Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Dari Bandung, Tiada Lagi S. Teks

Status ITT dirubah dari lembaga pendidikan sarjana ke lembaga program diploma, & berobah nama menjadi STTT (Sekolah Tinggi Tehnologi Tekstil). (pdk)

7 November 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA orang mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT), Bandung, Selasa pekan lalu menemu i Dirjen Pendidikan Tinggi di Jakarta. Tidak begitu penting. Tapi mereka itu mewakili rekan-rekan sekampus yang awal Oktober lalu pada memakai jaket kuning tua--ketika Ketua Komisi IX DPR muncul di sana. Yang menjadi pasal gara-gara: pengubahan perguruan mereka, dari Institut Teknologi Tekstil (ITT) menjadi STTT itu. Soalnya, perubahan yang diputuskan lewat SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri P & K dan Perindustrian itu, 6 Juni 1981, tak sekedar penggantian nama. Tapi juga status: STTT hanya dianggap layak sebagai lembaga pendidikan program diploma. Tidak lagi berhak memberikan gelar (S. Teks, alias sarjana tekstil) sebagaimana dilakukan ITT sebelumnya. Itu memang bisa mengguncangkan. Soalnya, bahkan Juni tahun lalu pimpinan ITT telah menyesuaikan sistem di perguruan ini--yang milik Departemen Perindustrian--dengan sistem menurut ketetapan Menteri P & K sebelumnya Ialah, menyelenggarakan pendidikan multi strata (program sarjana, pasca sarjana dan doktor), di samping program diploma (I, II, III dan spesialis 1-2). Itu semua lantas gugur--kecuali yang diploma. Tetapi, mengapa? Karena ada Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974--yang menunjuk Mentcri P & K sebagai penanggungjawab kebijaksanaan pendidikan formal. Seharusnya, perguruan seperti ITT itu lantas bernaung di bawah Departemen P & K. Tapi sampai tahun lalu tak ada kebijaksanaan apa pun yang berhubungan dengan pengalihan. Baru Februari tahun lalu pihak ITT membuat satu panel diskusi. Waktu itu ditelurkan beberapa altematif. Pertama ITT sepenuhnya berada di bawah Departemen P & K--baik mahasiswa, sarana maupun seluruh fasilius alias kekayaan diserahkan ke sana. Kedua, ITT tetap dikelola Departemen Perindustrian--tapi aspek akademiknya dibina oleh Departemen P & K. Terlalu Sempit Ternyata yang kedua itulah yang diterima -- ditambah kompetensi STTT yang hanya berhubungan dengan prog ram diploma. Dan itulah yang tak begitu berkenan di hati para mahasiswa. Dirjen Pendidikan Tinggi P & K Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja, punya alasan mengapa institut itu diubah menjadi sekolah tinggi. "Untuk berdiri sendiri sebagai institut," katany?, "bidangnya terlalu sempit." Sebab hingga kini perguruan tekstil itu hanya punya dua jurusan: kimia tekstil dan teknologi tekstil. Menurut Doddy pula, dulu pernah ada rencana menggabungkan ITT ke ITB saja--dan tentunya karena menjadi departemen sendiri atau masuk dalam satu departemen (Teknik Industri, misalnya), mahasiswanya lalu berhak mendapat gelar. Tapi yang terjadi ialah, "karena yang mau diserahkan hanya mahasiswanya dan beberapa dosen, ITB keberatan," kata Dirjen yang pernah menjadi Rektor ITB itu. Di samping itu menurut Dirjen, kurikulum ITT memang belum memenuhi syarat sebagai pendidikan sarana. Ada yang dirasakan para mahasiswa. Mereka ini khawatir, program diploma itu menutup kelanjutan pendidikan nantinya. Mereka khawatir tak menjadi 'iilmuwan"--sekedar menjadi tenaga pelaksana. Doddy sendiri mengakui, program diploma dititikberatkan pada pendidikan ketrampilan. "Tapi itu tak menutup jenjang karir bagi yang memang hebat." Sebab meski tetap menutup mahasiswa mendapat gelar, untuk meraih studi tingkat doktor, ialah spesialis-2, tetap terbuka. Hanya saja, sekali lagi: tanpa gelar. Yang ada ialah daya guna--alias peluang lebih banyak untuk bekerja. Dengan sistem diploma, mahasiswa yang berkapasitas pas-pasan bisa langsung bekerja--karena ini memang program terminal. Sedang yang berkapasitas luar biasa dipersilakan terus mencapai jenjang setinggi-tingginya--juga untuk bekerja. Maka keributan mahasiswa itu bisa dinilai "masalah psikologis saja,"--menurut Wibowo Murdoko, Kepala Balai Besar Tekstil Bandung--tempat mahasiswa STTT praktek. Soalnya selama ini ITT telanjur "mempunyai nama". Misalnya: ditunjuk sebagai ASEAN Fibre Centre. Dan fakultas atau akademi teknologi tekstil swasta, kalau mau ujian negara biasanya untuk mata kuliah pertekstilan minta bantuan ITT--maklum milik pemerintah (lihat box). Ini hanya sebuah contoh, bagaimana pelaksanaan Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974 bisa membuat sedikit heboh -- karena penilaian Departemen P & K atas perguruan tinggi bersangkutan ternyata bisa berbeda dengan yang selama ini berjalan. Contoh yang mulus, adalah Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Aspek akademinya juga diserahkan kepada Departemen P & K. Pimpinannya disebut dekan--juga STTT sekarang. Tapi PTIK bukan program diploma--dan tetap memberi gelar--karena dinilai pendidikan di situ memang setingkat sarjana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus