Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tentara dan petugas polisi bersenjata mengiringi Presiden El Salvador Nayib Bukele saat dia menyerbu parlemen pada Ahad sore.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden menuntut agar anggota parlemen oposisi memberikan suara untuk menyetujui rencananya mendapatkan pinjaman US$ 109 juta atau Rp 1,5 triliun, yang menurutnya akan digunakan untuk melengkapi personel militer dan petugas penegak hukum mengatasi kekerasan antar-geng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut laporan CNN, 11 Februari 2020, ketegangan telah meningkat antara presiden dan anggota parlemen oposisi atas pinjaman, yang dimaksudkan untuk membiayai fase ketiga Rencana Pengendalian Teritorial. Rencana ini mencakup sumber daya tambahan untuk memberi polisi dan tentara alat yang lebih baik untuk memerangi kejahatan di El Salvador.
El Salvador tercatat memiliki salah satu tingkat pembunuhan tertinggi di dunia.
Menurut angka-angka dari Kepolisian Sipil Nasional El Salvador, rata-rata pembunuhan harian di negara itu turun dari 9,2 pada Mei 2019, bulan sebelum Bukele menjabat, menjadi 3,8 pada Januari 2020. Pemerintah mengklaim bahwa penurunan jumlah kematian adalah langsung hasil dari Rencana Kontrol Teritorial.
Presiden terpilih El Salvador, Nayib Bukele, dan istri Gabriella de Bukele. Reuters
"Saya mendukungnya (presiden)," kata Rosario, 36 tahun, yang saat ini menganggur, di luar majelis legislatif Minggu setelah presiden berbicara kepada publik, dikutip dari Al Jazeera.
"Kami hanya ingin memperbaiki negara dengan segala cara yang mungkin," tambahnya. Tetapi kelompok-kelompok hak asasi manusia mengatakan tindakan presiden semacam tabir asap yang mengancam keseimbangan pemisahan kekuasaan di negara ini.
Dalam sebuah konferensi pers, Bukele menuduh majelis legislatif menggunakan konstitusi dengan cara yang tidak menguntungkan rakyat Salvador, mengulang kritikannya terkait pejabat korup. Dia menggunakan Pasal 167 konstitusi negara itu, yang mengatakan presiden dapat menyelenggarakan majelis nasional negara itu secara luar biasa "ketika kepentingan Republik menuntutnya".
Ketika mengajukan klausul ini, dia berjanji warga negara untuk menggunakan konstitusi untuk keuntungan mereka. Namun keputusan itu memicu krisis konstitusi ketika para legislator, pakar, dan kelompok hak asasi manusia memperdebatkan apakah situasinya pantas menggunakan klausul ini.
Pada saat pemilihannya, Bukele dipandang oleh banyak orang sebagai orang luar, kandidat populis, yang berkampanye dengan slogan-slogan mengkritik mereka yang datang sebelum dia, dan menyindir hilangnya dana selama kepengurusan mantan presiden Francisco Flores dan Antonio Saca.
Anggota parlemen sebelumnya gagal mencapai kesepakatan tentang proposal Bukele karena kekhawatiran tentang besarnya pinjaman dan justifikasi presiden atas beberapa biaya yang telah dia masukkan ke dalam permohonan pinjaman.
Setelah menyerbu parlemen, Bukele mengucapkan doa dari kursi yang biasanya diduduki oleh presiden parlemen, Mario Ponce. Sebelum meninggalkan gedung, Nayib Bukele memberi anggota parlemen El Salvador satu minggu untuk menyetujui proposal pinjamannya.