KENANGAN pahit nampaknya tak mudah mati. Perang Dunia II di Asia
telah hampir setengah abad lewat, Jepang telah kalah dan jadi
negeri pedagang, tapi apa yang pernah dilakukannya ternyata
masih bisa bikin amarah. Ini terjadi ketika Jepang mencoba
melukiskan sejarah perangnya di Asia buat generasi mudanya.
Reaksi keras terjadi -- terutama dari luar Jepang di hari-hari
ini.
Di Beijing, Wakil Menteri Luar Negeri RRC Wu Xueqian memanggil
Duta Besar Jepang Yague Katori. Dengan resmi dia meminta
pemerintah Jepang membetulkan buku teks sejarah bagi siswa
sekolah menengah di Jepang itu. "Buku sejarah yang direvisi itu
telah melanggar citra persahabatan RRCJepang," kata Wu Xueqian.
Ini merupakan tindakan protes terkeras dari pihak RRC, terhadap
revisi (penulisan kembali) buku sejarah Jepang. Soalnya, dalam
buku itu, kekejaman tentara sampai periode 1945 diperlunak
bahkan tak disebut lagi.
Sebelumnya, koran Harian Rakyat di Beijing, memperingatkan
pemerintah Jepang bahwa kalau sampai tidak diubah kembali buku
bacaan wajib itu, ia "bisa membakar opini publik lebih luas."
Warta Berita Pemuda, sebuah penerbitan resmi lain, kemudian
memuat gambar korban kekejaman tentara Jepang selama pendudukan
mereka di Cina. Buletin itu juga menulis bagaimana 3.000 orang
Manchuria dari kota Harbin jadi korban perang kuman dari suatu
percobaan rahasia tentara Jepang dari tahun 1939 sampai 1945.
Tak cuma itu reaksi Cina. Pemerintah RRC pun mencabut undangan
untuk Menteri Pendidikan Jepang Heiji Ogawa yang sedianya
berkunjung ke Beijing minggu depan. Dan satu demi satu,
koran-koran di RRC "menyerang" Jepang. Kantor berita resmi
Xinhua telah memuat interviu petani tua di sekitar jembatan
Marco Polo, Beijing yang menceriterakan betapa rekan dan
saudaranya dikubur hidup-hidup oleh tentara Jepang. Insiden
Marco Polo ini telah mengawali perang 8 tahun Cina-Jepang di
tahun 1937.
Protes terhadap buku yang sama bukan hanya terjadi di Beijing.
Di kedua Korea orang pun marah. Di Seoul, awal Agustus ini,
Korea Herald dalam tajuknya mengecam pemerintah Jepang yang
"telah mengelabui generasi muda di dunia dengan penyajian
sejarah yang dipalsukan." Di Pyongyang, harian Rodong Sinmun
(organ resmi dari Partai Komunis Korea Utara tidak kalah pedas
mencerca. "Pemerintah Jepang mulai membangkitkan kembali
militerismenya," tulisnya.
Kira-kira 300 orang dari Asosiasi Orang Tua di Seoul mengajukan
protes. Bahkan sebuah rumah makan di Seoul menempelkan tulisan
"Orang Jepang dilaran masuk," di depan pintunya. Di Hongkong,
sejumlah mahasiswa menyerahkan pula surat protes ke Konsulat
Jepang. Yang sepi cuma di Asia Tenggara. Sampai minggu pertama
Agustus, reaksi terhadap penulisan kembali buku sejarah tersebut
belum terdengar di kawasan Muangthai ke selatan, kawasan yang di
tahun-tahun awal 1940-an, tidak kurang menderita oleh pendudukan
Jepang.
PM Zenko Suzuki bukannya mengabaikan berbagai protes keras
negara tetangganya. Pekan lalu, dia memerintahkan kepada
pembantunya untuk mencoba meneliti kembali buku sejarah yang
menghebohkan itu. Suzuki khawatir kericuhan ini tidak akan
berhenti sampai di Cina dan Korea saja. "Protes bisa saja
merembet ke negara-negara Asia lainnya yang pernah ditaklukkan
Jepang sekitar 40 tahun yang lalu," demikian sumber Departemen
Luar Negeri Jepang.
Kasus buku sejarah ini dikhawatirkan akan mengganggu suasana
kunjungan PM Suzuki dalam September nanti ke Beijing, untuk
memperingati 10 tahun lamanya hubungan persahabatan Jepang-Cina.
Apa yang diprotes sebetulnya? Khususnya, perubahan pendataan
mulai dari restorasi Meiji (1867) sampai tahun 1945. Fakta
adanya sekitar 600.000 orang Korea yang jadi korban kerja paksa,
dibuang dalam buku yang direvisi. Semua ini kini disebut sebagai
"tenaga kerja sukarela," karena Korea dulu (1910-1945) berada di
bawah kekuasaan Jepang. Juga gerakan 1 Maret 1919, yang oleh
Korea dianggap sebagai pokok pangkal gerakan kemerdekaan ditulis
oleh Jepang sebagai "gerakan pemberontakan dan kerusuhan --
maklum orang Korea senang memberontak."
MENGENAI Cina, kata "invasi" (shinryaku) diganti dengan
istilah "maju" (shinshitsu). Peristilahan semacam ini memang
bisa menimbulkan perdebatan --yang sebenarnya di Jepang telah
berlangsung sejak 30 tahun, antara sejarawan beraliran kiri
dengan yang beraliran kanan. Tapi kesengajaan memperbaiki citra
Jepang dalam buku sejarah itu memang nampaknya jelas benar. Yang
merepotkan ialah bahwa itu dilakukan melalui badan resmi. Ini
mungkin cerminan semakin meningkatnya gerakan pemikiran ke sayap
kanan di Jepang akhir-akhir ini.
Semua textbook di Jepang memang harus diperiksa oleh Departemen
Pendidikan, sebelum perusahaan swasta menerbitkannya.
Koresponden TEMPO melaporkan bahwa baik buruknya shiro byoshi
(manuskrip) ini dinilai oleh sebuah tim inspeksi. Sayang, tim
inspeksi ini telah lama disoroti sebagai tim yang tidak berjalan
sebaiknya. Tak ayal, 600.000 orang Nikkyoso (Persatuan Guru)
mengadakan protes terhadap cara kerja tim inspeksi, berbarengan
dengan protes-protes negara tetangga Jepang.
Menguatkan semua protes itu, Harian Rakyat di Beijing menurunkan
tulisan: "Jerman Barat tak pernah menyembunyikan kekejaman yang
telah diperbuat Hitler. Dan mengapa Jepang kini menempatkan Cina
dan rakyatnya dalam tempat yang hina?"
Suatu pertanyaan yang penting yang agaknya disepakati orang
Koran Jepang terkemuka Yomiuri Shimbun misalnya turut mencela
isi buku sejarah yang diperbarui ini. Dalam tajuknya, Yomiuri
menekankan bahwa "Sebaiknya, pemerintah Jepang melakukan gerakan
jujur dan lurus hati."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini