INDIRA Gandhi tampak kurang berminat ketika Perdana Menteri Lal Bahadur Shastri, pengganti Mendiang Jawaharlal Nehru, menawarkan kursi menteri penerangan kepadanya. Dalam suasana berkabung, usul Shastri itu dirasakan Indira - yang baru saja ditinggal mati ayahnya, Nehru - sebagai olok-olok. Entah bagaimana ia kemudian berubah pendapat. Seperti dikatakannya pada wartawati Italia Oriana Fallaci dalam buku Interview with History, "Saya tidak pernah menolak tantangan." Dengan jabatan menpen, Indira, waktu itu berusia 47 tahun, resmi terjun ke politik pada 1964. Karier politik, yang semula berangkat dari olok-olok itu, kemudian dirintis dan dikembangkannya sungguh-sungguh. Indira menggumuli dunia serba keras itu dengan tegar. Tahap demi tahap India menyaksikan bagaimana seorang wanita pemalu, dengan tutur kata lemah lembut dan kurang percaya diri, berubah menjadi "macan betina" yang bila terluka bisa mencakar dan mencabik-cabik lawannya. Indira sendiri mengakui bahwa dia pemalu. Tentang ini hampir semua orang tahu. Yang sulit mereka pahami ialah putri tunggal Nehru itu bukan saja berbakat sebagai politisi, tapi juga cerdas, berkemauan keras, dan keberaniannya mengagumkan. Kaum pria yang selama ini mendominasi cakrawala politik India terhenyak melihat manuver-manuver politiknya. Mereka hampir tidak percaya bahwa intuisi yang kuat, kalkulasi yang tepat, dan ketegaran yang nyaris tidak kenal belas kasihan bisa sekaligus terkumpul dalam diri Indira yang terlahir sebagai wanita. Uniknya lagi, di mata rakyat, dia memancarkan citra tanpa cela, seorang pemimpin yang tak ada duanya. Tapi citra itu riwayat dulu - sebelum Indira memberlakukan keadaan darurat, 26Juni 1975. Inilah grafik perjuangan Indira setelah memangku jabatan PM tahun 1966. Sembilan tahun pertama masa pemerintahannya ditandai konflik berkepanjangan melawan Sindikat. Apa itu Sindikat? Ini julukan untuk kelompok kecil tokoh senior Partai Congress - yang tumbuh di akhir hayat Nehru. Walau ada Komite Kerja All Indian Congress yang menetapkan garis-garis besar haluan partai, Sindikat ini memainkan peran penting dalam praktek politik sehari-hari. Indira ternyata tidak melihat gejala ini. Ia diorbitkan Sindikat sebagai ketua Partai Congress, tak lama sesudah Lal Bahadur Shastri meninggal karena serangan jantung di Tashkent, Uni Soviet, 1 Januari 1966. Pilihan jatuh pada Indira karena ia terkenal seantero negeri, juga lantaran tidak ada tokoh partai yang cukup populer waktu itu. Lagi pula, Indira dianggap tidak punya musuh. Tanpa jerih payah Indira mengalahkan Morarji Desai dengan perbandingan 355 lawan 169 suara. Otomatis ia menjadi perdana menteri - dilantik 24 Januari 1966, pada usia 48 tahun. Tapi proses yang menggiring putri Nehru itu ke tampuk kekuasaan oleh Desai dikhawatirkan akan menjadi preseden yang tidak sehat. Desai curiga, jangan-jangan kebiasaan buruk itu tiap kali dimanfaatkan sekelompok kecil penguasa partai untuk memaksakan kehendak mereka. Jika Nehru masih hidup, kata Desai, hal serupa tidak akan sampai terjadi. Sebab, Nehru sangat menghormati semangat demokrasi dan segenap aturan main yang tercakup di dalamnya serta mewajibkan semua orang bersikap seperti itu pula. Ini tidak mustahil karena Nehru, seperti kata Indira, "Bukan politisi tapi lebih mirip seorang nabi." Indira mengaku, dia sendiri bukan nabi, karena "Dalam berpolitik orang tidak mungkin menjadi nabi," katanya. Indira, yang tahu dirinya diperalat, di luar duaan bereaksi amat cepat. Ia mulai membuat perhitungan terhadap Sindikat. Tanpa konsultasi ia mendevaluasikan mata uang rupee, memaklumkan nasionalisasi bank, dan menghapuskan hak-hak istimewa para pangeran. Sindikat geger, tapi Indira jalan terus. Tema yang dipilihnya: perubahan sosial ekonomi bagi rakyat banyak. Sementara itu, tanpa buarlg waktu, ia menghimpunkan orang-orang kepercayaannya sendiri. Karena sangat mengandalkan mereka, Indira kurang membina hubungan dengan politisi Congress lainnya. Ia mulai terkucil, sementara orang-orangnya, yang sebaglan berkahber penjilat, sering pula mengacaukan banyak hal. Tapi Indira tidak menyadari ini. Ia terdorong untuk selalu waspada dan tidak percaya pada siapa pun juga, kecuali segelintir orang kepercayaan. Dan putra bungsunya, Sanjay. Kemudian terlihat Indira juga tidak segan-segan menyingkirkan kawan seperjuangannya. Sesudah mencopot Morarji Desai dari kabinet. ia memojokkan Sindikat, lalu membuang kawan-kawan yang kurang perlu. Akhir 1960-an Indira, yang kemudian berhasil mematahkan dommasl Sindikat, akhirnya tidak mau tergantung pada kelompok mana pun. Sementara itu, Sanjay, yang baru berumur 25 tahun, mulai diberi peluang tampil di pentas politik dan menyusun kekuatan sendiri. Di pihak lain, Indira, sang ibu, sedetik pun tidak berpangku tangan. Biasa bekerja 16 jam sehari dan "terlatih menghadapi kesulitan berkepanjangan sejak kecil", Indira bertindak lebih jauh. Ia merangkul orang-orang sosialis dan komunis, bahkan kabarnya ikut menggerakkan demonstrasi sopir taksi, pegawai rendahan, dan gelandangan. Citra seorang pemimpin progresif mulai melekat pada dirinya. Tapi pimpinan Partai Congress menuduhnya melakukan intrik dan memecah belah partai. Ia dipecat dari Congress. Partai kemudian pecah dua: Congress Baru di bawah Indira dan Organisasi Congress dipimpin Morarji Desai. Walaupun dituduh otoriter, Indira sudah sulit dihentikan. Dua badan inteligen dinyatakan bertanggung jawab langsung kepadanya. Lemah dalam urusan mengumpulkan dana, Indira lalu mengandalkan bakat dagang Lalit Narayan Mishra. Orang ini mengobral uang untuk manipulasi politik. Ia tidak ragu-ragu membeli pejabat atau anggota Parlemen, menghitamputihkan segalanya dengan uang dan memperkenalkan korupsi dalam mekanisme kerja Partai Congress. Lalit Mishra dapat melakukan itu semua karena menjabat menteri perdagangan. Berkat Mishra juga, konon, Sanjay dapat mengembangkan proyek pabrik mobil Maruti. Tapi itu belum menggoyahkan kepercayaan rakyat padanya. Terpilih kedua kali sebagai perdana menteri (Maret 1971), Indira tiba-tiba dihadapkan pada krisis Bangladesh. Sepuluh juta pengungsi Muslim membanjir ke India dari Pakistan Timur (sekarang Bangladesh), dan pemerintah pusat (Pakistan Barat) di Karachi, waktu itu, tidak bersedia berunding. Karena tidak satu pun negara bersedia maju sebagai penengah, konfrontasi militer tak terhindarkan. India keluar sebagai pemenang. Keberhasilan ini melambungkan nama Indira di gelanggang mternasional. Tapi masa sulit segera tiba. Ekonomi memburuk, harga-harga melonjak. Oposisi memanfaatkan kegagalan di bidang ekonomi untuk menjatuhkan Indira. Dari partai Janata muncullah TavaDrakash Naravan. Ia melancarkan kampanye antikorupsi. George Fernandes, tokoh serikat buruh menyebarkan selebaran ke seluruh negeri yang isinya memburukburukkan Indira. Puncaknya terjadi di Allahabad, kota kelahiran Indira. Pengadilan tinggi setempat menuduh perdana menteri itu menggunakan uang negara untuk kampanye pemilu. Vonis bersalah dijatuhkan 12 Juni 1975, tapi dua pekan kemudian Indira memberlakukan keadaan darurat di seluruh negeri. Mengapa Indira tidak mengundurkan diri saja? Apakah ia begitu haus kekuasaan hingga keluar dari nilai-nilai demokrasi yang diwariskan Nehru? Yang pasti, zaman telah berubah. Tantangan yang dihadapi Indira jauh lebih ruwet, sedangkan administrasi yang diwariskan Nehru tidak siap menggarapnya. Jumlah penduduk melonjak hampir dua kali lipat (dari 420 juta menjadi 730 juta), laju pertumbuhan industri merosot dari 7% menjadi 2%, sedangkan India belum berswadaya di bidang pangan. Dua tahun keadaan darurat menciptakan stabilitas politik semu, karena teror mengganas di banyak penjuru. Hampir semua tokoh oposisi ditangkap. Tapi tiba-tiba saja Indira mengumumkan rencana pemilu, Maret 1977. la menduga bahwa oposisi tidak cukup siap, dan merasa bahwa rakyat tetap berpihak kepadanya. Kali ini perhitungan Indira meleset. Ia kalah mutlak. Tiga tahun berikutnya adalah masa suram bagi Indira. Tapi, dalam jangka waktu itu, oposisi tidak pula mampu berbuat banyak untuk rakyat. Pemilu Januari 1980 menyaksikan kembalinya Indira di pentas politik. Ia memenangkan tiga perempat suara di Parlemen, dan dilantik sebagai perdana menter untuk keempat kalinya. Namun, sukacita cuma sebentar. Awal Juli 1980, Sanjay tewas dalam penerbangan pesawat pribadi di atas New Delhi. Indira seperti kehilangan semangat, dan seluruh negeri memaklumi penderitaannya. Awal 1981, Indira bangkit lagi. Meski tidak tampak lebih kuat, wanita itu siap untuk sebuah eksperimen baru: mengorbitkan Rajiv, putra sulungnya, ke cakrawala politik India. Agaknya, Indira tidak melihat calon-calon pemimpin lain, baik di kalangan Congress I maupun di kubu oposisi yang kurang menggalakkan kaderisasi. Para pengamat Barat menilai, Indira berusaha membangun dinasti di negara demokrasi terbesar di dunia. Sementara itu, di India orang bertanya: Apakah Rajiv, bekas penerbang Boeing 737 India Airline, punya kemampuan sebagai pemimpin yang sanggup menjawab tantangan zaman? Lalu apakah India masih pantas di sebut negara demokrasi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini