Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Lika-liku Anak Si A Pek Pendek

Lika-liku persidangan Endang Wijaya, jalannya tersendat-sendat dan mencapai rekor terlama. Menyeret beberapa pejabat, termasuk hakim. Riwayat hidup Endang Wijaya sampai menjadi jutawan.

22 Februari 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERJALANAN hidup Endang Wijaya alias Yap Eeng Kui alias A ^Tjai, 54, memang antara keberuntungan dan kemalangan. Hal itu bukan saja menimpa dirinya sendiri, tapi juga pejabat-pejabat yang dekat tengannya, bahkan juga penegak hukum yang menangani kasusnya sejak ia diusut dengan tuduhan memanipulasikan uang negara sebanyak Rp 23 milyar. Pengusaha yang dikenal royal membagi-bagi rezeki itu ketika diusut, 1977, merontokkan belasan pejabat DKI, Bank Bumi Daya, dan Pajak, yang dianggap telah menerima hadiah darinya. Di antaranya Wali Kota Jakarta Utara Dwinanto, Wagub DKI Prajogo, Dirut BBD Massie, Direktur BBD Natalegawa--yang disebut terakhir itu satu-satu pejabat yang ikut diadili. Ketika ia duduk pertama kalinya di kursi terdakwa, Oktober 1978, pembelanya, Gani Djemat, terdepak dari kursi tim pembela, karena ia mencabut kuasanya tanpa alasan yang jelas. Konon, karena ada tekanan dari pihak kejaksaan. Sebab itu, pada sidang kedua, hanya tampil Budhi Soetrisno dan (Almarhum) Azwar Karim sebagai pembela. Tapi, entah kenapa, ketika sidang berjalan, kedua pengacara ini juga terserang sakit. Begitu pula tim jaksa yang menanganinya yang terdiri dari Anas Bhisma, Suyitno, dan P.A. Susanto, terpaksa berganti-ganti muncul disidang karena sakit. Anas Bhisma terpaksa dirawat dalam waktu yang lama akibat penyakit yang dideritanya. Rekannya, Susanto, belakangan malah mengundurkan diri dari aparat kejaksaan, ketika sidang tengah berlangsung. Majelis Hakim yang menangani kasus itu, yang terdiri dari H.M. Soemadijono, J.Z. Loudoe, dan Hanky Izmu Azhar, tak terhindar pula dari "musibah". Majelis hakim itu sempat disorot masyarakat, ketika Endang Wijaya "disabet" Laksusda Jaya, karena diizinkan di tahanan luar dengan alasan sakit. Ketika diambil dari rumah kontrakannya di Jalan Tosari 79, 3 Mei 1980, Endang Wijaya sudah hampir lima bulan menikmati masa tahanan luar. Mala petaka lebih serius adalah ketika ketiga hakim senior itu diperiksa Opstib. Belakangan mereka diberhentikan dari jabatan setelah aparat Kopkamtib itu mengusut penyelewengan di lembaga pengadilan. Memang tidak ada yang terbukti menerima apa pun dari Endang. Tapi Hakim Loudoe, misalnya, belakangan diadili dalam kasus lain. Akibat ketiga hakimnya kena Opstib, nasib Endang pun semakin sial. Persidangannya diulang kembali oleh majelis baru yang diketuai Slamet Riyanto. Hakim ini memang luput dari musibah: Juli 1981, Endang Wijaya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara. Tapi itulah sidang terlama, dengan 131 kali sidang, dalam masa dua tahun. Setelah itu tidak ada lagi berita menarik, kecuali tentang vonis Endang Wijaya yang diperkuat oleh peradilan banding dan peradilan kasasi. Ia, yang terbukti menyuap pejabat, tidak mendapat grasi dari Presiden, kendati Almarhum Natalegawa, yang semula divonis karena menerima suap darinya, mendapat pengampunan. Tiba-tiba, pekan lalu, kembali ia diributkan. Kali ini yang sial adalah jajaran Pemasyarakatan. Tapi tentu saja yang terlebih malang adalah Endang Wijaya sendiri. Sebab, dengan kemarahan Menteri Kehakiman Ismail Saleh itu, bisa dipastikan, ia tidak akan mendapatkan remisi Agustus nanti -- hadiah Presiden berdasarkan usul Menteri. Dilahirkan dari keluarga miskin di Desa Pon, Kecamatan Sungai Rampah, Sumatera Utara, Endang Wijaya memang mempunyai perjalanan hidup yang berliku-liku. Ayahnya, yang disebut penduduk desanya dengan "Si A Pek Pendek", hanyalah petani sayur yang konon dililit utang di desanya. Sebab itu, Endang Wijaya dan tiga orang adiknya tidak menikmati bangku sekolah -- ia masih lebih beruntung sempat bersekolah sampai kelas III SD. Kepahitan itu yang membuatnya jadi ulet dan berhasil sebagai pengusaha. Ia memulai kariernya sebagai tengkulak beras yang gagal di kampungnya. Utang melingkari pinggangnya. Sebab itu, ia menghilang dari Desa Pon. Ia muncul lagi, sesudah menikah dengan Tio Kie San, anak seorang tokoh Baperki di daerah itu sekitar 1960-an. Penduduk kampungnya tercengang karena ia muncul dengan mobil sedan dan sering tampil bersama pejabat-pejabat, seperti Danramil, Dandim, atau Dansek di daerah itu. Tapi, setelah 1965, Endang Wijaya benar-benar menghilang. Ia juga tidak muncul ketika rumah mertuanya dibakar massa (TEMPO, 21 Oktober 1978). Barulah 1970-an orang Desa Pon mendengar kabar baik itu: Anak Si A Pek Pendek sudah menjadi jutawan di Jakarta. Kariernya sebagai pemborong ternyata melambung. Ternyata, roda kehidupan itu berputar lagi: Pada 1977, ia diusut Opstib, dan sampai kini hanya cerita sedih yang menimpanya. Tapi semelarat-melaratnya sekarang, ia masih saja pemilik PT Jawa Building Indah, yang tentu saja lebih hebat dari gambaran anak Si A Pek Pendek itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus