Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Terpuruk di Tangan Mafia Tanah

Membantu pemilik lahan yang dokumen lahannya diduga dikuasai mafia tanah, seorang penyidik Markas Besar Polri jadi tersangka. Tuduhannya menyalahgunakan wewenang.

16 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KOMISARIS Polisi Ani Sa'adah kini "menganggur". Bertahun-tahun sebelumnya, polisi wanita 53 tahun ini giat ke sana-kemari sebagai penyidik di Markas Besar Kepolisian RI. Namun, sejak Maret setahun lalu, ia hanya "mendekam" di dalam ruangan Pusat Informasi Kriminal Nasional Mabes Polri. Kenaikan pangkatnya, sesuatu yang diidamkannya, juga dibatalkan seiring dengan statusnya menjadi tersangka. "Padahal kenaikan pangkat itu harapan saya menjelang pensiun," kata Ani, yang ditemui Tempo pada Selasa dua pekan lalu.

Tugasnya sebagai penyidik di Bagian Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) itulah yang mengantarkannya menyandang status tersangka. Hal ini berkaitan dengan masalah dugaan pemalsuan dokumen lelang Grand Hotel Cirebon, Jawa Barat, pada 2008. Kala itu ia menelisik perkara yang melibatkan pengusaha tekstil yang juga terkenal sebagai "pemain tanah" di Bandung dan sekitarnya, Lim Tjing Hu alias King Hu, 68 tahun. Perkara lelang itu kini sudah bergulir ke meja hijau.

Nah, di tengah-tengah penelisikan perkara Grand Hotel Cirebon itulah Ani diadukan King Hu. Dia dituduh menggelapkan lima dokumen tanah milik King Hu. Menurut King Hu, dokumen tersebut diminta Ani sebagai jaminan dirinya tidak dipenjarakan alias menjadi tahanan luar. Belakangan, setelah berkas pemeriksaan King Hu di kejaksaan ke pengadilan, soal dokumen itu dipersoalkan King Hu. Dia menuduh Ani menggelapkan dokumen karena surat tanah itu, kata King Hu, tidak dikembalikan Ani. "Kami bolak-balik menanyakan keberadaan jaminan itu sampai akhirnya melaporkan dugaan ada penggelapan ini," ujar kuasa hukum King Hu, Wilson Tambunan.

Pada November 2013, King Hu melaporkan Ani ke Markas Besar Polri. Ani diperiksa dan akhirnya-hal yang sama sekali tak ia duga--menjadi tersangka. Kepada Tempo, Ani menyangkal melakukan penggelapan seperti yang dituduhan pihak King Hu.

l l l

Lahan itu kini menjadi kantor dan pool bus patas AC berlogo MS. Luas tanah yang terletak di Jalan Soekarno-Hatta, Kecamatan Bandung Kidul, Bandung, itu sekitar 5.500 meter persegi. Logo MS merupakan singkatan Medal Sekarwangi, perusahaan transportasi milik Atang Soebandi.

Sejak 1985, Medal Sekarwangi menjadikan lahan di kawasan Jalan Soekarno-Hatta itu sebagai tempat berkumpulnya kendaraan mereka. "Semua warga Bandung tahu di mana pool bus Medal Sekarwangi," kata Sam M., juru bicara keluarga Atang Soebandi. Atang sudah meninggal pada 1993.

Adapun keluarga Atang tak memiliki sertifikat tanah tersebut. Menurut Sam, Atang membeli lahan itu dari Edwin Basuki dengan bukti akta jual-beli pada 11 November 1985, yang dibuat Camat Sugandi Atmawidjaya, yang juga sebagai pejabat pembuat akta tanah karena jabatannya. Sertifikat tak bisa diproses karena sertifikat lama atas nama pemilik asal, Edwin Basuki, hilang. Perihal hilangnya sertifikat itu, kata Sam, bermula dari keinginan membalik nama surat tanah tersebut atas nama Atang. Sertifikat itu kemudian diserahkan ke Idji Hartadji, pemilik induk dari lahan yang sebagian dibeli oleh Edwin tersebut. Saat di tangan Idji itulah sertifikat Edwin hilang.

Setelah puluhan tahun sertifikat itu tak diketahui keberadaannya, tiba-tiba, menurut Sam, suatu hari muncul seorang pengusaha yang datang meminta konfirmasi asal-muasal lahan pool Medal Sekarwangi tersebut. Sang penanya mengaku ditawari lahan itu oleh King Hu. "Dia mengatakan sertifikat lahan ada pada King Hu," kata Sam.

Selain dari orang yang datang itu, keluarga Atang belakangan mendapat keterangan tentang sertifikat tanah tersebut dari Tourino Roberto Parengkuan, pelapor kasus dugaan pemalsuan dokumen lelang Grand Hotel Cirebon. "Dari informasi Pak Tourino, sertifikat ada di Mabes Polri," kata Sam. Lantas keluarga Atang bersama Edwin Basuki menghubungi Ani, yang menyidik perkara Grand Hotel Cirebon. Kepada Ani, mereka menceritakan asal-muasal tanah dan proses pembelian tanah yang kemudian menjadi hak keluarga Atang Soebandi.

Kepada Tempo, Ani menyatakan tak pernah berhubungan dengan keluarga Atang Soebandi ataupun Edwin Basuki sebelum menangani perkara King Hu. Ia baru tahu lahan di Bandung itu ada kaitan dengan King Hu setelah keluarga Atang menemuinya. "Mereka yang menghubungi saya dan menceritakan persoalannya," kata Ani.

Lima dokumen yang diserahkan King Hu, kata Ani, tak ada hubungannya dengan kasus pemalsuan dokumen lelang Grand Hotel Cirebon yang disidiknya. Dokumen itu, pertama, sertifikat hak milik Nomor 443 lahan di Desa Batununggal, Bandung, atas nama Edwin Basuki tanggal 2 September 1978. Kedua, akta turunan tertanggal 5 Oktober 1993 dari notaris Situ Munigar Temmu Suhandi. Ketiga, turunan akta kuasa menjual dan melepaskan hak tertanggal 30 November 1991 Nomor 67 dari notaris Masru Husen.

Semua dokumen itu berkaitan dengan lahan di Desa Batununggal yang menjadi pool bus MS tersebut. Adapun dua dokumen lain, dokumen sertifikat hak milik Nomor 1107 Kelurahan Batununggal tanggal 26 Juni 1998 dan sertifikat hak milik Nomor 25 Desa Kalyasari. Dua sertifikat terakhir atas nama asli King Hu, yakni Lim Tjing Hu.

Menurut Ani, mengetahui sertifikat itu ada di tangan King Hu, Edwin kemudian berencana memperkarakan King Hu. "Saat itu King Hu tak ingin dilaporkan dan diperkarakan lagi, maka dia menyerahkan sertifikatnya kepada saya," kata Ani. Ani kemudian menyerahkan empat sertifikat yang dipersoalkan keluarga Atang itu ke Edwin Basuki atas persetujuan King Hu. Menurut Ani, hanya sertifikat hak milik Nomor 25 Desa Kalyasari yang kemudian dipakai jaminan tahanan luar untuk King Hu. "Mulanya King Hu minta Rp 7 miliar atas penyerahan sertifikat itu, tapi permintaan itu tak menemui kesepakatan," katanya.

Inilah pangkal perkara yang menyebabkan Ani dijadikan tersangka. Menurut Wilson, kliennya tak pernah menyetujui penyerahan dokumen kepada Edwin Basuki. "King Hu menyerahkannya hanya sebagai jaminan," katanya.

Menurut dia, King Hu membeli lahan tersebut dari Idji Hartadji. "Buktinya dia sudah memiliki sertifikat Nomor 1107," katanya. Kini, ujar Wilson, ahli waris Idji Hartadji melaporkan dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan Edwin Basuki ke Kepolisian Daerah Jawa Barat.

Sam menilai semua gugatan atas lahan keluarga Atang itu tidak berdasar. Sebagai pemilik lahan, hak kepemilikan mereka itu sudah diperkuat lewat putusan kasasi Mahkamah Agung pada 13 Januari 2009. Ketika itu, kata dia, keluarga Atang menghadapi gugatan dari Agus Syam dengan sertifikat Nomor 413/Batununggal dan Hertiato sebagai pemegang sertifikat Nomor 414/Batununggal. Keduanya juga mengklaim sebagai pemilik lahan seluas 1.342 meter persegi di atas lahan keluarga Atang. Kedua penggugat ini menggunakan jasa pengacara yang biasa selama ini dipakai King Hu, yakni Balyan Hasibuan dan Iwa S.K. Syarief.

Gugatan ini ditolak hakim, yang kemudian mencabut berlakunya sertifikat Nomor 413 dan 414. "Putusannya sudah in kracht, memiliki kekuatan hukum tetap," kata Sam. Dari penelusuran Tempo, putusan Mahkamah Agung juga menyinggung sertifikat 1107 atas nama King Hu.

Ihwal Ani yang jadi tersangka itu, Kepala Sub-Direktorat Tindak Pidana Korupsi Mabes Polri, Komisaris Besar Joko Poernomo, menyatakan dia dituduh melakukan penyalahgunaan wewenang dan dugaan tindak korupsi yang menguntungkan dirinya atau orang lain. "Dia diduga memaksa King Hu menyerahkan sejumlah dokumen sebagai jaminan tahanan luar," kata Joko.

Menurut dia, Ani melakukan perubahan pada dokumen milik King Hu, dengan mencabut sertifikat hak milik 1107 atas nama Lim Tjing Hu itu. Lewat pencabutan sertifikat ini, Badan Pertanahan Nasional Jawa Barat menerbitkan sertifikat Nomor 4073 atas nama Kastur Mulyadi, anak almarhum Atang Soebandi, yang berlaku pada 24 Januari 2014. "Kesalahan dia menyalahgunakan wewenang sebagai penyidik untuk memaksa mengambil sertifikat, kemudian diproses menjadi nama orang lain," kata Joko.

Kepada Tempo, Ani berkali-kali membantah tuduhan memaksa King Hu menyerahkan dokumen itu atau mengambil keuntungan atas kasus lahan tersebut. King Hu, kata dia, yang menyerahkan lewat pengacaranya. "Mereka datang dan membawa sendiri," ujar Ani.

Menurut Ani, semua yang dilakukan tak lebih hanya ingin membantu orang mendapat kembali haknya. "Saya hanya ingin membantu mengembalikan sertifikat dari tangan mafia tanah," katanya.

Yuliawati, Erik P. Hardi (Bandung)


Pemburu Tanah dari Tamim 55

Berada di antara deretan toko kain sepanjang Jalan Tamim, Bandung, Toko Textil 55 tak ubahnya toko di sekitarnya: puluhan gulung kain warna-warni memenuhi rak dan manekin berjejer di dekat pintu menggoda mata pejalan kaki.

Itulah rumah toko milik Lim Tjing Hu alias King Hu. Pria 68 tahun itu kini tersandung kasus pemalsuan dokumen lelang Grand Hotel Cirebon, Jawa Barat, yang ujung-ujungnya membuat penyidik perkara ini, Komisaris Ani Sa'adah, dijadikan tersangka. "Kami tak punya pabrik tekstil, punya toko saja," katanya kepada Tempo, Kamis dua pekan lalu. Di Bandung, setidaknya dia memiliki lima toko tekstil.

Namun bukan dari kain saja agaknya peruntungan pria ini. King Hu sangat "bergairah" jika berbicara tentang bisnis tanah. "Dokumen tanahnya sampai satu lemari," kata Niko, keponakan King Hu. Lahannya terserak di banyak wilayah di Jawa Barat, terutama Bandung. "Kalau orang Jakarta mencari tanah di Bandung biasanya tanya King Hu dulu," ucapnya.

King Hu mengakui soal ini. "Banyak lahan yang masih saya diamkan. Saya juga punya tanah di Lampung," ujar King Hu, yang mengaku berbisnis properti sejak awal 1970-an.

King Hu adalah salah satu pendiri Istana Group, perusahaan pengembang terkemuka di Bandung. Dia juga pernah mendapat proyek membangun Pasar Baru di Bandung. Salah satu proyek King Hu bersama Istana Group adalah Perumahan Istana Regency dan Istana Bunga.

Dalam menjalankan bisnis propertinya, King Hu menggaet beberapa pengacara, antara lain Balyan Hasibuan dan Wilson Tambunan. Selain membantu proses pembebasan tanah, mereka yang mengurus kasus-kasus lahan King Hu yang digugat di pengadilan.

Tak hanya untuk King Hu, pengacara ini juga membantu mereka yang tanahnya dikuasai orang lain. Apabila perkara menang di pengadilan, kata Wilson, tanah itu dapat dijual kliennya ke King Hu. "Kami hanya mau menangani perkara tanah yang memiliki dokumen." Wilson mengakui King Hu kerap dituduh sebagai mafia tanah. "Dia bukan mafia tanah, tapi juragan tanah," ujar Wilson.

Mafia atau bukan, yang pasti berkali-kali King Hu terlibat sengketa lahan. Sekarang, misalnya, ia menjadi terdakwa perkara pemalsuan dokumen lelang Grand Hotel Cirebon itu, yang perkaranya bergulir di Pengadilan Negeri Bandung. Statusnya kini tahanan luar.

Menurut jaksa Nur Hidayat, kasus ini bermula saat King Hu berhasil menang dalam lelang Grand Hotel Cirebon pada 18 Desember 1999. Kala itu dia diwakili Mulyadi Halim. Nilai lelang Rp 2,1 miliar. Pejabat lelang Barnas Trisna membuat risalah lelang nomor 403/1999-2000. Tapi setelah itu King Hu tak pernah melunasi uang lelang yang harus dibayarnya kepada Mulyadi Halim. Menurut Keputusan Menteri Keuangan Tanggal 6 Desember 1999, keputusan lelang batal karena tak ada pelunasan setelah tiga hari. "Risalah lelang batal, tak punya kekuatan hukum lagi," kata Nur.

Pada September 2006, menurut jaksa, King Hu diduga mengupah seseorang untuk mengambil risalah lelang. Dengan dasar risalah lelang itu, pada 29 September 2006 King Hu membuat akta pengoperan dan pelepasan hak atas tanah Grand Hotel kepada beberapa pengusaha dengan nilai Rp 12 miliar. Wilson membantah dakwaan itu. Ia menganggapnya rekayasa.

Tudingan pemalsuan dokumen juga kini menjerat King Hu atas lahan 10.500 meter persegi di dekat Pangkalan Udara Husein Sastranegara, Bandung. Kali ini King Hu berhadapan dengan PT Dirgantara, yang menegaskan itu milik mereka. King Hu memiliki dokumen yang menyebutkan lahannya ada di Jalan Catalina. "Berdasarkan penelusuran kami, sejak dulu nama jalan itu adalah Jalan Kapten Tata," ujar salah satu kuasa hukum PT Dirgantara, Revi Putu Sukandar.

King Hu menampik tudingan melakukan pemalsuan sertifikat. Dia mengatakan membeli lahan itu pada 1993 dari masyarakat setelah Markas Besar Kepolisian RI pada 1992 menyatakan lahan di sekitar lapangan udara itu bukan milik TNI Angkatan Udara. "Saya punya sertifikat yang telah dianggap sah oleh pengadilan," tuturnya. Tapi PT Dirgantara menyatakan itu hanya akal-akalan King Hu.

Yuliawati, Erik P. Hardi (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus