Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mehdi Nemmouche tak bisa berkutik saat polisi meringkusnya beberapa menit setelah pesawat yang ditumpanginya mendarat di Prancis. Dia ditangkap dengan tuduhan penembakan di Museum Yahudi, Brussel, Belgia, pada 24 Mei lalu, yang menyebabkan tiga orang tewas. Dari dalam tas yang dibawa Nemmouche, polisi menemukan 57 butir amunisi pistol, lebih dari 270 cartridge Kalashnikov, kamera portabel GoPro, kamera digital Nikon, kerudung dan sarung tangan hitam, masker gas, topi Nike, serta jaket biru.
Nemmouche adalah warga negara Prancis dari Roubaix di wilayah Pas-de-Calais, Prancis utara. Pada konferensi pers di Paris, Jaksa Kepala Paris Francois Molins mengatakan Nemmouche baru-baru ini menghabiskan satu tahun di Suriah untuk bergabung dengan kelompok Islam radikal. "Nemmouche ditahan di Stasiun Kereta Api St Charles pada Jumat setelah kembali ke Prancis dari Brussel lewat Amsterdam," kata Molins saat konferensi pers, Ahad tiga pekan lalu, seperti dilansir CNN.
Menurut Molins, pria 29 tahun itu pernah dipenjara selama lima tahun. Nemmouche, yang tetap diam dalam penahanannya, diduga dipengaruhi ajaran-ajaran Islam garis keras. "Dia berangkat ke Suriah tiga bulan setelah dilepas dari penjara pada September 2012," ujar Molins.
Prancis menjadi salah satu negara Eropa yang mulai cemas terhadap banyaknya kaum muda yang pergi berperang ke Suriah sebagai pelaku jihad. Pemerintah Prancis khawatir mereka akan menjadi ancaman keamanan nasional begitu kembali ke tanah kelahirannya. Demi menangkal potensi ancaman itu, pemerintah Prancis meluncurkan operasi anti-terorisme pada April lalu. Lewat kebijakan ini, niat berjihad ke Suriah saja sudah cukup untuk dijatuhi tuduhan merencanakan terorisme-dengan ancaman hukuman tiga-lima tahun penjara.
Kekhawatiran Prancis akan ancaman teror juga terlihat saat polisi menangkap enam orang pada 13 Mei lalu dengan tuduhan hendak bergabung dengan pejuang di Suriah memerangi rezim Bashar al-Assad. Mereka langsung diberi label sebagai tersangka terorisme.
Bernard Cazeneuve dari Kementerian Dalam Negeri Prancis mengatakan penangkapan keenam orang itu dilakukan dalam penggerebekan di Strasbourg setelah melakukan penyisiran intensif. Peristiwa itu terjadi sepekan setelah pemerintah mengumumkan operasi pencegahan pemuda muslim Prancis yang akan bepergian ke Suriah.
Sejumlah pengacara di Prancis mengaku prihatin intervensi awal untuk mencegah ancaman jihad itu cenderung melanggar kebebasan masyarakat sipil. "Kita telah menciptakan hukum yang sangat kuat," kata Pierre de Combles de Nayves, yang telah menjadi pengacara bagi 10-15 klien yang terancam hukuman kasus terorisme.
Kekhawatiran serupa tak hanya melanda pemerintah Prancis. Negara-negara Barat, khususnya di Eropa, mulai membatasi dan memperketat aturan agar warganya tak pergi ke Suriah. Sebagian besar negara Eropa sejak tahun lalu meningkatkan perhatian terhadap warga negara mereka sendiri, pemegang paspor Eropa yang bisa dengan mudah berpindah dari tanah air mereka ke medan perang Suriah.
Sementara ini, baru Inggris yang telah memulai program menahan warganya yang kembali dari perang di Suriah dengan mengenakan tuduhan kejahatan terorisme, sebelum mereka melakukan tindakan nyata. Prancis tengah menggodok undang-undang untuk memperluas dasar hukum bagi penangkapan dan penuntutan dalam kasus yang melibatkan rencana aksi terorisme, sebelum ada serangan. Begitupun Bosnia, yang telah mengeluarkan aturan penjara sepuluh tahun bagi siapa pun yang mencoba ikut berperang di negara lain-tentu mengarah kepada Suriah.
Di level internasional, para pemimpin negara-negara industri G-7 akhirnya sepakat bertindak bersama menangani potensi serangan terorisme oleh mereka yang kembali dari perang di Suriah. "Kami memutuskan mengintensifkan upaya kami mengatasi ancaman yang timbul dari para pejuang asing yang bepergian ke dan dari Suriah," bunyi pernyataan mereka yang dibacakan Perdana Menteri Inggris David Cameron pada penutupan Konferensi Tingkat Tinggi G-7 di Brussel, Kamis dua pekan lalu, seperti dilansir The Daily Star.
Koran The Telegraph melaporkan Islamic State in Iraq and the Levant atau ISIS merekrut para pejuang dari Inggris, Eropa, dan Amerika Serikat. Mereka kemudian didoktrinasi dengan ideologi ekstrem anti-Barat, dilatih membuat dan meledakkan bom mobil, serta dilatih merakit bom rompi bunuh diri. Setelah itu, para pejuang asing tersebut akan dipulangkan ke negara asal untuk memulai aksi teror. ISIS merupakan salah satu kelompok militan di Suriah yang kerap dihubung-hubungkan dengan Al-Qaidah.
Menurut seorang pembelot ISIS, relawan asing yang direkrut untuk menumbangkan rezim Bashar al-Assad akan dicuci otak menjadi muslim fanatik yang berpotensi melancarkan pengeboman bunuh diri ataupun meniru serangan 11 September 2001 di New York. Pembelot yang dikenal sebagai Murad mengatakan para relawan asing yang ditemui di Suriah sering membicarakan serangan terorisme. "Mujahidin Inggris, Prancis, dan Amerika mulai berbicara tentang tempat-tempat yang ingin mereka bom. Bahkan seorang warga Amerika mengaku bermimpi bisa meledakkan Gedung Putih," ujarnya.
Beberapa dari mereka awalnya diyakini pergi ke Suriah dengan niat tulus membantu pertempuran melawan rezim Bashar al-Assad. Tapi mereka kemudian menjalani cuci otak oleh Al-Qaidah dan jaringan afiliasinya. Mereka didorong kembali ke negaranya dan memulai serangan-serangan teror.
Dalam laporannya pada April lalu, Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi yang berbasis di London memperkirakan sekitar 2.800 warga muslim Barat pergi ke Suriah untuk berjihad, terutama dari Eropa. Intelijen dan otoritas keamanan di Eropa mengatakan kebanyakan dari mereka berafiliasi dengan kelompok Al-Nusra, cabang resmi Al-Qaidah di Suriah, dan ISIS.
Arus relawan ke perang di Suriah melonjak dalam enam bulan terakhir. Hal ini dimungkinkan oleh mudahnya bergabung dengan kelompok pemberontak di sana dan adanya anggapan menjadi pejuang syahid adalah perbuatan mulia. Sara, 18 tahun, dari Belanda, menggambarkan bagaimana ia pergi ke Suriah untuk mengikuti aturan Allah dan membantu rakyat Suriah. Ia mengaku tak ada yang memaksa. "Saya meninggalkan negara saya dengan senyum lebar dan saya tak peduli jika pemerintah tak ingin saya kembali," katanya seperti dilansir Al-Monitor.
Menurut data yang ada, jumlah relawan asing yang pergi ke Suriah untuk bergabung dalam perang melawan kediktatoran Bashar al-Assad merupakan yang terbesar dalam sejarah jihad global. Perang Suriah, yang sudah berlangsung tiga tahun, juga menjadi fenomena melebihi perang Afganistan melawan Soviet pada 1980-an.
Sebagai perbandingan, menurut perkiraan intelijen Amerika Serikat, perang melawan Tentara Merah Soviet di Afganistan pada 1980-an menarik sekitar 20 ribu relawan asing selama lebih dari satu dekade. Apabila Suriah menyedot minat relawan asing dalam laju yang sudah berjalan tiga tahun terakhir, dan jika perang berlangsung hingga satu dekade, diperkirakan jumlah relawan asing di sana akan lebih besar dibanding perang Afganistan. "Ini mungkin salah satu mobilisasi asing terbesar," ucap Aaron Y. Zelin, peneliti dari Washington Institute yang mempelajari Al-Qaidah dan Suriah.
Menurut dia, warga asing yang berjihad ke Suriah setidaknya berasal dari 60 negara. Sebagian besar adalah warga Arab Saudi, Libya, Tunisia, dan Maroko. Sisanya berasal dari Eropa barat, terutama Inggris, Belgia, Prancis, dan Belanda. Di luar itu, 10-20 pejuang diyakini berasal dari Amerika.
Intelijen Amerika saat ini mencatat jumlah warga asing yang telah pergi ke Suriah sejak perang dimulai pada 2011 mencapai 8.000-10.000 orang. Sumber lain menyebutkan angka hingga 12 ribu orang. Data yang tersedia di Arab menyebutkan jumlah warga negara mereka yang telah pergi untuk berjihad di Suriah sebanyak 1.200 orang, 300 di antaranya dilaporkan tewas di medan perang. Sumber-sumber di Yordania melaporkan sekitar 1.000 warga Yordania telah berjuang di Suriah.
Menurut Peter Neumann dari Pusat Internasional untuk Studi Radikalisasi, dari sekitar 11 ribu pejuang asing di Suriah, 2.000 berasal dari Eropa dan 400-500 berasal dari Prancis. Adapun Magnus Ranstorp, spesialis terorisme dari Swedish National Defense College, menyebutkan jumlah warga Swedia yang pergi ke Suriah 150-200 orang dan Inggris masih stabil di kisaran 150 orang. Sedangkan Belanda mengalami peningkatan pesat sebanyak 100-200 orang dan Norwegia meyakini ada 40 warganya yang telah pergi ke Suriah.
Pakar politik dari International Strategic Research Organization di Ankara, Osman Bahadir Dincer, mengatakan warga asing yang ingin ikut perang Suriah biasanya masuk lewat perbatasan Turki karena tak perlu paspor, visa, ataupun surat resmi lain. "Pejabat perbatasan Turki biasanya tak tahu apakah seseorang adalah teroris atau bukan. Uni Eropa harus mengambil tindakan mencegah tersangka sebelum mereka berangkat. Ini bukan pekerjaan pemerintah Turki," kata Osman kepada Deutsche Welle.
Fenomena lain: para pejuang asing di Suriah ikut berperang dalam pasukan inti yang menjadi garda terdepan pertempuran, bahkan menjadi pejuang paling fanatik. Hal ini berbeda dengan perang Afganistan. Ketika itu, para relawan asing hanya bertugas sebagai penggalang dana, pelayan medis, ataupun petugas hubungan masyarakat, tidak terlibat langsung dalam pertempuran. Dalam perang Afganistan, mereka yang terlibat pertempuran hanyalah ribuan mujahidin Afganistan yang didukung tentara Pakistan, terutama dari kesatuan komando khusus.
Melihat fenomena itu, dalam KTT G-7 di Brussel pada Kamis dua pekan lalu, menteri dalam negeri dari sembilan negara Eropa-Austria, Belgia, Inggris, Denmark, Prancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Swedia-sepakat meningkatkan upaya mengidentifikasi relawan potensial, memperlambat keberangkatan mereka, melacak mereka saat kembali, dan berbagi informasi satu sama lain. Meskipun lama ditolak Parlemen Eropa, satu ide yang disepakati adalah sistem Perekaman Nama Penumpang dari Eropa. Sistem ini memungkinkan negara-negara bertukar data semua penumpang penerbangan, terutama mereka yang bisa membantu jejak calon teroris.
Rosalina (The New York Times, The Washington Times, Al-Monitor, The Daily Star, The Telegraph, The Daily Beast)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo