Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah kota Ankara di Turki telah mengganti nama jalan di mana berdiri kedutaan AS yang sedang dibangun menjadi Malcolm X Avenue, mengambil nama politisi Muslim AS dan pembela hak-hak sipil AS yang radikal. Sebelumnya jalan ini diberi nama Olive Branch.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pergantian nama jalan bertepatan dengan menegangnya hubungan antara Turki dan Amerika Serikat. Selain itu terjadi banyak pergantian nama jalan di Ankara dengan memakai nama-nama para politisi.
Baca: Turki Tegang dengan Amerika, Erdogan Minta Rakyat Bersatu
"Jalan itu diberi nama politisi Muslim AS dan pembela hak asasi manusia Malcolm X, dimana Presiden Recep Tayyip Erdogan sudah mengatakan bahwa kami akan membuat namanya hidup di Ankara," kata kotamadya Ankara dalam pernyataan yang diterbitkan oleh kantor berita Anadolu, Sabtu, 13 Oktober 2018.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama jalan Olive Branch ternyata baru diganti Februari lalu sebagai salah satu kampanye militer Turki di Suriah. Nama ini dipilih karena Ankara bertentangan dengan Washington atas dukungan AS kepada pasukan yang dipimpin oleh milisi YPG Kurdi, yang dilihat Turki sebagai kelompok teroris.
Baca: Perang Dagang Turki - AS, 3 Ancaman Erdogan kepada Trump
Keputusan Ankara menggunakan nama Malcolm X diperkirakan akan diterima secara negatif oleh para kritikus dengan mengatakan Ankara menggerakkan sentimen rasis dan anti-AS.
September lalu, pada saat kunjungan Erdogan ke New York, dirinya bertemu dengan putri-putri Malcolm X. Juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin, berbagi cerita tentang perubahan nama di akun Twitter-nya pada hari Minggu, 15 Oktober 2018.
Adapun pembangunan kedutaan AS di Ankara dijadwalkan selesai pada 2020.
Pergantian nama jalan di kota Ankara bukan yang pertama kali. Desember lalu, Wali kota Ankara memerintahkan jalan misi Uni Emirat Arab untuk diganti namanya menjadi mantan gubernur Ottoman Madinah, setelah perselisihan antara kedua negara tentang kota suci di bawah kekuasaan Ottoman.
REUTERS | SARAH ERVINA DARA SIYAHAILATUA