BERTUTUPKAN hamparan anyelir putih, jenaah Shrimati Indira Priyadarshini Gandhi, 67, diusung di kereta meriam yang terbungkus kembang ungu. Wajahnya terlihat dari balik kain jingga yang tembus cahaya - lebam dan lelap. Diperkirakan, satu juta penduduk dari pelbagai pelosok India datang ke New Delhi untuk melihat wajah itu dan memberi penghormatan terakhir kepadanya. Demikian pula pemimpin dari 40 negara di dunia - diantaranya tampak PM Inggris Margaret Thatcher, PM Uni Soviet Nikolai Tikhonov, PM Jepang Yasuhiro Nakasone, menlu Amerika Serikat George Shultz, dan wapres Indonesia Umar Wirahadikusumah. Satu pembantaian kejam, 31 Oktober pagi, telah merenggut Indira dari rakyat dan negeri yang dicintainya. Pagi itu, pukul 9.40, Almarhumah meninggalkan gedung tempat ia biasa menyelenggarakan darshan - audiensi langsung yang dikhususkan Indira untuk rakyat jelata. Di tengah jalan menuju rumahnya, sang perdana menteri dihampiri tiga prajurit Sikh, pengawal pribadmya. Indira menangkupkan kedua tangan, dan mengucapkan "namaste" - salam hormat sesama warga India. Tiba-tiba saja, dalam sepersekian detik sang pemimpin diberondong peluru. Indira tersungkur, dan roboh dalam genangan darah. Tubuh yang terluka berat di bagian dada dan perut ini segera dilarikan ke rumah sakit. Tapi menjelang sampai, ia sudah tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tim dokter mengeluarkan 16 peluru dari tubuhnya - sama banyak dengan jumlah peluru yang menewaskan pemimpin Sikh militan Bhindranwale, di Kuil Emas, tempat ibadat umat Sikh, Juni berselang. Dan India kehilangan seorang pemimpin, pemersatu, pejuang yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk bangsa dan negara. Sehari sebelumnya, di Negara Bagian Orissa, Indira memang telah menyebut-nyebut soal mati. Katanya, jika harus mati dalam mengabdi negara, ia akan bangga. "Setiap tetes darah saya," ucapnya di depan khalayak ramai, "akan memberikan sumbangan serta membuat negara ini menjadi kuat dan dinamis." Indira, yang terkenal intuitif, kali ini tidak segera menangkap firasat itu. Ia juga mengabaikan laporan inteligen tentang adanya gerombolan pembunuh yang menyusup dari luar dan bermaksud membunuhnya. Indira, yang sejak kecil memang tidak kenal takut, tak mengindahkan peringatan inteligen itu. Rencana berkeliling ke Negara Bagian Andhra Pradesh, Kashmir, dan Orissa berjalan terus sebagaimana direncanakannya. Sekembalinya di New Delhi, Indira, yang masih penat karena turne, membatalkan semua acaranya pada 31 Oktober itu, kecuali wawancara dengan Aktor Peter Ustinov, yang bekerja untuk stasiun televisi Inggris, BBC. Kemudian Indira akan melewatkan waktu bersantai dengan cucu-cucunya. Tapi keinginan kecil ini tidak pernah terpenuhi. Dua prajurit Sikh yang menembak Indira tewas oleh tembakan balasan pengawal kediaman PM di Jalan Safdarjang 1. Kawannya, Satwan Singh, luka-luka, tapi nyawanya dapat diselamatkan di rumah sakit. Dalam keterangan pertamanya, Satwan Singh membenarkan adanya komplotan orang Sikh yang berencana membunuh Indira. Otak pembunuhan adalah seorang mayor jenderal keturunan Sikh yang tidak disebut namanya. Sejak pihak berwajib memastikan bahwa Indira dibunuh orang Sikh, kerusuhan marak di banyak kota sehari setelah tragedi. Aksi spontan menghukum orang-orang Sikh dilancarkan orang-orang Hindu yang seagama dengan Indira. Pembakaran dan tindak kekerasan tak terelakkan, meski Rajiv Gandhi, yang dilantik Presiden Zail Singh sebagai penjabat perdana menteri delapan jam sesudah kematian Indlra, sudah memerintahkan agar tentara segera menumpas aksi-aksi yang tidak bertanggung jawab itu. P.G. Gavai, komandan keamanan Kota New Delhi, dipecat karena kurang sigap mengatasi kerusuhan. Ibu Kota India ini memang mengalami pembalasan dendam yang paling gencar. Diperkirakan 500 korban, sebagian besar orang Sikh, ditemukan tewas di New Delhi 500 lainnya di 15 kota yang terkena jam malam. Mendagri Narasimha Rao memerintahkan tembak di tempat terhadap para perusuh Hindu yang meneriakkan pekik kemarahan "darah dibalas darah". Kalau tak ada tindakan tegas, entah apa jadinya. Pada hari perabuan, 3 November siang, kerusuhan mulai reda. Dari rumah duka Wisma Tinmurti - tempat jenazah Indira, juga jenazah ayahnya, Jawaharlal Nehru, 20 tahun lalu disemayamkan - iringan bergerak pelahan sepanjang 12 km menuju tempat kremasi di tepi Sungai Yamuna. Penduduk yang menyaksikan dari kedua tepi jalan tak dapat menahan isak ratap ataupun letupan emosinya. Karena itu, tak jarang terdengar teriakan: "Indira Gandhi amarrahe!" Artinya, "Hidup Indira Gandhi!" Berpakaian, berpici, dan berselendang putih, Rajiv memulai upacara 40 menit lebih awal. Setelah jenazah dibaringkan di atas panggung, Rajiv mengelilinginya tujuh kali, dan sebuah piring dengan kobaran api lalu disentuhkannya ke bagian-bagian tertentu jasad sang ibu. Tidak terkecuali pada bagian kepala, konon, menurut kepercayaan Hindu, di sanalah tempat nyawa bersemayam. Upacara serupa, empat tahun lalu, telah pula dilaksanakan Rajiv untuk adiknya, Sanjay, yang meninggal karena kecelakaan pesawat udara. Sabtu siang lalu itu, Rajiv didampingi istrinya, Sonya, yang keturunan Italia, dan putra-putrinya: Rahul, 14, Priyanka, 12, serta Maneka, janda Sanjay, yang menjadi terkenal karena pertengkaran melawan lbu mertuanya sendiri. Api kremasi kian lama kian marak, mana kala terompet mengalun sedih dan doa-doa Pendeta Brahmin terdengar bagaikan merintih. Mantra-mantra dari kitab Veda memenuhi udara dan dalam nada lebih rendah Bunda Teresa, pemenang Nobel Perdamaian, yang mengabdi untuk orang miskin India, memanjatkan doa agar Nyonya Gandhi hidup tenang selamanya. Sementara itu, seorang uskup Anglikan menggumamkan ayat-ayat dari kitab Injil dan seorang imam Islam mengucapkan ayat-ayat suci Alquran. Sepintas terkesan ada suasana kerukunan agama, hanya dengan sedikit cacat karena pendeta Sikh tidak di sana. Mereka bukan tidak diundang, tapi rupanya tak bersedia datang. Di saat api kian membesar, berbagai benda ditaburkan ke jasad yang sedang terbakar. Ada bubuk kemenyan, empat lusin pisang, dua lusin apel, serta beberapa pon beras dan gandum. Kerabat Indira maju satu per satu, disusul Presiden Zail Singh. Setelah api menyelusup ke segala celah dan pori-pori tubuh Indira selama paling kurang 48 jam, barulah abu dapat diambil kemudian diamankan dalam 22 tempat penyimpan lalu dibagi-bagikan ke 22 negara bagian India. Inilah perlambang bahwa yang baru saja pergi adalah milik seluruh negeri. "Indira amarrahe, Indira amarrahe," .... Teriakan itu sepanjang hari masih terus saja berkumandang, tiada hilang-hilang. Dua hari sebelumnya, di Trilokpuri, beberapa kilometer di luar New Delhi, penduduk Sikh diamuk orang Hindu. "Mereka datang, sekitar 1.000 orang. Hanya Allah yang tahu dari mana mereka datang," ujar Ali, seorang warga Muslim. Pembantaian yang tak terperikan segera terjadi. "Mereka (orang Sikh) dilempari batu bata, dlhajar tongkat, dibakar, ditusuk, dirampas." Mayat serta benda-benda yang bergelimpangan disiram kerosene dan dibakar. Trilokpuri adalah permukiman orang-orang Sikh miskin. Barangkali mereka ini dianggap sasaran empuk bagi orang-orang Hindu yang mengamuk - sebagian besar pemuda, dan mereka sama sekali tidak dikenal. Tindak kekerasan di Trilokpuri tampak direncanakan, hingga banyak yang mempertanyakan mengapa pihak keamanan tidak dapat mencegahnya. Ada juga kesan para perusuh digerakkan organisasi tertentu. Mereka muncul dengan truk, lalu tiba-tiba menghilang begitu saja. Surat kabar Statesman menilai polisi gagal, sedangkan masyarakat curiga jangan-jangan kerusuhan sengaja dibiarkan merajalela. Bisa dimengerti kalau ada demonstrasi damai yang mencakup orang Hindu, Islam, dan Sikh berkeliling New Delhi, menyerukan penghentian kerusuhan. Konfrontasi Sikh-Hindu memuncak sesudah Indira wafat. Pembunuhan terhadap perdana menteri itu jelas tidak menyelesaikan masalah. Di London, seorang pemimpin Sikh mengutuk penembakan politik tersebut, tapi menambahkan bahwa "dia (maksudnya: Indira) memang memancing pembunuhan". Harcharan Singh, sekjen masyarakat Sikh di Inggris, menyebutkan penembakan atas diri Indira adalah perbuatan pengecut, tapi tidak bisa dipisahkan dari penyerbuan tentara India terhadap Kuil Emas di Punjab. Mahendar Singh Rathour, warga Sikh di London, bicara ketus. "Kematiannya (Indira) jadi berita gembira buatkami," katanya. Dendam warga Sikh membara sejak penyerbuan dan pendudukan Kuil Emas, Juni berselang. Jagjit Singh Chaunan, separatis Slkh yang bermukim dl Inggns, mengingatkan bahwa tidak sedikit orang yang mau membunuh Nyonya Gandhi. Beberapa jam sesudah penembakan, ada penelepon gelap ke kantor berita AP di New Delhi. "Kami sudah membalas dendam. Hiduplah agama Sikh!" Identitas penelepon tidak disebutkan. Dari Amritsar, pusat Sikh, pendeta Sikh Giani Samid menyebut serangan terhadap Indira sangat tidak menguntungkan tanpa penjelasan lebih lanjut. Lima pendeta Sikh kemudian bersidang darurat, tapi tidak disiarkan suatu pernyataan. Sikap pasif para pemimpin Sikh berlanjut pekan silam tatkala tentara dikirimkan untuk mengawal Kuil Emas. Apa yang terjadidi kubu Sikh? Agaknya para pemimpin Sikh menyadari bahwa tuntutan mereka untuk otonomi lebih besar di bidang agama dan pemerintahan bisa kandas di tengah jalan. Partai Akali Dal dari aliran Sikh moderat, yang memelopori perjuangan itu, kemudian tersisihkan oleh kelompok Sikh militan di bawah pimpinan Jarnail Singh Bhindranwa1. Pendeta lokal ini punya bakat berpidato, menghasut dan membakar semangat orang. Ia muncul bagaikan pahlawan, 1981, semata karena ditangkap, dituduh terlibat pembunuhan seorang pemimpin redaksi surat kabar Hindu. Untuk kebebasannya, aksi protes dilancarkan, 17 tewas. Pemerintah melunak, Bhindranwale dibebaskan. Inilah kesalahan pertama pemerintahan Indira. Saat itulah mulai terbetik isu negara Punjab merdeka yang disebut Khalistan. Teror ditingkatkan. Oktober 1983, ektremis Sikh membunuh delapan penumpang bis warga Hindu. Mendengar ini New Delhi mulai keras. Punjab, negara bagian orang Sikh, ditempatkan langsung di bawah kontrol pemerintah pusat. Kendati teror Sikh mencatat korban 300 orang tewas, Indira belum juga mengambil tindakan tegas. Agaknya la berusaha lebih hati-hati, mencancari peluang untuk perundingan. Tapi tidak dihiraukan Bhindranwale. Akhirnya, sesudah sangat terlambat, Kuil Emas diserbu dan diduduki tentara India sampai akhir September silam. Dalam penyerbuan inilah Bhindranwale ditemukan terbunuh, di samping 1.000 warga Sikh yang tewas bergelimpangan. Menghadapi krisis Sikh, Indira tidak tegas seperti biasa. Ia lebih banyak menunggu, sementara konfrontasi semakm tajam dan akhirnya meruncing. Penyerbuan Kuil Emas adalah yang pertama sejak Sikh mencanangkan perjuangan separatisnya pada 1947. Tapi ditinjau dari segi agama ataupun politik, penyerbuan itu terlalu riskan. Kebanggaan agama dan martabat Sikh bagaikan diinjak-injak. Dan ketika tentara ditarik, Indira tidak pula segera menawarkan satu penyelesaian politik, misalnya. Siapa mayor jenderal yang, menurut Satwan Singh, mengotaki pembunuhan terhadap Indira? Apakah yang dimaksudnya Shuhbeg Singh? Dia ini seorang bekas jenderal angkatan darat India yang lihay dalam taktik perang gerilya, dan dikabarkan bertindak sebagai komandan pejuang Sikh melawan tentara pemerintah ketika penyerbuan Kuil Emas terjadi. Tapi mungkin saja dia tokoh fiktif. Pemeriksaan selanjutnya terhadap Satwan Singh diharap bisa menguakkan misteri pembunuhan Indira. Di pihak lain, Penjabat Perdana Menteri Rajiv Gandhi mewarisi beban tidak ringan. Pemilu Desember depan sudah mesti dipersiapkan, sementara kesatuan dan persatuan India harus tetap dipertahankan. Untuk itu Indira telah membayar dengan nyawanya, suatu kehilangan yang benar-benar tidak tergantikan untuk jangka waktu yang amat lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini