Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Berita Tempo Plus

Siasat israel menjegal habib

PM Menachem Begin mengabaikan teguran Presiden Ronald Reagan. Dan memilih aksi militer supaya PLO terdesak untuk mengungsi dari beirut barat. Reagan nampaknya tak berdaya. (ln)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Siasat israel menjegal habib
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK bangunan hancur, dan puing berserakan. Pemandangan begini di Beirut Barat mirip dengan keadaan sesudah gempa. Tapi "gempa" itu seringkali berulang, dan makin dahsyat. Seperti disiarkan Radio Beirut, kejadian pekan lalu saja menewaskan lebih 300 orang sipil, penduduk Libanon dan Palestina. Pengeboman jet dan tembakan meriam Israel sudah tidak membeda-bedakan lagi penduduk sipil dan markas PLO, pejuang Palestina. Menjadi jelas bagi siapa pun: Tidak akan aman berdiam di Beirut Barat, tempat sekitar 6.000 gerilyawan PLO bertahan. Israel pekan lalu memperhebat pengebomannya justru selagi Philip C. Habib, utusan khusus Presiden Amerika hampir berhasil dalam tuuan diplomasinya mengungsikan pemimpin PLO Yasser Arafat dan semua pengikutnya dari bagian kota Beirut yang terkepung itu. PLO dikabarkan sudah bersedia meninggalkan Beirut Barat asalkan keselamatan pengungsiannya terjamin. Untuk itu Israel diminta terlebih dulu menarik pasukannya, tapi Menachem Begin tegas menolak. Bahkan PM Begin mengancam rencana kedatangan tim peninjau dari PBB untuk memonitor gencatan senjata yang selama ini tak dipatuhi Menteri Pertahanan Israel, Ariel Sharon, yang sejak semula langsung memlmpin invasi ke Libanon. Presiden Reagan bukan hanya meminta penarikan mundur pasukan Israel, tapi juga telah menghimb au agar Israel menghentikan pengebomannya selama perundingan berlangsung. Artinya, minimal gencatan senjata supaya ditaatinya. Aksi militer Israei di Beirut, demikian surat Presiden Reagan pada PM Begin, membuat hubungannya dengan AS agak terganggu. Media Israel menilai surat itu merupakan teguran Washington yang paling keras sejak invasi Israel (6 Juni) ke Libanon. Missi Habib, di mata Gedung Putih, berada dalam "tahap kritis" karena Israel melanjutkan aksi militernya. Sebaliknya, kabinet Begin menganggap aksi militer Israel justru membantu usaha diplomasi Habib untuk menekan PLO supaya segera mengungsi. PLO malah dituduhnya memakai siasat mengulur waktu. Sebuah poll pendapat menunjukkan bahwa dukungan masyarakat Israel terhadap perang di Libanon telah merosot dari 83% ke 76% selama sebulan terakhir. Korban tentara Israel juga bertambah -- 22 orang tewas dan sekitar 75 lainnya luka pekan lalu. Dan dari hari ke hari reaksi Washington makin tak menguntungkan bagi Israel. Sikap AS terhadap Israel sebenarnya masih lunak, setidaknya begitu terdengar penilaian Arab Saudi pekan lalu. Mendapat tekanan dari sesama negara Arab, Raja Fahd kabarnya sudah menyetujui gagasan mengadakan konperensi puncak. Gagasan itu berasal dari Maroko, bertujuan mengatur aksi bersama dalam menghadapi krisis Libanon. UNI Soviet -- sementara kekecewaan Arab terhadap AS berkembang mengajukan satu resolusi di Dewan Keamanan PBB supaya semua pengiriman senjata untuk Israel dihentikan. Toh AS kontan hari Jumat memveto resolusi Soviet itu. Hari (6 Agustus) itu juga Israel menyerang lagi Beirut Barat, tentu saja, dengan pesawat dan bom dari Amerika. "Veto Amerika membantu lagi kaum Zionist," tulis Khaleej Times, koran Persatuan Emirat Arab. Bom Israel berjatuhan di wilayah perdagangan Beirut Barat, meruntuhkan a.l. satu bangunan tempat squad 17, satuan keamanan PLO bermarkas. PM Libanon Shafiq al-Wazan baru saja hari itu berbicara pada pers: "Saya kira kami (dengan Habib) hampir mencapai persetujuan final (tentang operasi pengungsian PLO). Satuan tank Israel, yang dilindungi oleh tembakan artileri, meluncur ke Jalan Museum, lintasan utama yang memisahkan bagian utama Beirut Bart dari kubu Palestina ke selatan. PLO memberikan pedawanan sengit terhadap serangan tank maupun jet Israel. Serangan Jumat itu sungguh memecahkan ketenangan sesudah tembakan gencar Israel hari Rabu. Dari Beirut Barat (berpenduduk 500. 000) sudah cukup banyak iringan kendaraan membawa manusia yang hendak menyelamatkan diri ke Timur. Tapi hanya kalangan atas -- baru sekitar 12.000 orang -- yang berduit dan mampu menyeberang (green line) perbatasan. Tidak aman berdiam di Beirut Barat demikian gerangan pesan Israel lewat serangannya yang membabi-buta. Tapi ternyata sebagian besar penduduk memilih, tentu karena terpaksa oleh keadaan tinggal bersama PLO. Apakah Israel tega menyerang terus? Dalam sebuah pidato di Jerusalem pekan lalu, PM Begin menyatakan, "jika mereka (PLO) tidak pergi, kita akan menyelesaikannya (secara militer)". Menjawab tekanan AS, Begin berteriak, "tak seorangpun akan membuat Israel bertekuk lutut, kecuali Tuhan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus