SEJUMLAH wanita cantik sedang sibuk di sebuah ruangan yang
didandani agak bersemarak. Aroma parfum mengharumkan udara.
Namun ada sesuatu yang terasa memukau suasana. Di tempat yang
dirahasiakan itu, akhir April lalu, dilangsungkan final Kontes
Miss Indonesia 1982.
Andi Nurhayati, penyelenggaranya, terpaksa berbuat demikian
setelah munculnya berbagai reaksi yang tidak menyetujui
penyelenggaraan lomba dara ayu tersebut. Lagi pula izin
pemerintah tak kunjung turun. Meski publikasinya hanya
getok-tular, dari mulut ke mulut tak kurang dari 70 peserta
mendaftarkan diri.
Dari jumlah tersebut yang dianggap memenuhi syarat 50 peserta.
Setelah diseleksi tim juri yang terdiri dari lima orang,
terpilih 15 finalis. Dan pada malam final muncullah lima
pemenang: Rita Noni, Sri Yulianti, Andi Tendri, Lisa dan Susi
Taas. Mereka akan dikirimkan mengikuti lomba miss sejagat.
Namun karena Rita Noni nonpribumi, Andi Nurhayati mengurungkan
mengirimkannya ke Peru mengikuti kontes Miss Universe. Dengan
begitu tempat Rita Noni digantikan Sri Yulianti, 19 tahun, gadis
cantik kemanakan seorang jenderal. Adapun Andi Tendri ternyata
anak sulung Nurhayati sendiri, sedang Lisa anak Helena Rasyid,
ketua tim juri. Semua itu keterangan Andi Nurhayati kepada
TEMPO.
Lalu orang pun tertegun melihat potret Yanti sebagai peserta
Miss Universe 1982 di Lima (Peru) yang disiarkan akhir bulan
lalu. Tapi sementara itu, ternyata ada gadis Indonesia lainnya
yang mengikuti kontes Miss Asia Quest di Kuala Lumpur sejak 15
Juli lalu. Ia adalah Andi Tendri tadi -- gadis 16 tahun.
Malah bila Yanti tidak mendapat nomor apa pun, Tendri masih
beruntung masuk final bersama lima peserta lain. Peserta
seluruhnya 15 orang. Ia sempat pula mempromosikan jean merk
Bobson dan kopi Nescafe. Menurut Andi Nurhayati, sebenarnya
putrinya tidak secara resmi mengikuti kontes tersebut.
Sebabnya, ia merasa perlu "menenggang rasa terhadap pemerintah".
Andi Nurhayati, 36 tahun, selama ini memang getol
menyelenggarakan lomba dara ayu. Barangkali karena itulah ia
ditunjuk menjadi perwakilan penyelenggara pemilihan Miss
Universe untuk Indonesia oleh panitia yang berpusat di New York.
Menghadapi reaksi yang tidak menyetujui kegiatannya, tampaknya
ia tenang saja.
Reaksi seperti itu misalnya dari Menteri P&K. "Sejak menjabat
Menteri P&K saya sudah tidak setuju," kata Daoed Joesoef pekan
lalu. Sebab kontes-kontesan seperti itu, menurut Menteri, tidak
mencerminkan martabat wanita Indonesia. "Mereka dijadikan obyek
dagang oleh para sponsor."
Menurut Daoed Joesoef, memajukan derajat kaum wanita seharusnya
melalui pendidikan. Bukan dengan lomba kecantikan seperti itu.
"Kalaupun ada yang mengaitkannya dengan kegiatan kebudayaan, itu
alasan yang tidak benar," ujarnya lagi. Di luar negeri memang
ada juga kritik terhadap kontes seperti itu. "Tapi karena
masyarakat di sana liberal, hal itu dibiarkan saja," tambahnya.
Kegiatan seperti itu juga selalu dikaitkan dengan usaha
meningkatkan promosi pariwisata. Malah para pejabat dari
badan-badan resmi pariwisata juga menjadi unsur pimpinan
panitia penyelenggara. Tapi Drs. Soekarsono, Direktur Bina
Pelayanan Wisata Ditjen Pariwisata, membantah ikut sertanya
Indonesia dalam pemilihan ratu sedunia erat kaitannya dengan
promosi pariwisata.
"Justru pemandangan kecil seperti petani menggiring itik di
sawah misalnya, itu yang menarik wisatawan asing," katanya.
Meski begitu Soekarsono tidak keberatan terhadap kontes jenis
lain, seperti pemilihan ratu kebaya, ratu jamu dan semacamnya.
"Sebab hal itu masih erat dengan kepribadian kita," ujarnya.
Kontes perempuan cantik pertama kali diselenggarakan tahun 1967.
Ketika itu beberapa jenis kontes sudah pula diselenggarakan,
seperti pemilihan miss hotpant, abang dan none Jakarta, atau
ratu pantai. Kegiatan itu umumnya dikelola oleh panitia yang
dipimpin Usmar Ismail. Dibantu, tak lain tak bukan, oleh Andi
Nurhayati.
Sejak Usmar meninggal, 1969, Kepala Diparda DKI Sutopo
Josomihardjo membentuk Yayasan Putri Indonesia yang berkali-kali
menyelenggarakan lomba ratu atau putri Indonesia. Bersamaan
dengan itu kegiatan Andi Nurhayati pun menyurut. Belakangan
muncul Wim Tomasoa, yang mengirim para ratu Indonesia ke luar
negeri mengikuti kontes tingkat internasional.
Dan sejak Wim meninggal, sementara reaksi yang tidak menyetujui
kontes kontesan mulai santer, kegiatan macam itu hilang dari
peredaran. Barangkali karena Bung Hatta pada 1975 mengecamnya.
"Manusia diperlombakan seperti ternak saja," katanya. Ny. L.
Sutanto, ketika itu Ketua Kowani, sependapat "Tidak layak wanita
mempertontonkan tubuhnya. Biarlah saya dianggap kuno," katanya
ketika itu.
Masalahnya barangkali bukan soal kuno dan tidak kuno. Para
penyelenggara atau peserta lomba perempuan cantik itu, seperti
kata sementara bekas ratu, ternyata tak tahu persis untuk apa
kegiatan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini