BERKAT kegigihan Jaksa Agung Ismail Saleh, perkara Tampomas II
akhirnya jadi juga dibawa ke meja hijau. Tapi para tertuduh yang
minggu ini disidangkan tidak diadili karena tenggelamnya kapal
beserta lebih 600 orang penumpangnya Januari tahun lalu. "Mereka
disidangkan karena tuduhan korupsi dalam pembelian dan pengadaan
kapal itu, bukan karena menyebabkan matinya orang lain," ujar
Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, A.I. Adnan -- sekarang
menjabat Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi DKI -- yang
melimpahkan perkara itu ke pengadilan.
Semula pihak kejaksaan memang melihat kemungkinan menuntut
Nuzwari Chatab, Gregorius Hendra, Santoso Sumarli, dan H.
Mandagi melakukan perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain.
Tapi, kata sumber TEMPO di Kejaksaan Agung, tuduhan itu ternyata
sulit dibuktikan. "Sama saja membuktikan penjual pisau ikut
serta dalam perkara pembunuhan," kata sumber yang ikut memeriksa
kasus itu.
Sebab itu keempat tertuduh hanya dimajukan ke sidang dengan
tuduhan pemalsuan dan korupsi. Mencari data bagi dua tuduhan
itu saja ternyata beban yang berat bagi pemeriksa. Tim yang
dibentuk oleh Jaksa Agung dan diawasi langsung oleh Jaksa Agung
Muda bidang Operasi M. Salim dan bidang Intelijen Datuk Mulia,
hanya diberi waktu 110 hari. "Insya Allah target waktu itu bisa
kami selesaikan," ujar seorang anggota tim.
Langkah pertama tim yang diketuai langsung Kepala Direktorat
Penyidikan Kejaksaan Agung, almarhum Anas Yakub, adalah
menangkap Kepala Perwakilan Komodo Marine, George Hendra tanggal
27 Juli tahun lalu. Dari orang yang menjual kapal Great Emerald
-- yang kemudian diubah KM Tampomas II -- diharapkan dapat
dikorek kasus korupsi dalam pembelian kapal itu oleh PT PANN.
Penyidikan itu tampaknya tidaklah ringan. Dari George atau semua
saksi, "tidak ada yang mengaku pernah menyuap atau disuap". Tim
pemeriksa yang terdiri dari beberapa jaksa senior di Kejaksaan
Agung antara lain M.H. Silaban, Suhadibroto, dan Bob Nasution,
bekerja siang malam untuk itu. Tapi gagal. Apalagi George Hendra
yang sempat "disimpan" di Kejaksaan Agung sampai hari Natal
tahun lalu dikabarkan menutup rapat pintu ke arah "suap" itu.
Kesulitan lain yang dialami pemeriksa adalah keterangan Menteri
Perhubungan di DPR, ketika kasus itu tengah ditangani Kejaksaan
Agung. Menteri Rusmin Nuryadin di depan wakil rakyat itu
menegaskn tidak ada masalah manipulasi dalam pengadaan kapal
itu. "Itu menyebabkan tugas kami menjadi berat," ujar sumber
TEMPO itu.
Namun, berkat penyidikan terus menerus kasus itu bisa juga
diberkaskan. Apalagi ada bantuan penyidikan dari BPK tentang
masalah keuangannya. Untungnya pula, seperti komentar seorang
pengacara undang-undang "korupsi" itu merupakan undang-undang
"karet". Pasal-pasal di perundangan itu, bisa menjerat siapa
saja yang dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau
orang lain dengan merugikan keuangan negara.
Toh pihak kejaksaan masih punya kesangsian. Kabarnya dalam
suratnya kepada Jaksa Agung, Ketua Tim Pemeriksa almarhum Anas
Yakub, menyebutkan sebuah putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang
membebaskan seorang penyelundup dari tuduhan subversi, karena
pelaku bukan pegawai negeri. Tampaknya pihak kejaksaan was-was
kalau pengadilan nantinya bersikap serupa dalam kasus George
Hendra dan Santoso Soemarli.
Faktor lain yang dikhawatirkan tim pemeriksa adalah membuktikan
unsur melawan hukum. Sebab dalam kasus Pluit, hakim menyatakan
perbuatan Endang Wijaya tidak terbukti melawan hukum karena
penunggakan pengembalian kreditnya disetujui BBD. Kasus itu
mirip dengan kasus Komodo Marine yang juga menyebutkan
kekurangan atas kapal itu disetujui oleh pembeli yaitu PT PANN,
dan ada kesanggupan George Hendra untuk melengkapi kekurangan.
Tapi semua kekhawatiran itu konon hilang, setelah pemerintah
memutuskan kasus Tampomas II harus diselesaikan secara tuntas di
pengadilan.
Keempat tersangka akhirnya dituduh melakukan korupsi. Bob
Nasution dalam tuduhan yang dibacakannya Senin lalu,
menitikberatkan unsur melawan hukum dari perbuatan Nuzwari
Chatab dengan ditandatanganinya Protocol of delivery (berita
acara penyerahan) bersama George Hendra tanggal 27 Mei 1980.
Isi perjanjian itu dianggap jaksa bertentangan dengan kenyataan
yang sebenarnya. Sebab, di situ disebutkan kapal diserahkan, "in
good order in accordance with term and condition of the
agreement". Padahal kapal itu saat diterima PT PANN terdapat
kekurangan yang prinsipil sekali dalam notasi kelas, yaitu kapal
barang bukan penumpang. Dalam Memorandum of Agreement disebutkan
kapal diserahkan dengan kelas N.K. Passenger Cargo Vehicle &
Ferry.
Apalagi beberapa peralatan kapal sepertl TV, SSB, sekoci,
pemadam api ternyata tidak cocok pula dengan Memorandum of
Agreement. "Walaupun kemudian dilengkapi oleh Komodo Marine,
tapi waktu kapal tenggelam ada 90 items yang tidak ada," ujar
sumber pemeriksa. Padahal untuk melengkapi kapal itu kembali, PT
Pelni sudah mengeluarkan uang Rp 8 juta. "Itu kan merugikan
negara," tambah sumber itu.
Jaksa yang tidak mau disebutkan namanya itu yakin, tuduhan bisa
dibuktikan. "Apalagi ketika Protocol of delivery itu
ditandatangani, Inspektur yang harus memeriksa kapal itu sebelum
dibeli, belum selesai melakukan tugasnya," kata sumber itu.
Semua kekurangan yang disetujui saja oleh Nuwari Chatab itu,
dikalkulasi tim pemeriksa mencapai angka Rp 133 juta seperti
disebutkan dalam tuduhan.
Pendapat sumber ini dibantah pembela George Hendra dan Santoso
Sumarli, Haryono Tjitrosubono. "Sebenarnya jaksa tidak mengerti
perbedaan apa yang disebut kapal penumpang dengan kapal barang,"
komentarnya sambil tertawa. Ia membenarkan, sertifikat Great
Emerald ketika masih berbendera Panama merupakan kapal barang.
"Tapi persyaratan untuk kapal di setiap negara berbeda-beda,"
tambahnya. Contohnya syarat kelas dek untuk kapal penumpang
Indonesia tidak dikenal di Eropa. Kapal Tampomas II, menurut
dia, sudah diberi sertifikat kapal penumpang oleh Ditjen
Perhubungan Laut.
HARYONO juga mengomentari masalah kedua yang dituduhkan jaksa:
perubahan notasi kelas yang dilakukan Komodo Marine tidak
dilaksanakan sepenuhnya. Menurut perjanjian harga kapal US$
8.300.000 meliputi biaya perubahan kelas sebanyak US$ 350. 000.
Tapi, Komodo Marine hanya mengeluarkan biaya untuk itu sebanyak
US$ 150.000. Sisanya, US$ 200.000 dianggap merugikan negara.
"Padahal perbedaan itu wajar sebab penjual tentu mencari
keuntungan dengan menekan pengeluaran sekecil mungkin," ujar
Haryono yang juga menabat Ketua Peradin. Dan uang sebanyak itu,
menurut dia belum memperkaya diri. "Kalau itu korupsi kita lihat
saja di sidang nanti," tambahnya.
Melihat jumlah kerugian negara yang hanya sekitar Rp 100 juta,
pembela Nuzwari Chatab, Azwar Karim, menganggap kasus Tampomas
II sebagai perkara kecil. "Dalam kasus Pluit misalnya dianggap
negara telah dirugikan beberapa milyar rupiah," kata Azwar yang
juga pernah membela Endang Wijaya dan Natalegawa. Sebab itu ia
yakin kesalahan Nuzwari tidak akan terbukti di persidangan.
"Saya yakin klien saya bersih. Jelas tidak ada suap, juga tidak
ada perbuatan melawan hukum," katanya.
Batalnya tuduhan melawan hukum, kata Azwar, karena adanya
dokumen dari pembuat kapal yaitu Mitsubishi Heavy Industries
Ltd. di Jepang yang menyebutkan kapal car-ferry Great Emerald
itu, bisa berfungsi juga sebagai kapal penumpang. "Jadi tidak
pernah Nuzwari menandatangani perjanjian yang bertentangan
dengan fakta sebenarnya," tambah Azwar lagi.
Besarnya kasus ini, menurut Azwar, hanya karena Tampomas II
tenggelam. Tapi ibarat orang membeli mobil, "kalau kemudian
mobilnya masuk jurang, yang salah pengemudi atau pembeli mobil,"
komentar Azwar yang pernah berhasil melepaskan Natalegawa dari
tuduhan dan tuntutan korupsi itu. Apalagi tenggelamnya kapal itu
terjadi setelah beberapa bulan kapal itu dioperasikan.
"Penyebabnya juga bukan karena bocor, tapi karena kebakaran yang
tidak ada hubungannya dengan pembelian," ujarnya. Ia malah
menganggap kasus itu tidak akan pernah ada kalau kapal Tampomas
tidak tenggelam.
Sebab itu, baik Azwar maupun Haryono melihat kasus yang diajukan
oleh kejaksaan itu merupakan kasus perdata biasa, menyangkut
wansprestasi. Kalaupun ada kekurangan setelah jual beli,
"pembeli bisa menggugat melalui lembaga perwasitan di London
seperti disebutkan dalam perjanjian," kata Haryono Tjitrosubono.
Segi perdata dalam jual beli kapal itu memang ada seperti
dikatakan oleh pengacara terkenal Prof. Mr. Sidharta Gautama.
"Seharusnya bila PT PANN tahu kapal itu banyak kekurangan dari
yang diperjanjikan, ia bisa membatalkan perjanjian dan tidak
menerimanya," ujar Gautama. Ahli hukum perdata internasional itu
mengatakan, PT PANN bisa mengajukan gugatan perdata bila
mengetahui kekurangan itu setelah menerima kapal.
Untuk gugatan semacam itu, kata Gautama, PT PANN harus
mengajukan bukti-bukti bahwa kapal itu diserahkan tidak sesuai
dengan perjanjian. Tapi diakuinya, kesulitan besar timbul pada
pembuktian ini: semua bukti kekurangan itu sekarang tenggelam di
dasar laut Masalembo. "Tapi PT PANN masih bisa mengajukan
saksi-saksi dan dokumen tentang kekurangan-kekurangan itu," ujar
Gautama.
Guru besar FHUI itu membenarkan pula, Komodo Marine bisa
mengajukan alasan: sebelum penyerahan kapal pihak pembeli sudah
melakukan penelitian atas kapal itu. "Tapi orang yang disuruh
meneliti bisa bekerjasama dengan penjual untuk mengatakan oke.
Jadi PT PANN masih punya hak untuk menggugat," katanya.
Terbukti atau tidaknya kasus Tampomas, tentunya wewenang
pengadilan. Yang jelas persidangan Tampomas II ini belum
menyinggung siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan
terbesar itu. "Sebenarnya yang bertanggung jawab penuh adalah
kapten kapal, sebab ia bisa menolak untuk berlayar kalau kapal
tidak memenuhi persyaratan," kata sumber TEMPO di kejaksaan.
Tapi susahnya, kata sumber itu Kapten Almarhum Rivai sudah
telanjur dinobatkan pemerintah sebagai pahlawan.
Menurut sumber yang sama, kejaksaan sudah memberkaskan 4 perkara
lagi dua orang dari ke syahbandaran Tanjungpriok dan dua orang
lagi dari Pelni. Keempat berkas itu kini sudah di tangan Jaksa
Agung dan tinggal menunggu keputusannya apakah kasus itu akan
dibawa ke meja hijau?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini