DUA hari memutar pikiran di Brussel pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS James Baker, Perdana Menteri Portugis Joao de Deus Pinheiro, serta dua diplomat Kanada dan Jepang melahirkan ide Pusat Ilmu dan Teknologi Internasional. Pusat ilmu ini akan dibangun di Moskow dan diharapkan mulai beroperasi di musim panas mendatang. Program senilai US$ 100 juta itu akan dipikul bersama. Inilah cara negara-negara Barat dan Jepang mencoba mencegah larinya ilmuwan eksSoviet, terutama para ahli senjata nuklir, ke negara lain. Adalah Menteri Luar Negeri Jerman Hans Dietrich Genscher yang melontarkan peringatan pertama. "Bagaikan sedetik menjelang pukul 12.00," kata Genscher, "bila para ilmuwan nuklir itu tak segera dipayungi, dikhawatirkan mereka akan menjajakan pengetahuan sampai piranti maupun bahan baku nuklirnya ke luar negeri." Rekan Genscher dari Amerika segera menyambut peringatan itu. Dan Baker bukan cuma menyambut. Ia segera melobi Kongres AS, dan disetujuilah dana awal sebesar US$ 400 juta untuk berbagai proyek yang menyangkut masalah penanggulangan kebocoran ilmuwan di negara eksSoviet, termasuk pembentukan Pusat Ilmu dan Teknologi Internasional tadi. Ketika James Baker berbicara di Chelyabinsk-70, laboratorium nuklir di Pegunungan Ural, Siberia, Februari lalu, tersirat gagasan bahwa Pusat Ilmu dan Teknologi itu selain sebagai payung para ilmuwan nuklir internasional, juga akan dikembangkan menjadi pusat penelitian nuklir untuk damai. Tapi beberapa surat kabar di Moskow malah mengulas berita itu sebagai tipuan propaganda. "Ini cara Barat menginvestasikan modal," kata Nikolai Ponomarev-Stepnoi, wakil direktur Institut Energi Atom Kurchatov di Moskow. Untunglah, suara-suara negatif itu segera lenyap, setelah Menteri Luar Negeri Kozyrev menyatakan bahwa kerja sama ini bermasa depan yang cukup cerah. "Kami setuju bahwa akhirnya kita menjadi sekutu," kata menteri luar negeri Rusia itu. Soalnya, Menteri Kozyrev pun merasa tak punya cara menyetop larinya ilmuwan dan bahan-bahan nuklir ke luar Rusia. Beberapa waktu lalu dua warga Rusia tertangkap karena menjual 1,2 kg uranium di pasar gelap Jerman. Kemudian, muncul kabar hilangnya beberapa senjata berhulu ledak nuklir di Rusia. Tapi kebenaran berita yang terakhir ini belum dicek. Menteri Kozyrev sendiri membantahnya ketika ditanya oleh rekannya dari Jerman. Memang santer berita-berita yang mengatakan sejumlah ilmuwan eksSoviet lari ke proyek nuklir di Aljazair dan Libya. Konon, sejumlah lagi akan segera meneken kontrak dengan Kuba, Suriah, India, dan juga Mesir. Tapi belum tentu semua hanya kabar burung. Keadaan memungkinkan itu terjadi. Para ilmuwan, yang dulu mendapat penghasilan bagus pada zaman ekonomi masih disubsidi negara, kini harus melihat kenyataan bahwa gaji mereka hanya cukup untuk hidup kurang dari seminggu. Padahal, mereka tahu, di luar Rusia banyak negara membutuhkan keahlian mereka. Maka, kesepakatan untuk mendirikan Pusat Ilmu dan Teknologi Internasional di Moskow dalam waktu cepat merupakan filter yang tepat. Bahkan Amerika kini sedang membicarakan kerja sama di bidang pusat komputer dengan Rusia, yakni pusat komputer yang bisa menginformasikan secara dini serangan nuklir dari pihak ketiga. Melihat kesibukan tersebut, tampaknya makin sempit kemungkinan adanya mereka yang mencoba mencari nuklir dalam kesempitan. SI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini