LIMA orang mahasiswa Sekolah Tinggi Teknologi Tekstil (STTT),
Bandung, Selasa pekan lalu menemu i Dirjen Pendidikan Tinggi di
Jakarta. Tidak begitu penting. Tapi mereka itu mewakili
rekan-rekan sekampus yang awal Oktober lalu pada memakai jaket
kuning tua--ketika Ketua Komisi IX DPR muncul di sana. Yang
menjadi pasal gara-gara: pengubahan perguruan mereka, dari
Institut Teknologi Tekstil (ITT) menjadi STTT itu.
Soalnya, perubahan yang diputuskan lewat SKB (Surat Keputusan
Bersama) Menteri P & K dan Perindustrian itu, 6 Juni 1981, tak
sekedar penggantian nama. Tapi juga status: STTT hanya dianggap
layak sebagai lembaga pendidikan program diploma. Tidak lagi
berhak memberikan gelar (S. Teks, alias sarjana tekstil)
sebagaimana dilakukan ITT sebelumnya.
Itu memang bisa mengguncangkan. Soalnya, bahkan Juni tahun lalu
pimpinan ITT telah menyesuaikan sistem di perguruan ini--yang
milik Departemen Perindustrian--dengan sistem menurut ketetapan
Menteri P & K sebelumnya Ialah, menyelenggarakan pendidikan
multi strata (program sarjana, pasca sarjana dan doktor), di
samping program diploma (I, II, III dan spesialis 1-2). Itu
semua lantas gugur--kecuali yang diploma. Tetapi, mengapa?
Karena ada Kepres 34/1972 dan Inpres 15/1974--yang menunjuk
Mentcri P & K sebagai penanggungjawab kebijaksanaan pendidikan
formal. Seharusnya, perguruan seperti ITT itu lantas bernaung di
bawah Departemen P & K. Tapi sampai tahun lalu tak ada
kebijaksanaan apa pun yang berhubungan dengan pengalihan.
Baru Februari tahun lalu pihak ITT membuat satu panel diskusi.
Waktu itu ditelurkan beberapa altematif. Pertama ITT sepenuhnya
berada di bawah Departemen P & K--baik mahasiswa, sarana maupun
seluruh fasilius alias kekayaan diserahkan ke sana. Kedua, ITT
tetap dikelola Departemen Perindustrian--tapi aspek akademiknya
dibina oleh Departemen P & K.
Terlalu Sempit
Ternyata yang kedua itulah yang diterima -- ditambah kompetensi
STTT yang hanya berhubungan dengan prog ram diploma. Dan itulah
yang tak begitu berkenan di hati para mahasiswa.
Dirjen Pendidikan Tinggi P & K Prof. Dr. Doddy Tisna Amidjaja,
punya alasan mengapa institut itu diubah menjadi sekolah tinggi.
"Untuk berdiri sendiri sebagai institut," katany?, "bidangnya
terlalu sempit." Sebab hingga kini perguruan tekstil itu hanya
punya dua jurusan: kimia tekstil dan teknologi tekstil.
Menurut Doddy pula, dulu pernah ada rencana menggabungkan ITT ke
ITB saja--dan tentunya karena menjadi departemen sendiri atau
masuk dalam satu departemen (Teknik Industri, misalnya),
mahasiswanya lalu berhak mendapat gelar. Tapi yang terjadi
ialah, "karena yang mau diserahkan hanya mahasiswanya dan
beberapa dosen, ITB keberatan," kata Dirjen yang pernah menjadi
Rektor ITB itu. Di samping itu menurut Dirjen, kurikulum ITT
memang belum memenuhi syarat sebagai pendidikan sarana.
Ada yang dirasakan para mahasiswa. Mereka ini khawatir, program
diploma itu menutup kelanjutan pendidikan nantinya. Mereka
khawatir tak menjadi 'iilmuwan"--sekedar menjadi tenaga
pelaksana.
Doddy sendiri mengakui, program diploma dititikberatkan pada
pendidikan ketrampilan. "Tapi itu tak menutup jenjang karir bagi
yang memang hebat." Sebab meski tetap menutup mahasiswa mendapat
gelar, untuk meraih studi tingkat doktor, ialah spesialis-2,
tetap terbuka. Hanya saja, sekali lagi: tanpa gelar.
Yang ada ialah daya guna--alias peluang lebih banyak untuk
bekerja. Dengan sistem diploma, mahasiswa yang berkapasitas
pas-pasan bisa langsung bekerja--karena ini memang program
terminal. Sedang yang berkapasitas luar biasa dipersilakan terus
mencapai jenjang setinggi-tingginya--juga untuk bekerja.
Maka keributan mahasiswa itu bisa dinilai "masalah psikologis
saja,"--menurut Wibowo Murdoko, Kepala Balai Besar Tekstil
Bandung--tempat mahasiswa STTT praktek. Soalnya selama ini ITT
telanjur "mempunyai nama". Misalnya: ditunjuk sebagai ASEAN
Fibre Centre. Dan fakultas atau akademi teknologi tekstil
swasta, kalau mau ujian negara biasanya untuk mata kuliah
pertekstilan minta bantuan ITT--maklum milik pemerintah (lihat
box).
Ini hanya sebuah contoh, bagaimana pelaksanaan Kepres 34/1972
dan Inpres 15/1974 bisa membuat sedikit heboh -- karena
penilaian Departemen P & K atas perguruan tinggi bersangkutan
ternyata bisa berbeda dengan yang selama ini berjalan. Contoh
yang mulus, adalah Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Aspek akademinya juga diserahkan kepada Departemen P & K.
Pimpinannya disebut dekan--juga STTT sekarang. Tapi PTIK bukan
program diploma--dan tetap memberi gelar--karena dinilai
pendidikan di situ memang setingkat sarjana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini