Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Meneropong bukti di bawah laut

Penyelidikan perkara/kasus pembelian Tampomas II, dilakukan oleh Kejaksaan Agung. masih terbuka peluang bagi tertuduh PT Pann mengajukan gugatan perdata terhadap komodo marine. (nas)

14 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Meneropong bukti di bawah laut
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERKAT kegigihan Jaksa Agung Ismail Saleh, perkara Tampomas II akhirnya jadi juga dibawa ke meja hijau. Tapi para tertuduh yang minggu ini disidangkan tidak diadili karena tenggelamnya kapal beserta lebih 600 orang penumpangnya Januari tahun lalu. "Mereka disidangkan karena tuduhan korupsi dalam pembelian dan pengadaan kapal itu, bukan karena menyebabkan matinya orang lain," ujar Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, A.I. Adnan -- sekarang menjabat Asisten Operasi Kejaksaan Tinggi DKI -- yang melimpahkan perkara itu ke pengadilan. Semula pihak kejaksaan memang melihat kemungkinan menuntut Nuzwari Chatab, Gregorius Hendra, Santoso Sumarli, dan H. Mandagi melakukan perbuatan yang menyebabkan matinya orang lain. Tapi, kata sumber TEMPO di Kejaksaan Agung, tuduhan itu ternyata sulit dibuktikan. "Sama saja membuktikan penjual pisau ikut serta dalam perkara pembunuhan," kata sumber yang ikut memeriksa kasus itu. Sebab itu keempat tertuduh hanya dimajukan ke sidang dengan tuduhan pemalsuan dan korupsi. Mencari data bagi dua tuduhan itu saja ternyata beban yang berat bagi pemeriksa. Tim yang dibentuk oleh Jaksa Agung dan diawasi langsung oleh Jaksa Agung Muda bidang Operasi M. Salim dan bidang Intelijen Datuk Mulia, hanya diberi waktu 110 hari. "Insya Allah target waktu itu bisa kami selesaikan," ujar seorang anggota tim. Langkah pertama tim yang diketuai langsung Kepala Direktorat Penyidikan Kejaksaan Agung, almarhum Anas Yakub, adalah menangkap Kepala Perwakilan Komodo Marine, George Hendra tanggal 27 Juli tahun lalu. Dari orang yang menjual kapal Great Emerald -- yang kemudian diubah KM Tampomas II -- diharapkan dapat dikorek kasus korupsi dalam pembelian kapal itu oleh PT PANN. Penyidikan itu tampaknya tidaklah ringan. Dari George atau semua saksi, "tidak ada yang mengaku pernah menyuap atau disuap". Tim pemeriksa yang terdiri dari beberapa jaksa senior di Kejaksaan Agung antara lain M.H. Silaban, Suhadibroto, dan Bob Nasution, bekerja siang malam untuk itu. Tapi gagal. Apalagi George Hendra yang sempat "disimpan" di Kejaksaan Agung sampai hari Natal tahun lalu dikabarkan menutup rapat pintu ke arah "suap" itu. Kesulitan lain yang dialami pemeriksa adalah keterangan Menteri Perhubungan di DPR, ketika kasus itu tengah ditangani Kejaksaan Agung. Menteri Rusmin Nuryadin di depan wakil rakyat itu menegaskn tidak ada masalah manipulasi dalam pengadaan kapal itu. "Itu menyebabkan tugas kami menjadi berat," ujar sumber TEMPO itu. Namun, berkat penyidikan terus menerus kasus itu bisa juga diberkaskan. Apalagi ada bantuan penyidikan dari BPK tentang masalah keuangannya. Untungnya pula, seperti komentar seorang pengacara undang-undang "korupsi" itu merupakan undang-undang "karet". Pasal-pasal di perundangan itu, bisa menjerat siapa saja yang dengan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan merugikan keuangan negara. Toh pihak kejaksaan masih punya kesangsian. Kabarnya dalam suratnya kepada Jaksa Agung, Ketua Tim Pemeriksa almarhum Anas Yakub, menyebutkan sebuah putusan Pengadilan Tinggi Jakarta yang membebaskan seorang penyelundup dari tuduhan subversi, karena pelaku bukan pegawai negeri. Tampaknya pihak kejaksaan was-was kalau pengadilan nantinya bersikap serupa dalam kasus George Hendra dan Santoso Soemarli. Faktor lain yang dikhawatirkan tim pemeriksa adalah membuktikan unsur melawan hukum. Sebab dalam kasus Pluit, hakim menyatakan perbuatan Endang Wijaya tidak terbukti melawan hukum karena penunggakan pengembalian kreditnya disetujui BBD. Kasus itu mirip dengan kasus Komodo Marine yang juga menyebutkan kekurangan atas kapal itu disetujui oleh pembeli yaitu PT PANN, dan ada kesanggupan George Hendra untuk melengkapi kekurangan. Tapi semua kekhawatiran itu konon hilang, setelah pemerintah memutuskan kasus Tampomas II harus diselesaikan secara tuntas di pengadilan. Keempat tersangka akhirnya dituduh melakukan korupsi. Bob Nasution dalam tuduhan yang dibacakannya Senin lalu, menitikberatkan unsur melawan hukum dari perbuatan Nuzwari Chatab dengan ditandatanganinya Protocol of delivery (berita acara penyerahan) bersama George Hendra tanggal 27 Mei 1980. Isi perjanjian itu dianggap jaksa bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Sebab, di situ disebutkan kapal diserahkan, "in good order in accordance with term and condition of the agreement". Padahal kapal itu saat diterima PT PANN terdapat kekurangan yang prinsipil sekali dalam notasi kelas, yaitu kapal barang bukan penumpang. Dalam Memorandum of Agreement disebutkan kapal diserahkan dengan kelas N.K. Passenger Cargo Vehicle & Ferry. Apalagi beberapa peralatan kapal sepertl TV, SSB, sekoci, pemadam api ternyata tidak cocok pula dengan Memorandum of Agreement. "Walaupun kemudian dilengkapi oleh Komodo Marine, tapi waktu kapal tenggelam ada 90 items yang tidak ada," ujar sumber pemeriksa. Padahal untuk melengkapi kapal itu kembali, PT Pelni sudah mengeluarkan uang Rp 8 juta. "Itu kan merugikan negara," tambah sumber itu. Jaksa yang tidak mau disebutkan namanya itu yakin, tuduhan bisa dibuktikan. "Apalagi ketika Protocol of delivery itu ditandatangani, Inspektur yang harus memeriksa kapal itu sebelum dibeli, belum selesai melakukan tugasnya," kata sumber itu. Semua kekurangan yang disetujui saja oleh Nuwari Chatab itu, dikalkulasi tim pemeriksa mencapai angka Rp 133 juta seperti disebutkan dalam tuduhan. Pendapat sumber ini dibantah pembela George Hendra dan Santoso Sumarli, Haryono Tjitrosubono. "Sebenarnya jaksa tidak mengerti perbedaan apa yang disebut kapal penumpang dengan kapal barang," komentarnya sambil tertawa. Ia membenarkan, sertifikat Great Emerald ketika masih berbendera Panama merupakan kapal barang. "Tapi persyaratan untuk kapal di setiap negara berbeda-beda," tambahnya. Contohnya syarat kelas dek untuk kapal penumpang Indonesia tidak dikenal di Eropa. Kapal Tampomas II, menurut dia, sudah diberi sertifikat kapal penumpang oleh Ditjen Perhubungan Laut. HARYONO juga mengomentari masalah kedua yang dituduhkan jaksa: perubahan notasi kelas yang dilakukan Komodo Marine tidak dilaksanakan sepenuhnya. Menurut perjanjian harga kapal US$ 8.300.000 meliputi biaya perubahan kelas sebanyak US$ 350. 000. Tapi, Komodo Marine hanya mengeluarkan biaya untuk itu sebanyak US$ 150.000. Sisanya, US$ 200.000 dianggap merugikan negara. "Padahal perbedaan itu wajar sebab penjual tentu mencari keuntungan dengan menekan pengeluaran sekecil mungkin," ujar Haryono yang juga menabat Ketua Peradin. Dan uang sebanyak itu, menurut dia belum memperkaya diri. "Kalau itu korupsi kita lihat saja di sidang nanti," tambahnya. Melihat jumlah kerugian negara yang hanya sekitar Rp 100 juta, pembela Nuzwari Chatab, Azwar Karim, menganggap kasus Tampomas II sebagai perkara kecil. "Dalam kasus Pluit misalnya dianggap negara telah dirugikan beberapa milyar rupiah," kata Azwar yang juga pernah membela Endang Wijaya dan Natalegawa. Sebab itu ia yakin kesalahan Nuzwari tidak akan terbukti di persidangan. "Saya yakin klien saya bersih. Jelas tidak ada suap, juga tidak ada perbuatan melawan hukum," katanya. Batalnya tuduhan melawan hukum, kata Azwar, karena adanya dokumen dari pembuat kapal yaitu Mitsubishi Heavy Industries Ltd. di Jepang yang menyebutkan kapal car-ferry Great Emerald itu, bisa berfungsi juga sebagai kapal penumpang. "Jadi tidak pernah Nuzwari menandatangani perjanjian yang bertentangan dengan fakta sebenarnya," tambah Azwar lagi. Besarnya kasus ini, menurut Azwar, hanya karena Tampomas II tenggelam. Tapi ibarat orang membeli mobil, "kalau kemudian mobilnya masuk jurang, yang salah pengemudi atau pembeli mobil," komentar Azwar yang pernah berhasil melepaskan Natalegawa dari tuduhan dan tuntutan korupsi itu. Apalagi tenggelamnya kapal itu terjadi setelah beberapa bulan kapal itu dioperasikan. "Penyebabnya juga bukan karena bocor, tapi karena kebakaran yang tidak ada hubungannya dengan pembelian," ujarnya. Ia malah menganggap kasus itu tidak akan pernah ada kalau kapal Tampomas tidak tenggelam. Sebab itu, baik Azwar maupun Haryono melihat kasus yang diajukan oleh kejaksaan itu merupakan kasus perdata biasa, menyangkut wansprestasi. Kalaupun ada kekurangan setelah jual beli, "pembeli bisa menggugat melalui lembaga perwasitan di London seperti disebutkan dalam perjanjian," kata Haryono Tjitrosubono. Segi perdata dalam jual beli kapal itu memang ada seperti dikatakan oleh pengacara terkenal Prof. Mr. Sidharta Gautama. "Seharusnya bila PT PANN tahu kapal itu banyak kekurangan dari yang diperjanjikan, ia bisa membatalkan perjanjian dan tidak menerimanya," ujar Gautama. Ahli hukum perdata internasional itu mengatakan, PT PANN bisa mengajukan gugatan perdata bila mengetahui kekurangan itu setelah menerima kapal. Untuk gugatan semacam itu, kata Gautama, PT PANN harus mengajukan bukti-bukti bahwa kapal itu diserahkan tidak sesuai dengan perjanjian. Tapi diakuinya, kesulitan besar timbul pada pembuktian ini: semua bukti kekurangan itu sekarang tenggelam di dasar laut Masalembo. "Tapi PT PANN masih bisa mengajukan saksi-saksi dan dokumen tentang kekurangan-kekurangan itu," ujar Gautama. Guru besar FHUI itu membenarkan pula, Komodo Marine bisa mengajukan alasan: sebelum penyerahan kapal pihak pembeli sudah melakukan penelitian atas kapal itu. "Tapi orang yang disuruh meneliti bisa bekerjasama dengan penjual untuk mengatakan oke. Jadi PT PANN masih punya hak untuk menggugat," katanya. Terbukti atau tidaknya kasus Tampomas, tentunya wewenang pengadilan. Yang jelas persidangan Tampomas II ini belum menyinggung siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan terbesar itu. "Sebenarnya yang bertanggung jawab penuh adalah kapten kapal, sebab ia bisa menolak untuk berlayar kalau kapal tidak memenuhi persyaratan," kata sumber TEMPO di kejaksaan. Tapi susahnya, kata sumber itu Kapten Almarhum Rivai sudah telanjur dinobatkan pemerintah sebagai pahlawan. Menurut sumber yang sama, kejaksaan sudah memberkaskan 4 perkara lagi dua orang dari ke syahbandaran Tanjungpriok dan dua orang lagi dari Pelni. Keempat berkas itu kini sudah di tangan Jaksa Agung dan tinggal menunggu keputusannya apakah kasus itu akan dibawa ke meja hijau?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus