Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Coretan Janggal Tuntutan Patrice

KPK menelisik kejanggalan berkas tuntutan Patrice Rio Capella yang berujung pada vonis ringan. Tim jaksa dan pejabat yang menangani kasus ini diperiksa.

11 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CORETAN disertai tulisan tangan pada berkas tuntutan mantan Sekretaris Jenderal Partai NasDem, Patrice Rio Capella, membuat Maqdir Ismail geleng-geleng kepala. Puluhan tahun menjadi pengacara, Maqdir mengaku baru kali ini menemukan berkas tuntutan seperti itu. "Kami menerima salinan tuntutan dari jaksa setelah dibacakan, dan itu sudah ada coretan," kata Maqdir, pengacara Patrice, Rabu pekan lalu.

Dari salinan dokumen yang ditunjukkan Maqdir kepada Tempo, coretan disertai tulisan tangan itu tertera pada halaman yang memuat hal meringankan hukuman Patrice. Bagian yang dicoret itu terletak pada kalimat "terdakwa merupakan justice collaborator". Kata "merupakan" dicoret dengan tinta hitam. Di atasnya tertera kata "mengajukan", ditulis tangan dengan tinta hitam. Sebutan justice collaborator disematkan pada pelaku tindak pidana yang bekerja sama dengan aparat untuk membongkar tuntas kasus yang menjeratnya.

Sidang pembacaan tuntutan atas Patrice berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 7 Desember 2015. Ketika membacakan tuntutan, jaksa memang menyebut kalimat "terdakwa mengajukan justice collaborator".

Jaksa menuntut Patrice dua tahun penjara karena dia dianggap terbukti menerima suap Rp 200 juta dari Gatot Pujo Nugroho, saat itu Gubernur Sumatera Utara. Sewaktu menerima uang, Patrice berstatus anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Uang itu diduga untuk mengamankan kasus dana bantuan sosial Sumatera Utara yang diusut Kejaksaan Agung.

Selain Maqdir, Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi Setiadi menerima berkas tuntutan yang memuat coretan disertai tulisan tangan itu. Menurut seorang penegak hukum di Komisi, setelah memastikan tuntutan janggal itu dibacakan di ruang pengadilan, Setiadi menemui pelaksana tugas Ketua KPK, Taufiequrachman Ruki. Setelah menerima laporan dari Setiadi, Ruki mengumpulkan empat pemimpin KPK lainnya, yakni Johan Budi S.P., Indriyanto Seno Adji, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain.

Seorang peserta rapat itu menuturkan coretan pada berkas tuntutan dianggap sebagai bukti adanya niat mengubah keputusan rapat pimpinan KPK sebelumnya. Rapat tersebut menolak permohonan justice collaborator Patrice. Para pemimpin KPK menduga ada pihak yang ingin mencantumkan kalimat "terdakwa merupakan justice collaborator". Namun, entah kenapa, kata "merupakan" belakangan dicoret, lalu diganti dengan kata "mengajukan". Kendati begitu, kalimat hasil coretan yang berbunyi "terdakwa mengajukan justice collaborator" tetap bisa menjadi hal meringankan. "Kalau permohonan sudah ditolak, seharusnya tak dicantumkan di berkas tuntutan," ujarnya.

Setelah ditelisik lebih jauh, menurut seorang mantan komisioner KPK, terdapat perubahan lain pada berkas tuntutan Patrice. Misalnya, pada berkas tuntutan, Patrice hanya dijerat dengan Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tentang tuduhan gratifikasi. Padahal, pada surat perintah penyidikan dan surat dakwaan, Patrice dijerat dengan Pasal 11 dan Pasal 12 a atau b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur tuduhan suap. "Pimpinan KPK juga tidak pernah memutuskan menghilangkan Pasal 12," katanya.

Penghilangan Pasal 12, menurut mantan petinggi komisi antikorupsi, juga menunjukkan adanya pihak yang menginginkan Patrice divonis ringan. Dengan hilangnya Pasal 12 pada berkas tuntutan, Patrice hanya dijerat dengan Pasal 11, dengan ancaman hukuman 1-5 tahun penjara. Padahal, bila Pasal 12 masih disertakan, Patrice terancam hukuman 4-20 tahun penjara. Setelah Pasal 12 raib, jaksa hanya menuntut Patrice dua tahun penjara.

Putusan lain pimpinan KPK yang tak digubris jaksa, menurut penegak hukum lain di komisi ini, menyangkut kesaksian Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di persidangan Patrice. "Rapat pimpinan memutuskan Surya tetap harus dihadirkan, tapi jaksa justru mengabaikan itu," ujar si penegak hukum.

Ketika diperiksa KPK, Patrice mengaku pernah melaporkan penerimaan duit dari Gatot ke Surya. Namun, kepada Tempo, Surya membantah cerita Patrice itu.

Jaksa sebenarnya sudah dua kali memanggil Surya sebagai saksi di persidangan Patrice. Tapi dia tidak memenuhi panggilan dengan alasan sakit dan harus berobat ke Singapura. Sebelumnya, Surya pernah sekali diperiksa KPK. Pada sidang Patrice, jaksa hanya membacakan berkas pemeriksaan Surya di komisi antikorupsi.

Senin tiga pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta membacakan putusan kasus Patrice. Majelis hakim menghukum Patrice satu tahun enam bulan penjara dan denda Rp 50 juta. Komisi antikorupsi mengajukan permohonan banding atas putusan itu.

Untuk mencari keterkaitan "otak-atik" berkas putusan dengan ringannya vonis, menurut seorang jaksa di komisi antikorupsi, Pengawas Internal KPK telah memanggil tim jaksa yang menangani kasus Patrice. Pada saat bersamaan, pimpinan KPK pun melakukan eksaminasi atas putusan Patrice. Indriyanto Seno Adji membenarkan adanya eksaminasi itu. "Tapi ini mekanisme umum," ujarnya.

Pegawai komisi antikorupsi yang mengetahui gerak-gerik Pengawas Internal mengatakan bukan hanya tim jaksa yang diperiksa. Deputi Penindakan Heru Winarko, Direktur Penuntutan Supardi, dan pemimpin KPK yang mengetahui perjalanan perkara Patrice juga diperiksa. Hasil pemeriksaan akan diserahkan ke komisioner baru KPK, yang dipimpin Agus Rahardjo.

Deputi Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat KPK Ranu Mihardja membenarkan adanya pengusutan kejanggalan berkas tuntutan Patrice. Namun dia menolak menjelaskan lebih jauh soal itu. "Seluruh prosedur hukum yang dilakukan KPK terkait dengan Patrice ditinjau ulang," kata Ranu.

Ranu mengaku belum bisa menyimpulkan siapa yang bertanggung jawab atas pengubahan berkas tuntutan Patrice. Ketua tim jaksa kasus itu, Yudi Kristiana, dan timnya, menurut dia, belum tentu bersalah. "Saya tidak mengarah-arah. Yang salah bisa jaksa, bisa orang yang menulis surat tuntutan, bisa juga pimpinan KPK," ujarnya.

Yudi Kristiana enggan berkomentar banyak tentang pemeriksaan oleh Direktorat Pengawas Internal KPK. Yudi hanya berjanji mengungkap kejanggalan prosedur di komisi antikorupsi lewat buku yang dia tulis. "Ada yang mau mendiskreditkan saya, mencari-cari kesalahan saya," kata Yudi.

Awal November tahun lalu, Yudi ditunjuk sebagai Kepala Bidang Penyelenggara pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Manajemen dan Kepemimpinan di Kejaksaan Agung. Namun Yudi baru akan menduduki jabatan itu setelah selesai menjadi jaksa penuntut kasus Patrice.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menilai tak ada yang keliru dalam penuntutan kasus Patrice. Menurut dia, majelis hakim kasus itu pun sudah memastikan tak ada kejanggalan dalam proses persidangan. Prasetyo juga menepis tuduhan ada yang menekan tim jaksa untuk meringankan tuntutan atas Patrice. "Penindakan hukum itu tidak bisa ditekan," kata mantan politikus NasDem itu.

Muhamad Rizki

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus