TAK hanya belajar pada orang-orang besar, pada anak-anak pun kita bisa belajar," katanya sewaktu ia berpameran di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tahun 1980. Dan karya-karya Sudjana Kerton, pelukis kelahiran Bandung 22 November 1922, memang sepintas bergaya kekanak-kanakan. Di antara pelukis Indonesia seangkatannya, Popo Iskandar, Barli, misalnya, namanya memang agak lambat tampilnya. Itu sebabnya buku Art in Indonesia karya Claire Holt tak menyebut Sudjana Kerton sama sekali. Tapi mungkin juga karena pelukis yang gaya bergaul dan karyanya penuh humor itu lama di luar negeri daripada di Indonesia -- ia berada di Eropa dan Amerika antara 1950 dan 1976. Pelukis yang dalam pekan kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat, 1990-1991 yang lalu, lukisannya banyak menarik perhatian itu meninggal dunia Rabu menjelang sore pekan lalu, di Bandung. Bapak tiga anak dan kakek dua cucu itu menderita penyakit ginjal sejak 1989. Sebagaimana umumnya pelukis Indonesia seangkatannya, Kerton seorang otodidak. Ia makin aktif melukis ketika pada zaman pendudukan Jepang, awal 1940-an, pemerintah pendudukan mendirikan pusat kebudayaan di Bandung dan Jakarta. Benar, pusat itu sebenarnya diarahkan sebagai lembaga propaganda buat Jepang. Namun, setidaknya, lembaga tersebut memberikan kesempatan dan materi hingga para pelukis kita punya kesempatan praktek lebih banyak. Tak begitu jelas, kapan gayanya yang kekanak-kanakan -- mementingkan goresan daripada sapuan warna -- terbentuk. Yang pasti, pengembaraannya yang lama menjadikan Sudjana Kerton pelukis Indonesia yang tak berangkat dari dunia reproduksi karya-karya besar dari arus besar seni rupa dunia. Bila ia terpengaruh karya seorang pelukis besar, katanya suatu ketika, itu pengaruh langsung dari pertemuannya dengan karya asli pelukis tersebut. Dan dengan rendah hati katanya, "Banyak yang saya lihat, dan mungkin saja semua yang saya senangi masuk dalam lukisan saya." Ia sebutkan beberapa nama seperti Picasso, Rufino Tamayo, dan Diego Riviera. Tapi, tetap orang Bandung ini menggambarkan kampung halamannya, meski dengan gaya "internasional". Ia tetap mengabadikan suatu hari dalam hidup di Pasundan dengan segala cirinya. Karya lukisan terakhirnya, misalnya, yang diberinya judul Tanjidor, menggambarkan sekumpulan orang main instrumen Eropa di kampung. Umumnya tema lukisan Kerton memang itu: menggambarkan gaya hidup rakyat kecil di Pasundan. Setelah Sudjojono, Kerton adalah pelukis Indonesia yang merekam kehidupan dengan hampir selalu mencatat humor di dalamnya. Bedanya, Sudjojono menampilkan humor untuk mengerem atau membumbui "sinisme"-nya, sedangkan Kerton menyuguhkan humor karena ia tampaknya memang melihat dunia dengan optimistis. Memang, humor bukanlah satu-satunya yang ada dalam karyanya. Di baliknya terdapat suasana yang hampir surealistis, atau setidaknya suatu perpaduan yang suasananya bukan suasana sehari-hari. Katanya suatu ketika, "Saya percaya bahwa seni itu bukan sekadar kreasi, tapi juga suatu komunikasi.... Saya merasa bahwa penyatuan mistik dengan semua unsur alam ini merupakan dasar kekuatan ungkapan seni saya." Dan lagi, Indonesia kehilangan salah seorang seniman yang berkualitas, sebelum ada studi mendalam tentang karya dan pelukisnya.Ida Farida (Bandung) dan Bambang Bujono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini