politik ternama yang pernah membongkar skandal Lockheed, Sabtu pekan lalu. Entah benar atau tidak, yang jelas, selain kasus pengelolaan dana pribadi tadi, ada kasus lain lagi. Menurut Shukan Shincho, majalah mingguan terkemuka di Jepang, Hosokawa diberi dana politik sebesar 3,2 miliar yen pada kurun waktu 1985--1989 oleh Kiyoshi Sagawa, komisaris perusahaan angkutan Sagawa Kyubin. Yang tak kalah ramai adalah kasus yang ditiupkan kelompok oposisi sejak Oktober tahun lalu. Yakni tuduhan menggelapkan puluhan juta yen, dari Sagawa Kyubin, pada 1982. Padahal, perusahaan angkutan ini diketahui terlibat skandal suap yang menumbangkan dominasi politik Partai Demokrasi Liberal (LDP) selama 38 tahun di Jepang itu. Dalam tuduhan yang dilontarkan Partai Komunis Jepang, disebutkan bahwa Hosokawa berutang 100 juta yen (sekitar Rp 2 miliar) ke Sagawa, tahun 1982. Tapi dana sebesar itu baru dipakainya untuk memperbaiki pagar istana kuno milik Hosokawa, di Provinsi Kumamoto, Pulau Kyushu, dua tahun kemudian. Malah, berdasarkan pengecekan yang dilakukan tim Partai Komunis ke istana tersebut, ongkos perbaikan pagar hanya 77 juta yen. Lantas, ke mana sisa uang puluhan juta itu, dan mengapa baru dua tahun kemudian digunakan? Itulah yang jadi persoalan. Pihak oposisi kontan menuduh Hosokawa menggunakan uang itu sebagai dana kampanye ketika ia memenangkan pemilihan gubernur di Kumamoto, 1983. Sementara itu, dalam penjelasan Morihiro Hosokawa -- keturunan Hosokawa, keluarga samurai ternama dalam sejarah Jepang kuno -- disebutkan bahwa pinjaman itu sudah dilunasi pada 1991. Sayangnya, ia tak dapat memberikan bukti kuat. Hosokawa malah menolak tuntutan oposisi agar salah seorang pembantunya yang tahu soal pinjaman itu memberi kesaksian di depan parlemen. Menghadapi sikap keras Hosokawa ini, pihak oposisi bukannya mundur. LDP mengancam memboikot sidang parlemen yang membahas rancangan anggaran belanja negara, Maret lalu, jika Hosokawa tak menjelaskan kasus Sagawa Kyubin tadi. Bersamaan dengan itu, muncul tuduhan baru yang menyebutkan bahwa Hosokawa mendapat pinjaman berupa saham senilai 420 juta yen dari perusahaan telekomunikasi NTT. Kasus ini belakangan dibantah Hosokawa dengan mengatakan bahwa itu dilakukan oleh ayah mertuanya. Meskipun kasus pembangunan pagar dan NTT sebenarnya bukan merupakan masalah besar bagi masyarakat Jepang -- karena dianggap tak menyalahi peraturan -- oposisi tak kendur menyerang. Mereka terus menggunakan kedua kasus ini sebagai senjata untuk menekan Hosokawa, dan tetap memboikot sidang pembahasan anggaran belanja, meski batas waktu 1 April sudah terlewatkan. Ini gawat. Sebab, jika majelis rendah belum juga menyetujui usulan pemerintah Hosokawa, anggaran belanja tahun 1994 tak dapat dicairkan. Menghadapi tekanan yang bertubi-tubi itu, Hosokawa pun secara berkelakar mengatakan kepada dua anggota parlemennya bahwa ia berniat mundur. Peristiwa yang konon berlangsung di sebuah jamuan makan malam awal April itu sempat dibantahnya. Tapi tiga hari kemudian isu itu menjadi kenyataan. Di depan sejumlah menteri dan para pemimpin koalisinya, Hosokawa menyatakan pengunduran dirinya. Suasana di ruang sidang kabinet yang semula hening berubah jadi hiruk-pikuk. Hadirin yang kaget tak sempat mencegah niat keturunan samurai itu. Para pejalan kaki di pusat perbelanjaan Ginza menghentikan langkahnya di depan televisi berlayar lebar untuk mendengarkan pengumuman sang pendekar reformasi. Banyak yang menyesalkan tindakan pengunduran diri yang dilakukan Hosokawa itu. "Tak sewajarnya seorang pemimpin mundur di saat penting ini. Apalagi di saat reformasi politik tengah berlangsung," demikian tulis Yomiuri Shimbun, harian terbesar di Jepang. Memang, penyesalan itu dapat dimaklumi. Ini sekaligus mencerminkan betapa besar harapan rakyat Jepang pada Hosokawa. Maklum, sarjana hukum lulusan Universitas Sofia, Tokyo, yang sempat menjadi wartawan Asahi Shimbun selama lima tahun itu terjun ke dunia politik dengan misi yang jelas. "Tugasku tak lain membunuh politik sistem lama," katanya ketika berkampanye menjadi anggota majelis tinggi dari LDP, 1971. Setelah ia berhasil menjadi anggota majelis, semangat pembaruannya pun tak pernah kendur. Meski diangkat sebagai wakil menteri keuangan, ia tak mau begitu saja mengikuti sistem yang ada. Yakni hubungan "Segi Tiga Besi" -- pengusaha, birokrat, dan politikus -- yang terbukti membuka peluang munculnya kolusi dan skandal keuangan di tubuh pemerintah. Merasa bahwa LDP sulit diubah, ia melepaskan jabatannya sebagai wakil menteri keuangan, dan kembali ke kampung halaman nenek moyangnya, Provinsi Kumamoto, dan ikut pemilihan gubernur. Di sini ia, antara lain, menyaksikan kebusukan kaum birokrat pemerintah pusat. "Untuk mendapatkan izin membangun kandang babi saja, Anda harus memasang tanda 'pintu darurat' di luarnya," kata Hosokawa ketika menjadi Gubernur Kumamoto. Sampai dua kali masa jabatan, ia masih dapat bertahan. Tapi menduduki jabatan itu untuk ketiga kalinya ia tak mau -- meski masih punya kesempatan terpilih lagi. "Kekuasaan bakal membusuk setelah melewati sepuluh tahun," katanya beralasan. Pernyataan itu, konon, membuat kuping sejumlah politikus di Tokyo jadi merah. Semangat mencanangkan reformasi politik yang terus tumbuh di dadanya mendorongnya keluar dari LDP tahun 1992. Hosokawa membentuk Nihon Shinto (Partai Jepang Baru), bersama kaum muda reformis, yang kemudian mengantarnya ke kursi perdana menteri, Agustus 1993. Di posisi tertinggi ini, sepak terjang cucu bekas PM Jepang Fumimaro Konoe itu untuk melakukan seiji kaikaku (reformasi politik) bukan tanpa hambatan. Ini dapat dimaklumi, mengingat selama berkuasa 38 tahun LDP menjalankan sistem "Segi Tiga Besi" tadi. Sistem inilah yang berhasil mengubah Jepang, yang semula hancur akibat Perang Dunia II, menjadi sebuah negara industri yang kaya raya. Dan sistem hubungan birokrat, pengusaha, dan politikus ini pula yang sekaligus membuat pemerintah Jepang jatuh bangun terkena skandal suap. Lihat saja skandal Lockheed yang menjatuhkan Kakuei Tanaka. Juga skandal Recruit alias skandal saham yang menelan korban pemerintahan Noboru Takeshita. Dan terakhir, skandal Sagawa Kyubin yang memukul telak pemerintahan Kiichi Miyazawa, sehingga Sin Kanemaru, sang godfather politik Jepang, akhirnya tertangkap. Didorong oleh kejengkelan masyarakat Jepang terhadap kekotoran dunia politik, pemerintahan Morihiro Hosokawa pun bertekad melancarkan reformasi politik secara tuntas. Antara lain dengan membuat rancangan undang-undang reformasi politik. Rancangan yang, antara lain, membatasi sumbangan dana politik dan merampingkan jumlah anggota parlemen ini sempat tersandung beberapa kali di parlemen, sebelum dapat digolkan akhir Januari lalu. Tentu saja, di balik keberhasilannya, Hosokawa pun banyak mengalami kegagalan. Misalnya, tanpa berkonsultasi dahulu, Hosokawa memperkenalkan pajak kesejahteraan, Februari lalu. Gagasan itu akhirnya dibatalkan setelah mendapat protes dari masyarakat umum dan pemerintahan koalisi sendiri. Satu lagi contoh betapa kurangnya kemampuan kepemimpinan Hosokawa. Awal Maret lalu, ia tiba-tiba berniat melakukan perombakan kabinet. Maksudnya, ia ingin menyingkirkan Masayoshi Takemura, menteri sekretaris negara dari partai Sakigake -- salah satu partai koalisi -- yang disebut-sebut kurang harmonis dengannya. Langkah ini kemudian diprotes, dan Hosokawa pun membatalkan niatnya. Meski demikian, di bidang perdagangan luar negeri, kepemimpinan Hosokawa dinilai paling berani. Desember lalu, Hosokawa memutuskan membuka pasar dalam negeri bagi beras asing, lewat Putaran Uruguay, GATT. Padahal, langkah ini tak mungkin dilakukan pemerintahan sebelumnya -- karena takut kehilangan dukungan dari para petani. Tak hanya itu. Hosokawa pun mendapat dukungan penuh dari kalangan pengusaha Jepang tatkala ia membuat Jepang berani mengatakan "tidak" terhadap tekanan pemerintah Amerika Serikat dalam hal hubungan dagang. Hosokawa, yang mengagumi mendiang Presiden John F. Kennedy ini, tak bersedia mengurangi surplus perdagangannya dengan Amerika yang US$ 59,3 miliar itu, Maret silam. Sampai akhirnya Presiden Bill Clinton menggunakan kembali senjata dagangnya, Super 301 (TEMPO, 19 Maret 1994). Namun, prestasi yang diraihnya dalam kurun waktu delapan bulan itu terhapus sudah Jumat pekan lalu. Morihiro Hosokawa, yang dulu pernah tergolong sebagai politikus yang tak terlalu kaya, ternyata Juni tahun lalu masuk daftar anggota parlemen yang kaya (dengan kekayaan 95 juta yen) -- di urutan 139 dari 749 anggota parlemen. Dan ternyata pula, ia kemudian dituduh terbelit skandal uang. Keturunan ke-18 keluarga samurai Hosokawa dari zaman keshogunan Tokugawa ini pun mengalami nasib sama seperti Fumimaro Konoe, kakeknya. Konoe, yang pernah menjabat perdana menteri menjelang Perang Dunia II, melakukan bunuh diri dengan menelan racun. Jalan itu ditempuhnya setelah ia menolak diadili penguasa pendudukan Amerika -- setelah ia dianggap sebagai penjahat perang. Alasannya, ia tak menghalangi Jepang terlibat perang. Bedanya, Morihiro Hosokawa, yang berusia 56 tahun, tak lantas bunuh diri. Ia hanya mengundurkan diri dari kursi perdana menteri. "Saya sama sekali tak berminat," jawabnya tegas ketika ditanya kesediaannya bila ia diminta kembali menjabat sebagai perdana menteri. Dan orang pun bertanya-tanya: apakah Hosokawa akan menghabiskan waktunya dengan bermain golf, ski, dan tenis? Atau mungkinkah sekadar mendengarkan musik klasik sambil memainkan Moonlight, karya Beethoven, yang dipelajarinya lima tahun lalu?Didi Prambadi (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum