BANYAK bangunan hancur, dan puing berserakan. Pemandangan
begini di Beirut Barat mirip dengan keadaan sesudah gempa. Tapi
"gempa" itu seringkali berulang, dan makin dahsyat. Seperti
disiarkan Radio Beirut, kejadian pekan lalu saja menewaskan
lebih 300 orang sipil, penduduk Libanon dan Palestina.
Pengeboman jet dan tembakan meriam Israel sudah tidak
membeda-bedakan lagi penduduk sipil dan markas PLO, pejuang
Palestina. Menjadi jelas bagi siapa pun: Tidak akan aman berdiam
di Beirut Barat, tempat sekitar 6.000 gerilyawan PLO bertahan.
Israel pekan lalu memperhebat pengebomannya justru selagi Philip
C. Habib, utusan khusus Presiden Amerika hampir berhasil dalam
tuuan diplomasinya mengungsikan pemimpin PLO Yasser Arafat dan
semua pengikutnya dari bagian kota Beirut yang terkepung itu.
PLO dikabarkan sudah bersedia meninggalkan Beirut Barat asalkan
keselamatan pengungsiannya terjamin. Untuk itu Israel diminta
terlebih dulu menarik pasukannya, tapi Menachem Begin tegas
menolak. Bahkan PM Begin mengancam rencana kedatangan tim
peninjau dari PBB untuk memonitor gencatan senjata yang selama
ini tak dipatuhi Menteri Pertahanan Israel, Ariel Sharon, yang
sejak semula langsung memlmpin invasi ke Libanon.
Presiden Reagan bukan hanya meminta penarikan mundur pasukan
Israel, tapi juga telah menghimb au agar Israel menghentikan
pengebomannya selama perundingan berlangsung. Artinya, minimal
gencatan senjata supaya ditaatinya.
Aksi militer Israei di Beirut, demikian surat Presiden Reagan
pada PM Begin, membuat hubungannya dengan AS agak terganggu.
Media Israel menilai surat itu merupakan teguran Washington yang
paling keras sejak invasi Israel (6 Juni) ke Libanon.
Missi Habib, di mata Gedung Putih, berada dalam "tahap kritis"
karena Israel melanjutkan aksi militernya. Sebaliknya, kabinet
Begin menganggap aksi militer Israel justru membantu usaha
diplomasi Habib untuk menekan PLO supaya segera mengungsi. PLO
malah dituduhnya memakai siasat mengulur waktu.
Sebuah poll pendapat menunjukkan bahwa dukungan masyarakat
Israel terhadap perang di Libanon telah merosot dari 83% ke 76%
selama sebulan terakhir. Korban tentara Israel juga bertambah --
22 orang tewas dan sekitar 75 lainnya luka pekan lalu. Dan dari
hari ke hari reaksi Washington makin tak menguntungkan bagi
Israel.
Sikap AS terhadap Israel sebenarnya masih lunak, setidaknya
begitu terdengar penilaian Arab Saudi pekan lalu. Mendapat
tekanan dari sesama negara Arab, Raja Fahd kabarnya sudah
menyetujui gagasan mengadakan konperensi puncak. Gagasan itu
berasal dari Maroko, bertujuan mengatur aksi bersama dalam
menghadapi krisis Libanon.
UNI Soviet -- sementara kekecewaan Arab terhadap AS berkembang
mengajukan satu resolusi di Dewan Keamanan PBB supaya semua
pengiriman senjata untuk Israel dihentikan. Toh AS kontan hari
Jumat memveto resolusi Soviet itu. Hari (6 Agustus) itu juga
Israel menyerang lagi Beirut Barat, tentu saja, dengan pesawat
dan bom dari Amerika. "Veto Amerika membantu lagi kaum Zionist,"
tulis Khaleej Times, koran Persatuan Emirat Arab.
Bom Israel berjatuhan di wilayah perdagangan Beirut Barat,
meruntuhkan a.l. satu bangunan tempat squad 17, satuan keamanan
PLO bermarkas. PM Libanon Shafiq al-Wazan baru saja hari itu
berbicara pada pers: "Saya kira kami (dengan Habib) hampir
mencapai persetujuan final (tentang operasi pengungsian PLO).
Satuan tank Israel, yang dilindungi oleh tembakan artileri,
meluncur ke Jalan Museum, lintasan utama yang memisahkan bagian
utama Beirut Bart dari kubu Palestina ke selatan. PLO
memberikan pedawanan sengit terhadap serangan tank maupun jet
Israel. Serangan Jumat itu sungguh memecahkan ketenangan sesudah
tembakan gencar Israel hari Rabu.
Dari Beirut Barat (berpenduduk 500. 000) sudah cukup banyak
iringan kendaraan membawa manusia yang hendak menyelamatkan diri
ke Timur. Tapi hanya kalangan atas -- baru sekitar 12.000 orang
-- yang berduit dan mampu menyeberang (green line) perbatasan.
Tidak aman berdiam di Beirut Barat demikian gerangan pesan
Israel lewat serangannya yang membabi-buta. Tapi ternyata
sebagian besar penduduk memilih, tentu karena terpaksa oleh
keadaan tinggal bersama PLO. Apakah Israel tega menyerang terus?
Dalam sebuah pidato di Jerusalem pekan lalu, PM Begin
menyatakan, "jika mereka (PLO) tidak pergi, kita akan
menyelesaikannya (secara militer)". Menjawab tekanan AS, Begin
berteriak, "tak seorangpun akan membuat Israel bertekuk lutut,
kecuali Tuhan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini