MASA kampanye baru mulai Mei mendatang, tapi suhu politik di berbagai daerah terutama di pedesaan mulai menghangat. Protes sudah berdatangan dari pengurus PPP dan PDI di berbagai daerah. Biang soalnya apa lagi kalau bukan soal keterlibatan aparat desa untuk memenangkan Golkar. Macammacam saja alasannya. Yang sekarang sedang ramai ialah tuduhan dari PPP dan PDI bahwa aparat desa melakukan sensus politik terhadap warga desa. Ini terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, dan Jakarta. Akibatnya, banyak warga kedua partai tadi yang sudah punya hak pilih merasa cemas. Dalam sidang pleno DPRD Kabupaten Kudus dua pekan lalu, misalnya, Fraksi PP mempersoalkan sensus tersebut terhadap warga di 18 desa di daerah itu. "Sensus itu dilakukan oleh pamong desa, pengurus RT, RW, dan pegawai negeri, terjadi hampir di tiap desa secara sporadis," kata Malichan, Ketua DPC PPP Kabupaten Kudus. Dalam sidang pleno sepekan sebelumnya, protes serupa disampaikan oleh Fraksi PDI. "Ini jelas menyalahi undang-undang," kata Soeparto, Ketua DPC PDI Kudus. Apa itu sensus politik? Ini tentu saja tak sama dengan sensus yang biasa dilakukan oleh para petugas BPS (Biro Pusat Statistik). Menurut Malichan, orang PPP tadi, sensus ini dilakukan oleh aparat desa dengan menakut-nakuti dan menekan penduduk agar mereka menjadi pendukung salah satu organisasi kontestan pemilu. Caranya, dalam dua bulan terakhir ini sejumlah aparat pemerintahan desa yang notabene adalah kader Golkar mendatangi rumah-rumah warga yang sudah memiliki hak pilih. Mereka menyodorkan blangko yang harus diisi penduduk. Di blangko itu tertera kolom nomor, nama warga, umur, dan kontestan pilihan warga pada pemilu mendatang. Terakhir, ada kolom tanda tangan. Rachmat, seorang warga Desa Glagah Kulon, Kudus, mengaku didatangi Ketua Rukun Tetangga (RT) Pardi. Setelah ia mengisi PPP pada kolom kontestan, ia dibujuk oleh Pardi agar pindah saja ke Golkar. "Bagaimana mungkin, jelek-jelek begini saya calon anggota legislatif untuk DPRD Kudus," kata Rachmat, pembantu komisaris PPP itu, kepada TEMPO. Hal serupa tapi caranya berbeda terjadi di Desa Ngadisono, Kecamatan Kaliwiro, Wonosobo, di provinsi yang sama. Di sini tak ada blangko. Selepas maghrib, bulan Februari yang lalu, para petugas mendatangi rumah-rumah penduduk. Aparat desa itu menanyai organisasi yang akan dipilih penduduk dalam pemilu mendatang. Kalau menjawab Golkar, aman. Tapi bila menjawab PPP atau PDI, mereka minta penduduk membubuhkan tanda tangan pada kertas yang mereka bawa. "Kami disuruh tanda tangan sebagai bukan pemilih Golkar," kata Marsudin, penduduk di Ngadisono. Anehnya, mereka tak pandang bulu. Muktasim Asyari, yang sudah jelas terdaftar sebagai wakil ketua Panitia Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu dari PPP di Kecamatan Kaliwiro, kena "sensus" juga. "Ya, saya jawab mau nyoblos PPP," kata Muktasim kepada wartawan TEMPO Heddy Lugito. Tapi, ketika petugas itu memaksanya menurunkan tanda tangan Muktasim menolak. Toh banyak penduduk yang tak seberani dia. "Karena mereka takut pada pak RT, mereka bilang saja mau nyoblos Golkar," kata Muktasim. Di Jakarta, Ishak, Kepala Desa Tomang, Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat, mengeluarkan surat edaran bertanggal 5 Februari 1992, yang meminta semua pengurus RT dan RW di daerahnya mencatat warga yatim piatu, cacat tubuh, dan para manula (manusia lanjut usia) yang akan memilih Golkar. Dari surat edaran itu, diketahui proyek ini bukan inisiatif kepala desa semata, tapi karena ada surat perintah dari Camat Grogol Petamburan. Akibat sensus ini, PDI Jakarta mengajukan keberatan ke Gubernur DKI Jakarta, Februari lalu. Sebenarnya, permainan seperti ini bukan cerita baru. Dari pemilu ke pemilu ada saja berbagai cara yang dilakukan aparat pemerintah untuk memenangkan Golkar. Tapi pemilu kali ini, yang berlangsung di zaman globalisasi dan keterbukaan, oleh banyak kalangan diharapkan akan berbeda dengan yang sudahsudah. Menteri Dalam Negeri Rudini, misalnya, sudah sejak beberapa waktu lalu menyebutnyebut pemilu kali ini lebih berkualitas. Lalu Ketua Umum Golkar Wahono dalam berbagai kesempatan selalu mengulang tekadnya untuk memenangkan Golkar dengan cara ksatria. Kalau begitu, kenapa perlu sensus? Tampaknya, hal itu akibat diberlakukannya sistem target yang ditetapkan pimpinan Golkar terhadap kader-kadernya di setiap desa. Kader itu sendiri umumnya adalah aparat pemerintahan desa, yang tampaknya amat khawatir tentang soal target itu. Sebab, tak tercapainya target berarti jabatan mereka terancam. Kalau dalam perolehan suara, hampir tak ada orang yang percaya bahwa dengan kondisi sekarang, Golkar bisa dikalahkan PPP ataupun PDI. "La wong, tanpa sensus saja sudah menang, kok, pakai sensus segala macam," kata H.A. Karmani, Ketua DPW PPP Jawa Tengah. Menteri Rudini menjanjikan, kalau ada oknum pemerintah desa yang terbukti melakukan sensus politik, akan ditindaknya. "Ya, harus ditindak, pasti saya semprit," kata Rudini. Rudini sendiri tak menutup kemungkinan terjadinya hal-hal seperti itu. Di depan peserta Munas GUPPI di Jakarta dua pekan lalu, misalnya, ia mengungkapkan pengalamannya suatu kali di daerah. Seorang lurah melapor dengan sigap. "Lapor, Pak, sembilan puluh persen warga desa sudah Golkar. Sepuluh persen lainnya sudah saya catat nama-namanya. Tinggal kita sikat saja," kata sang lurah, seperti ditirukan Rudini. Karuan saja Rudini marah. "Ini Pemilu, Pak, jangan asal main sikat saja," kata Rudini. Ia menasihati sang lurah tentang peran para lurah sebagai wasit pemilu di desanya. Agus Basri, Dwi S. Irawanto, Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini