Dili di Timor Loro Sa’e, suatu sore pada 1996. Presiden Soeharto berada satu mobil didampingi Uskup Ximenes Bello. Mereka menuju arah lokasi Patung Kristus Raja. Saat itu Uskup Bello bersama Ramos Horta baru saja meraih Nobel Perdamaian 1996. Uskup Bello ditanya wartawan, apakah Soeharto memberi ucapan selamat atau tidak. Ternyata tak sepatah pun ucapan selamat keluar dari mulut ”bapak pembangunan” itu.
Ingatan tentang peristiwa itu kembali melayang ketika peringatan seabad Nobel dirayakan di Swedia, 10 Desember lalu. Pemenang Nobel Perdamaian tahun ini, Kofi Annan, hadir. Semua bekas pemenang Nobel juga datang, meriung dalam sebuah perhelatan besar-besaran di tengah Kota Stockholm. Komponis Amerika, Steve Heitzeg, secara khusus menciptakan The Nobel Symphony. Karya orkestra enam bagian ini merefleksikan keagungan kimia, fisika, kesehatan, sastra, ekonomi, perdamaian, lengkap dengan paduan suara anak-anak.
Dari semua kategori pemenang Nobel, pemenang Nobel Perdamaian bisa tidak populer di mata pemerintahnya. Bello hanya satu contoh, selain Aung San Suu Kyi (1991) dan Rigobertha Menchu Dalai Lama (1992). Burton Feldman dalam The Nobel Prize: a History of Genius, Controversy and Prestige malah memperkirakan, di masa depan yang paling sulit adalah mencari kandidat Nobel Perdamaian. Makin merebaknya perang dan konflik di dunia, itu alasannya.
Survei dari International Institute for Strategic Studies yang berbasis di London menguatkan perkiraan Feldman. Selama 100 tahun ini terjadi sekitar 250 perang. Lebih dari 110 juta orang ditaksir mati. ”Jika kriteria suksesnya penghargaan Nobel Perdamaian adalah berkurangnya perang, berarti penghargaan itu tentu gagal,” kata Geir Lundestad, Direktur Institut Nobel.
Akan halnya Nobel Sastra, Kimia, Fisika, dan Kesehatan diperkirakan Feldman malah akan menampilkan banyak perubahan. Itu lantaran dunia sastra masa kini bukan dikemas dalam bentuk buku, melainkan audio atau visual. Bisa jadi peraih Nobel Sastra nanti tak lagi didominasi para sastrawan. Sebab, sesungguhnya pengertian literatur bukan hanya terbatas fiksi, tetapi juga semua penulisan serius mencakup sejarah dan filsafat. Bukankah Winston Churchill dan Henry Bergson pernah memenangi Nobel Sastra?
Yang dikhawatirkan, bisa tumbuh kesenjangan makin jauh antara temuan Nobel Sains dan Sastra. Fisikawan Robert Oppenheimer dan kritikus sastra Lionel Trilling melihat kecenderungan temuan sains makin membawa implikasi praktis yang merombak kehidupan. Sementara itu, sastra justru tentang pergulatan masalah-masalah fundamental.
Hal demikian tampak nyata dalam per-debatan tentang Nobel Ekonomi—yang tergolong anak tiri. Nobel ini baru diberikan tahun 1968 oleh Bank Sentral Swedia. Namanya juga berbeda: Nobel Memorial Prize in Economics. Untuk mengangkat ekonomi sederajat dengan sains, penentuan pemenang Nobel Ekonomi cenderung didasarkan pada penemuan-penemuan atau teori-teori yang menggunakan pendekatan eksak atau ekonometrik. Namun, ada pula nama-nama pemenang Nobel Ekonomi semacam Frederick Hayek, Gurnar Myrdal, dan Amartya Sen.
Mereka ini—dalam istilah Peter F. Drucker—adalah ekonom yang kelak dapat menjadikan ilmu ekonomi sebagai sebuah humaniora. Myrdal, misalnya, terkenal akan tiga volume bukunya: The Asian Drama: An Inquiry into the Poverty of Nations. Tapi berbagai karya ”ekonom sosial” semacam itu sering dianggap panitia Nobel sebagai karya lunak dan subyektif, cenderung samar dan literer. Ekonom James Buchanan berpendapat bahwa ekonomi harus menjadi ilmu netral—tanpa keberpihakan moral atau politik tertentu. Teori-teori Milton Friedman, tokoh monetaris yang meraih Nobel Ekonomi 1975, misalnya, dianggap punya bias politik besar. Friedman, melalui teori-teorinya, dikenal mendukung secara provokatif posisi politik tertentu. Ekonom liberal ini dikenal sebagai pendukung junta militer Cile ketika Pinochet mengudeta pemerintahan Marxis Allende pada 1973.
Maka, ketika ia menerima hadiah Nobel, Gurnar Myrdal mengirim surat terbuka kepada panitia agar Nobel Ekonomi dihapus saja. Panitia Nobel juga dilihat banyak kritikus memang cenderung memenangkan ekonom yang setuju pada persaingan bebas. Tahun ini George A. Arkelof, A. Michael Spence, dan Joseph E. Stiglitz, tiga ekonom Amerika yang menemukan cara lebih canggih menganalisis pasar, menerima Nobel.
Sedikitnya ekonom berbau humaniora juga dianggap menjadi bibit perdebatan Nobel Ekonomi di masa depan. Alfred Nobel sering menganggap dirinya seorang sosialis. Ia menginginkan tumbuhnya suatu pemerintahan yang dermawan dan karitatif. Bila pemikiran-pemikiran yang tak bisa menahan laju kesenjangan materi dunia pertama dan ketiga yang justru banyak dimenangkan, tidakkah itu mengkhianati wasiat Alfred Nobel?
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini