Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Protes untuk sebuah buku sejarah

Protes keras terhadap jepang dari negara-negara tetangganya gara-gara direvisinya sebuah buku sejarah yang melukiskan sejarah perang di asia. dalam buku tersebut kekejaman jepang sampai periode 1945 diperlunak. (ln)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Protes untuk sebuah buku sejarah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENANGAN pahit nampaknya tak mudah mati. Perang Dunia II di Asia telah hampir setengah abad lewat, Jepang telah kalah dan jadi negeri pedagang, tapi apa yang pernah dilakukannya ternyata masih bisa bikin amarah. Ini terjadi ketika Jepang mencoba melukiskan sejarah perangnya di Asia buat generasi mudanya. Reaksi keras terjadi -- terutama dari luar Jepang di hari-hari ini. Di Beijing, Wakil Menteri Luar Negeri RRC Wu Xueqian memanggil Duta Besar Jepang Yague Katori. Dengan resmi dia meminta pemerintah Jepang membetulkan buku teks sejarah bagi siswa sekolah menengah di Jepang itu. "Buku sejarah yang direvisi itu telah melanggar citra persahabatan RRCJepang," kata Wu Xueqian. Ini merupakan tindakan protes terkeras dari pihak RRC, terhadap revisi (penulisan kembali) buku sejarah Jepang. Soalnya, dalam buku itu, kekejaman tentara sampai periode 1945 diperlunak bahkan tak disebut lagi. Sebelumnya, koran Harian Rakyat di Beijing, memperingatkan pemerintah Jepang bahwa kalau sampai tidak diubah kembali buku bacaan wajib itu, ia "bisa membakar opini publik lebih luas." Warta Berita Pemuda, sebuah penerbitan resmi lain, kemudian memuat gambar korban kekejaman tentara Jepang selama pendudukan mereka di Cina. Buletin itu juga menulis bagaimana 3.000 orang Manchuria dari kota Harbin jadi korban perang kuman dari suatu percobaan rahasia tentara Jepang dari tahun 1939 sampai 1945. Tak cuma itu reaksi Cina. Pemerintah RRC pun mencabut undangan untuk Menteri Pendidikan Jepang Heiji Ogawa yang sedianya berkunjung ke Beijing minggu depan. Dan satu demi satu, koran-koran di RRC "menyerang" Jepang. Kantor berita resmi Xinhua telah memuat interviu petani tua di sekitar jembatan Marco Polo, Beijing yang menceriterakan betapa rekan dan saudaranya dikubur hidup-hidup oleh tentara Jepang. Insiden Marco Polo ini telah mengawali perang 8 tahun Cina-Jepang di tahun 1937. Protes terhadap buku yang sama bukan hanya terjadi di Beijing. Di kedua Korea orang pun marah. Di Seoul, awal Agustus ini, Korea Herald dalam tajuknya mengecam pemerintah Jepang yang "telah mengelabui generasi muda di dunia dengan penyajian sejarah yang dipalsukan." Di Pyongyang, harian Rodong Sinmun (organ resmi dari Partai Komunis Korea Utara tidak kalah pedas mencerca. "Pemerintah Jepang mulai membangkitkan kembali militerismenya," tulisnya. Kira-kira 300 orang dari Asosiasi Orang Tua di Seoul mengajukan protes. Bahkan sebuah rumah makan di Seoul menempelkan tulisan "Orang Jepang dilaran masuk," di depan pintunya. Di Hongkong, sejumlah mahasiswa menyerahkan pula surat protes ke Konsulat Jepang. Yang sepi cuma di Asia Tenggara. Sampai minggu pertama Agustus, reaksi terhadap penulisan kembali buku sejarah tersebut belum terdengar di kawasan Muangthai ke selatan, kawasan yang di tahun-tahun awal 1940-an, tidak kurang menderita oleh pendudukan Jepang. PM Zenko Suzuki bukannya mengabaikan berbagai protes keras negara tetangganya. Pekan lalu, dia memerintahkan kepada pembantunya untuk mencoba meneliti kembali buku sejarah yang menghebohkan itu. Suzuki khawatir kericuhan ini tidak akan berhenti sampai di Cina dan Korea saja. "Protes bisa saja merembet ke negara-negara Asia lainnya yang pernah ditaklukkan Jepang sekitar 40 tahun yang lalu," demikian sumber Departemen Luar Negeri Jepang. Kasus buku sejarah ini dikhawatirkan akan mengganggu suasana kunjungan PM Suzuki dalam September nanti ke Beijing, untuk memperingati 10 tahun lamanya hubungan persahabatan Jepang-Cina. Apa yang diprotes sebetulnya? Khususnya, perubahan pendataan mulai dari restorasi Meiji (1867) sampai tahun 1945. Fakta adanya sekitar 600.000 orang Korea yang jadi korban kerja paksa, dibuang dalam buku yang direvisi. Semua ini kini disebut sebagai "tenaga kerja sukarela," karena Korea dulu (1910-1945) berada di bawah kekuasaan Jepang. Juga gerakan 1 Maret 1919, yang oleh Korea dianggap sebagai pokok pangkal gerakan kemerdekaan ditulis oleh Jepang sebagai "gerakan pemberontakan dan kerusuhan -- maklum orang Korea senang memberontak." MENGENAI Cina, kata "invasi" (shinryaku) diganti dengan istilah "maju" (shinshitsu). Peristilahan semacam ini memang bisa menimbulkan perdebatan --yang sebenarnya di Jepang telah berlangsung sejak 30 tahun, antara sejarawan beraliran kiri dengan yang beraliran kanan. Tapi kesengajaan memperbaiki citra Jepang dalam buku sejarah itu memang nampaknya jelas benar. Yang merepotkan ialah bahwa itu dilakukan melalui badan resmi. Ini mungkin cerminan semakin meningkatnya gerakan pemikiran ke sayap kanan di Jepang akhir-akhir ini. Semua textbook di Jepang memang harus diperiksa oleh Departemen Pendidikan, sebelum perusahaan swasta menerbitkannya. Koresponden TEMPO melaporkan bahwa baik buruknya shiro byoshi (manuskrip) ini dinilai oleh sebuah tim inspeksi. Sayang, tim inspeksi ini telah lama disoroti sebagai tim yang tidak berjalan sebaiknya. Tak ayal, 600.000 orang Nikkyoso (Persatuan Guru) mengadakan protes terhadap cara kerja tim inspeksi, berbarengan dengan protes-protes negara tetangga Jepang. Menguatkan semua protes itu, Harian Rakyat di Beijing menurunkan tulisan: "Jerman Barat tak pernah menyembunyikan kekejaman yang telah diperbuat Hitler. Dan mengapa Jepang kini menempatkan Cina dan rakyatnya dalam tempat yang hina?" Suatu pertanyaan yang penting yang agaknya disepakati orang Koran Jepang terkemuka Yomiuri Shimbun misalnya turut mencela isi buku sejarah yang diperbarui ini. Dalam tajuknya, Yomiuri menekankan bahwa "Sebaiknya, pemerintah Jepang melakukan gerakan jujur dan lurus hati."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus