SENI rupa Yogyakarta pernah didominasi gaya dekoratif, yang diembuskan oleh sanggar-sanggar seperti Sanggar Bambu, sedangkan kini ada dua kecenderungan yang sekarang cukup mendapat tempat di kalangan perupanya. Pertama surealisme (lihat Seni Rupa, TEMPO, 2 April). Kedua, kecenderungan pada gaya lukisan kanak-kanak, baik subjek yang dipilih maupun teknik penggarapannya. Dalam hal gaya tersebut terakhir ini, mereka yang kini pantas disebut antara lain Heri Dono, Eddie Hara, dan Faizal. Dan sampai Sabtu pekan ini, Faizal memamerkan karya-karyanya di Mirota Kampus, Yogyakarta, menampilkan 55 lukisan cat minyak dan akrilik, 6 lukisan cat air, dan 13 karya tiga dimensi. Dengan warna-warna primer yang didominasi dengan warna cerah dan bentuk figur yang sederhana, jebolan Fakultas Desain dan Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini tampaknya memang ingin mengekspresikan kegembiraan. Tepatnya, mungkin, kegembiraan kanak-kanak. Sebab, dibandingkan dengan karya Heri Dono dan Eddie Hara yang mencitrakan suatu fantasi yang liar, Faizal kelihatan lebih adem dan sederhana. Lihat saja karya berjudul Night Cruisers: tiga figur anak yang dibangun dengan garis-garis sederhana berada di tengah kelamnya malam yang didominasi warna cokelat, dengan latar belakang bentuk persegi bangunan perumahan yang di sana-sini mencuat tanaman fantasi warna-warna cerah. Inilah suasana bagaikan dalam dongeng kanak-kanak tentang pengembaraan tiga anak di dunia aneh. Lalu tengoklah Naik Sepeda Keliling Kota. Kolase warna-warna pastel hijau, oranye, kuning, merah, biru, dan putih, mengisi bidang-bidang yang dibangun oleh garis-garis hitam sederhana yang berwujud deretan bangunan perumahan di bagian atas kanvas. Sedangkan separuh lebih bidang kanvas diisi dengan dua anak sedang bersepeda. Dari dua karya ini terasa unsur warna sangat dominan dalam karya Faizal. Dan ia memang yakin bahwa keriaan dunia anak-anak lebih mudah diekspresikan dengan warna daripada bentuk. Tema lain yang diangkat dari kehidupan sehari-hari anak-anak adalah hubungan anak dengan ibunya, anak dengan hewan piaraan, anak dengan alam lingkungannya. Adapun yang bersuasana dongeng, selain tiga anak pengembara malam tadi, adalah Sailing in the Unknown World: dua anak duduk terperangah di sebuah perahu melayang di tengah parade warna yang berbentuk ikan, tumbuhan, burung, dan manusia. Ada kecenderungan para perupa kita yang berangkat dari seni lukis tak lagi puas dengan hanya bidang dua dimensi. Begitu juga Faizal. Ia memindahkan ide-ide dan gaya lukisannya ke bentuk tiga dimensi dengan bahan kayu dan kaca serat (fiberglass). Dan bisa dibilang, karya tiga demensinya sekadar penigadimensian bentuk figur dua dimensi dari lukisannya. Dua anak menunggang kuda pada Mother and Child on The Green House tak salah bila dikatakan replika lukisannya berjudul Having Fun on The Green Horse. Atau, karya tiga dimensinya berjudul Lover's City dan White Town merupakan penjelmaan dalam bentuk panjang-lebar-tinggi dari gambar dua dimensi bangunan perumahan pada lukisannya. Dan dalam karya tiga dimensinya pun, warna lebih dominan. Bisa jadi, karena titik beratnya adalah warna, bagi Faizal, antara dua dimensi dan tiga dimensi tak jadi soal benar. Bisa jadi juga, itu merupakan cerminan sikap Faizal yang "berpihak" pada dunia kanak-kanak. Bukankah bagi kanak-kanak, antara kenyataan dan fantasi sering kabur batasnya? Dan sesungguhnya, karya tiga dimensi Faizal lebih membawa persoalan. Di situ pembedaan antara seni patung dan kerajinan dilenyapkan. Sebuah daerah yang luas, bahwa keindahan bisa ada dalam apa saja, ditawarkan. Sebuah ajakan untuk merenungkan kembali soal seni rupa, itulah harga pameran Faizal ini.R. Fadjri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini