Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENTERI Dalam Negeri Inggris Theresa May senang bukan kepalang. Di halaman muka beberapa media massa, potret wajah sumringahnya terpampang. Ia mengaku sangat lega. Sebab, seorang lelaki yang kehadirannya selama dua dekade dianggap sebagai duri bagi keamanan dalam negeri, pada Ahad dua pekan lalu, pergi. Sebuah pesawat sewaan dari pangkalan udara militer Inggris di utara London membawanya ke Yordania, negara tempat dia mencatatkan kewarganegaraannya. Dia dipaksa bersiap menghadapi pengadilan di Amman-mahkamah yang telah menunggunya selama 14 tahun.
"Saya senang saat ia melangkah masuk ke pesawat. Akhirnya, kami mendapatkan apa yang selama ini pemerintah dan parlemen perjuangkan. Ia pergi dari negara ini dan menghadapi pengadilan di negerinya sendiri," kata May seperti yang tertulis dalam situs resmi pemerintahan Inggris, www.gov.uk, Senin pekan lalu.
Lelaki bernama Abu Qatada itu disebut intelijen dalam negeri Inggris, MI5, sebagai tangan kanan Usamah bin Ladin di Eropa. Tuduhan yang menantinya adalah keterlibatannya dalam konspirasi jahat terorisme di dalam negeri Yordania. Atas perbuatannya itu, ia awalnya dihukum mati, tapi berkat pembelaan, hukumannya dikurangi menjadi penjara seumur hidup.
Abu Qatada terlahir dengan nama Umar Mahmud Muhammad Utsman di Bethlehem, Palestina, pada 1960. Pada masa itu, Bethlehem, yang berada di Tepi Barat, masih di bawah pemerintah Yordania. Walhasil, walau berdarah Palestina, lelaki 53 tahun itu dianugerahi warga negara Yordania. Qatada dan keluarganya keluar dari Yordania pada 1993. Mereka mencari suaka ke berbagai negara, termasuk Inggris.
Percobaan pertamanya masuk ke negeri Ratu Elizabeth itu berhasil pada September 1993. Berbekal paspor palsu Uni Emirat Arab, ia bersama istri dan lima anaknya menyusup ke dalam barisan para pencari suaka. Saat itu, kata Menteri May, Qatada berdalih mendapat tekanan dan siksaan dari aparat keamanan negaranya.
Afiliasinya dengan beberapa kelompok Islam garis keras, seperti Al-Qaidah, lantas menyeretnya ke dalam pusaran aksi kekerasan grup fundamental. Ia dituding mendalangi konspirasi peledakan sebuah sekolah Amerika pada 1999 dan Hotel Yerusalem di Amman setahun sebelumnya. "Ia dituduh membiayai atau mencarikan dana untuk aksi teror itu dari luar negeri," ujar May kepada Telegraph. Tuduhan lain muncul pada 2000 dari pengadilan yang juga tak dihadiri terdakwa Qatada, yang menghukumnya 15 tahun penjara atas ancaman bom pada perayaan pergantian tahun di Yordania.
Di Inggris, kehidupan Qatada berjalan dengan pengawasan penuh oleh negara. Namun aktivitas dakwahnya tak berhenti. Dalam sebuah pidato, sebulan setelah divonis hakim Yordania, ia mengeluarkan fatwa yang menghalalkan darah orang Yahudi. Ceramah itu lantas membuat ia harus mendekam di balik terali pada 2001. Penahanannya berpindah-pindah dari penjara Full Sutton, Long Martin, hingga terakhir mendarat di Belmarsh, London.
Qatada bebas pada 2005. Sebuah kekuatan tak terlihat, menurut dia, telah membayarkan jaminannya. Berdasarkan pengakuannya kepada tim pengacaranya, saat itu ia bebas selama lima bulan, dalam pengawasan intelijen dalam negeri yang ketat, sebelum akhirnya dijebloskan kembali ke balik terali. Sejak itu, Qatada keluar-masuk bui.
"Pemerintah kerap menahan tanpa tuduhan yang jelas. Mereka menangkap hanya berdasarkan dugaan intelijen soal klien kami yang melakukan rekrutmen Al-Qaidah di Eropa. Tuduhan itu menggelikan. Mereka sebenarnya tahu pemerintah Inggris tidak pernah berhasil membuktikan Abu Qatada bersalah," kata salah seorang pengacaranya, Tayseer Thiab, saat diwawancarai London Evening Standard.
Satu-satunya petunjuk yang bisa mengaitkan dan selalu dikait-kaitkan dengan Qatada, kata Thiab, hanyalah video pernyataan Al-Qaidah Afrika Utara (AQIM) yang ingin membebaskan Qatada dari belenggu pemerintah Inggris. Dalam videonya, mereka rela menukar Qatada dengan tiga orang sanderanya pada April 2012. "Semua orang bersimpati bisa saja, kelompok mana pun boleh, tapi apa itu berarti sebuah keterkaitan? Argumen mereka menggelikan," ujar Thiab.
Di sela semua itu, upaya mendeportasi Qatada ke Yordania berdasarkan putusan pengadilan 1999-2000 merupakan keinginan Inggris yang sejati. Sebab, membiarkan Qatada hidup bebas di negara mereka itu sama saja memelihara ketidakamanan. "Upaya pemulangan yang terjadi pekan lalu itu adalah berita yang melegakan. Bayangkan, perlu 12 kali pergantian Menteri Dalam Negeri untuk bisa memulangkan sebuah ancaman keamanan," ujar Perdana Menteri Inggris David Cameron.
Deportasi yang diupayakan Inggris sebelumnya memang menemui jalan buntu. Cerdiknya para pengacara Qatada, yang menyeret kasus sang ulama ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, membuat deportasi gagal selama bertahun-tahun. Argumen bahwa Yordania belum bisa menjamin tidak adanya penyiksaan apabila Qatada pulang kandang selalu menjadi dalih pengacara agar sang ustad tetap di Inggris.
"Pengadilan memutuskan, deportasi ke negara yang memungkinkan penyiksaan dianggap sebagai langkah ilegal bagi negara yang meratifikasi konvensi hak asasi manusia," kata Justice Irwin, petugas dari Komisi Khusus Peradilan Banding Imigrasi Inggris.
Namun pertemuan panjang dua negara, Inggris dan Yordania, membuahkan kesepakatan. Menurut Menteri May kepada saluran televisi berita Sky News, dua parlemen bersetuju membuat sistem penjara Yordania lebih baik dan memberi jaminan bagi Qatada. Kemudian kabar itu diajukan ke Mahkamah Agung Yordania dan Pengadilan Imigrasi Inggris untuk melanjutkan penuntutan atas Qatada. "Sebelum sempat diproses Pengadilan Imigrasi, Qatada mengatakan lewat pengacaranya bahwa dia secara sukarela kembali ke Yordania dengan syarat peradilannya adil dan transparan," ujar Irwin.
Akhirnya, kini pengembaraan hidup Abu Qatada berakhir di penjara Muwaqqar di pinggiran Kota Amman. Menurut salah seorang sipir, ia ditempatkan bersama 15 tahanan lain, tanpa pengawalan khusus. "Kami perlakukan sama dengan tahanan lain," katanya.
Ahad siang dua pekan lalu, beberapa jam setelah Qatada mendarat di Amman, seorang kakek berusia 84 tahun menyambutnya di gerbang pintu penjara. Mahmud Usman namanya. Ia ayah Qatada. Seorang saksi melihat Qatada tersungkur menangis di depan ayah yang selama 22 tahun tak ia temui itu, lalu menciuminya beberapa kali. "Kalian semua salah tangkap. Anak saya bukan yang kalian kira. Saya yakin kali ini ia benar dan akan segera dibebaskan dan itu adalah akhir jalannya," ujar Mahmud Usman dengan tegas kepada media yang berkerumun di luar penjara Muwaqqar.
Sandy Indra Pratama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo