Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Berita Tempo Plus

Ratu-ratuan, layak tak layak

Penyelenggaraan kontes miss indonesia 1982 dan pengiriman wakil indonesia ke lomba miss universe 1982 di peru, secara sembunyi-sembunyi. walaupun belum ada larangan secara resmi.(ils)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Ratu-ratuan, layak tak layak
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH wanita cantik sedang sibuk di sebuah ruangan yang didandani agak bersemarak. Aroma parfum mengharumkan udara. Namun ada sesuatu yang terasa memukau suasana. Di tempat yang dirahasiakan itu, akhir April lalu, dilangsungkan final Kontes Miss Indonesia 1982. Andi Nurhayati, penyelenggaranya, terpaksa berbuat demikian setelah munculnya berbagai reaksi yang tidak menyetujui penyelenggaraan lomba dara ayu tersebut. Lagi pula izin pemerintah tak kunjung turun. Meski publikasinya hanya getok-tular, dari mulut ke mulut tak kurang dari 70 peserta mendaftarkan diri. Dari jumlah tersebut yang dianggap memenuhi syarat 50 peserta. Setelah diseleksi tim juri yang terdiri dari lima orang, terpilih 15 finalis. Dan pada malam final muncullah lima pemenang: Rita Noni, Sri Yulianti, Andi Tendri, Lisa dan Susi Taas. Mereka akan dikirimkan mengikuti lomba miss sejagat. Namun karena Rita Noni nonpribumi, Andi Nurhayati mengurungkan mengirimkannya ke Peru mengikuti kontes Miss Universe. Dengan begitu tempat Rita Noni digantikan Sri Yulianti, 19 tahun, gadis cantik kemanakan seorang jenderal. Adapun Andi Tendri ternyata anak sulung Nurhayati sendiri, sedang Lisa anak Helena Rasyid, ketua tim juri. Semua itu keterangan Andi Nurhayati kepada TEMPO. Lalu orang pun tertegun melihat potret Yanti sebagai peserta Miss Universe 1982 di Lima (Peru) yang disiarkan akhir bulan lalu. Tapi sementara itu, ternyata ada gadis Indonesia lainnya yang mengikuti kontes Miss Asia Quest di Kuala Lumpur sejak 15 Juli lalu. Ia adalah Andi Tendri tadi -- gadis 16 tahun. Malah bila Yanti tidak mendapat nomor apa pun, Tendri masih beruntung masuk final bersama lima peserta lain. Peserta seluruhnya 15 orang. Ia sempat pula mempromosikan jean merk Bobson dan kopi Nescafe. Menurut Andi Nurhayati, sebenarnya putrinya tidak secara resmi mengikuti kontes tersebut. Sebabnya, ia merasa perlu "menenggang rasa terhadap pemerintah". Andi Nurhayati, 36 tahun, selama ini memang getol menyelenggarakan lomba dara ayu. Barangkali karena itulah ia ditunjuk menjadi perwakilan penyelenggara pemilihan Miss Universe untuk Indonesia oleh panitia yang berpusat di New York. Menghadapi reaksi yang tidak menyetujui kegiatannya, tampaknya ia tenang saja. Reaksi seperti itu misalnya dari Menteri P&K. "Sejak menjabat Menteri P&K saya sudah tidak setuju," kata Daoed Joesoef pekan lalu. Sebab kontes-kontesan seperti itu, menurut Menteri, tidak mencerminkan martabat wanita Indonesia. "Mereka dijadikan obyek dagang oleh para sponsor." Menurut Daoed Joesoef, memajukan derajat kaum wanita seharusnya melalui pendidikan. Bukan dengan lomba kecantikan seperti itu. "Kalaupun ada yang mengaitkannya dengan kegiatan kebudayaan, itu alasan yang tidak benar," ujarnya lagi. Di luar negeri memang ada juga kritik terhadap kontes seperti itu. "Tapi karena masyarakat di sana liberal, hal itu dibiarkan saja," tambahnya. Kegiatan seperti itu juga selalu dikaitkan dengan usaha meningkatkan promosi pariwisata. Malah para pejabat dari badan-badan resmi pariwisata juga menjadi unsur pimpinan panitia penyelenggara. Tapi Drs. Soekarsono, Direktur Bina Pelayanan Wisata Ditjen Pariwisata, membantah ikut sertanya Indonesia dalam pemilihan ratu sedunia erat kaitannya dengan promosi pariwisata. "Justru pemandangan kecil seperti petani menggiring itik di sawah misalnya, itu yang menarik wisatawan asing," katanya. Meski begitu Soekarsono tidak keberatan terhadap kontes jenis lain, seperti pemilihan ratu kebaya, ratu jamu dan semacamnya. "Sebab hal itu masih erat dengan kepribadian kita," ujarnya. Kontes perempuan cantik pertama kali diselenggarakan tahun 1967. Ketika itu beberapa jenis kontes sudah pula diselenggarakan, seperti pemilihan miss hotpant, abang dan none Jakarta, atau ratu pantai. Kegiatan itu umumnya dikelola oleh panitia yang dipimpin Usmar Ismail. Dibantu, tak lain tak bukan, oleh Andi Nurhayati. Sejak Usmar meninggal, 1969, Kepala Diparda DKI Sutopo Josomihardjo membentuk Yayasan Putri Indonesia yang berkali-kali menyelenggarakan lomba ratu atau putri Indonesia. Bersamaan dengan itu kegiatan Andi Nurhayati pun menyurut. Belakangan muncul Wim Tomasoa, yang mengirim para ratu Indonesia ke luar negeri mengikuti kontes tingkat internasional. Dan sejak Wim meninggal, sementara reaksi yang tidak menyetujui kontes kontesan mulai santer, kegiatan macam itu hilang dari peredaran. Barangkali karena Bung Hatta pada 1975 mengecamnya. "Manusia diperlombakan seperti ternak saja," katanya. Ny. L. Sutanto, ketika itu Ketua Kowani, sependapat "Tidak layak wanita mempertontonkan tubuhnya. Biarlah saya dianggap kuno," katanya ketika itu. Masalahnya barangkali bukan soal kuno dan tidak kuno. Para penyelenggara atau peserta lomba perempuan cantik itu, seperti kata sementara bekas ratu, ternyata tak tahu persis untuk apa kegiatan tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus